Ekspedisi, Pemindahan Penduduk dan Freeport

0
2342

Amungme dan Kamoro adalah pemilik tanah daerah-daerah yang sekarang  terjadi operasi dan infrastuktur pembangunan, tembaga dan emas Freeport Timika Papua. Dengan tanah yang meliputi hutan  hujan tropis, dataran renda pesisir, dan pegunungan es di dataran tinggi.

Corak produksi mereka menggarap tanah  dan berburu di pegunungan dan orang Amungme adalah peramu. Kegiatan ekonominya tidak didasarkan pada aspek mencari keuntungan dan berfokus pada pemenuhan kebutuhan pribadi dari penduduk (ekonomi subsistem), berdasarkan pertanian berkelanjutan dan produk hutan, penangkapan ikan, pemburuan. Budaya mereka terjalin erat dengan alam di sekitarnya.

Orang Amungme mengetahui batas tanah mereka  di medan yang dijelajahinya. Tanahnya berbatuan dan sungainya yang deras maka itu wilayah mereka. Demikian juga orang Simpan dan Kamoro mengetahui bahwa tanah mereka berpasir dan sungainya teduh.

Sebelum kedatangan bangsa luar, Orang amungme hidup bergaul dengan suku-suku di sekitar mereka.  Melakukan Kontak dengan orang Dani di Ilaga dan sekitarnya, orang Moni di Dugindoga, dan orang Mee di wilayah Paniai serta orang simpan dan Kamoro di Pesisir selatan.

Terjadi Kontak itu, terutama melalui perdagangan barter. Orang Amungme memperoleh garam dari orang Moni dan menukarnya dengan tanah merah untuk hiasan muka dan anak panah.  Orang Amungme mendapatkan tembakau, noken, busur dan Kapak batu dari orang Dani dan menukarnya dengan kulit bia (kulit kerang) sebagai alat pembayaran yang berlaku di pegunungan tengah serta kadang ditukar dengan anak babi.

ads

Demikian juga orang Amungme menukar  tembakau, ubi (erom) tebu, pisang dan keladi sedangkan orang Mee membawa ikan, parang, kapak, garam, ikan kaleng, dan manik-manik. Mereka saling bertemu di suatu kampung yang menjadi tempat bertemu. Begitu juga, orang Amungme dan kamoro melakukan barter.

Baca Juga:  Apakah Kasuari dan Cenderawasih Pernah Hidup di Jawa?

Ekpedisi Geolog, Pemerintah Belanda dan Misionaris

Pada tahun 1909, ekspedisi  Walaston dilakukan di bagian selatan untuk melakukan survei ke gunung Carstensz tetapi gagal dan hanya mengunjungi kampung-kampung orang Amungme dan Kamoro.

Tahun 1991-1922, Di bagian Utara wilayah Amungme,  para geolog melakukan Ekspedisi sumber daya alam di wilayah itu.  Mereka melintas daerah Ilaga, pegunungan Jayawijaya (carstensz).

Ekspedisi berikutnya, dipimpin oleh M.W. Stirling pada 1926, ekspedisi itu sampai di lembah Yamo di daerah suku Lem (Dem)  dan  Wano di muara sungai Sinak (Kabupaten Puncak Papua).

Ekspedisi Pada tahun berikutnya, dalam waktu yang tidak lama, perjalanan dinas pemerintah Belanda dipimpin oleh  J.V. De Bruijd.  Dan  ekpedisi berikutnya, dipimpin oleh Le. Roux.  Dua ekspedisi melalui rute dari enarotali, sampai daerah orang Moni (intan Jaya) dan sampai ke Ilaga (sekarang Ibu Kota Kabupaten Puncak Papua).

Ekspedisi berikutnya pada 1936, pimpin oleh  Colijn dan Dozy, ahli geologi belanda yang melaporkan adanya tembaga di Ertsberg (gunung biji emas.  Namun tidak melaporkan tentang penduduknya.

Pada April 1960, Forbes Wilson, seorang geolog yang bekerja untuk Freeport datang ke Timika dan melakukan ekspedisi ke Grasberg. Ekspedisi itu dilakukannya setelah membaca laporan Jean Jacques Dozy.  Wilson ditemani Guru dan Perintis gereja Katolik di Timika Moses Kilangin.  Mereka  melewati Sungai Mawati, menyeberangi Sungai Tsinga. Dari Lembah Tsinga mereka menuju arah barat lembah Waa, lalu mereka mengikuti rute tim ekspedisi Dozy.

Baca Juga:  Zheng He, Seorang Kasim Cina Terkenal Sampai di Nusantara

November 1964, Pastor Michael Cammerer  dan Moses Kilangin, bersama 12 orang pembantu, dari Enarotali ke Jila, Bela, Noema, Tsinga, Wa dan sampai di Arwanop. Tujuan perjalanan itu untuk membuat peta penyebaran dan pengelompokan penduduk Amungme dalam rangka misi pelayanan gereja Katolik di wilayah Amungme.

Pemindahan orang Amungme ke wilayah Pesisir (Akimuga)

Setelah beberapa kali ekspedisi para geolog, pemerintah Belanda dan Misionaris, berikutnya mulai melakukan pemindahan paksa penduduk suku Amungme dari gunung ke wilayah pesisir. Pemerintah ini dilakukan oleh Pemerintah Belanda dan para Missionaris Katolik.

Pemindahan penduduk ini dengan alasan wilayah pegunungan sangat sulit dijangkau dan untuk mempermudah akses pelayanan pemerintah dan gereja kepada masyarakat Amungme, mereka diminta pindah ke wilayah pesisir yang bisa dijangkau dengan mudah.

Menurut penelitian Pogolamun (1984), mengemukakan bahwa,  pada tahun 1960, pemindahan penduduk dilakukan secara bertahap.  Kelompok pertama terdiri dari pemuda dengan tujuan, untuk persiapkan lahan, rumah dan jalan.

Pemindahan Kelompok kedua, antara Tahun 1962 dan 1963 terdiri dari orang-orang tua, perempuan dan anak-anak. Dan kelompok kedua ini berjumlah besar tiba di Agimuga dan bertempat di Aramsolki, Kampung Baru dan Amungun. Jumlah penduduknya kira-kira 2500 jiwa.  Di Kiliama, tempat pos pemerintahan, penduduk Amungme hanya 250 jiwa.

Walaupun banyak  penduduk Amungme mengikuti program baru, tapi ada sejumlah penduduk yang masih tetap tinggal di kampung-kampung asal mereka di pegunungan.

Setelah Pemerintah  Belanda dan Missionari berhasil memindahkan penduduk Amungme ke pesisir, pada tahun 1967, Freeport masuk mengambil alih wilayah mereka.

Baca Juga:  Zheng He, Seorang Kasim Cina Terkenal Sampai di Nusantara

Orang Amungme, Simpan dan Kamoro tidak tahu bahwa wilayah mereka diambil oleh Freeport melalui Pemerintah Indonesia, bahkan tidak dilibatkan dalam penandatanganan kontrak karya, dan juga tidak dilibatkan dalam proses pembuatan perjanjian.

Kurangnya transparansi dalam proses pembebasan lahan terus berlanjut. Para Pemimpin Amungme dan kamoro melaporkan bahwa hingga 1995, menurut cacatan pemerintah, mengambil  tanah leluhur mereka hampir satu juta hektar untuk pemukiman transmigrasi, kota Timika dan kota kuala Kencana.

Di bagian kota, pendatang baru termasuk ribuan pemukiman  jawa yang disponsori oleh program transmgrasi pemerintah Indonesia, migran “spontan” seperti pedagang dari Sulawesi, ribuan orang Papua dari  bagian lain di wilayah itu dan karyawan Freeport  dari Amerika Utara dan Australia menyerbu kota Mimika wilayah suku Simpan dan Kamoro akibat ledakan ekonomi yang diciptakan oleh tambang dan insfrastukturnya.

Pada 1990-an populasi wilayah Timika meledak hingga lebih dari 60.000 orang, menaikan timika “zona ekonomi” yang tumbuh paling cepat dari seluruh kepulauan Indonesia.

Sementara orang Amungme dan Kamoro mengalami kehancuran. Abrash Abigail dalam laporannya berjudul The Amungme, Kamoro, and Freeport: How Indigenous Papuans Have Reisted The World’s Largest Gold and Copper Mine menyebutkan, penyitaan, control, dan penghancuran Freeport atas tanah Amungme dan Kamoro dan sumber daya alamnya telah membatasi atau menghancurkan ekonomi dan mata pencaharian  dan menyebabkan pemindahan internal mereka secara paksa dari seluruh desa.

Mereka lebih jauh dipindahkan dan dipingirkan secara ekonomi, politik, social dan budaya. (Redaksi Suara Papua)

Artikel sebelumnyaTenaga Kesehatan Intan Jaya Dirujuk ke RSUD Nabire dengan Tiga Luka Tembak
Artikel berikutnyaJang Ulang Kisah Sengsara Pengungsi Tim-Tim di Papua!