BeritaOtsus Papua Berakhir 2021 Tanpa Efek Bagi Rakyat Papua

Otsus Papua Berakhir 2021 Tanpa Efek Bagi Rakyat Papua

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com— Dua puluh tahun kehadiran Otsus di tanah Papua tidak dirasakan oleh seluruh rakyat Papua, dari segala aspek kehidupan dan implementasinya di lapangan, termasuk regulasi undang-undang Otsus 21 itu sendiri. 

Hal itu disampaikan Yan Christian Warinussy, Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari.

“Misalnya mandat di pasal 32 tentang Pembentukan Komisi Hukum Ad Hoc belum sama sekali dijalankan, baik di Papua maupun di Papua Barat,” kata Yan kepada suarapapua.com, Senin (25/5/20).

Menurutnya, sebenarnya di dalam UU No.21 tahun 2001 pasal 78 ada amanat untuk setiap tahun diadakan evaluasi. Berarti katanya, rakyat Papua terlibat  Tetapi evaluasi tersebut tidak dijalankan dengan melibatkan masyarakat Papua, terlebih OAP.

Baca Juga:  FAO Bareng Masyarakat Yoboi Tanam dan Kelola Sagu Sebagai Pangan Lokal

“Fakta evaluasi itu dilakukan sepihak oleh pemerintah daerah di Papua dan departemen dalam negeri sendiri dengan memakai berbagai indikator, tanpa keterlibatan rakyat. Lalu bagaimana bisa mengukurnya? Apakah itu artinya berhasil? tidak kan!” ujarnya.

Sama hal dengan itu katanya, ada pada mandat UU Otsus pasal 44 tentang Pembentukan Pengadilan HAM dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang sama sekali tidak dijalankan. Yang lainnya pada pasal 67 tentang Pengawasan Hukum dan Politik.

Serupa juga disampaikan Sekretaris II Dewan Adat Papua, Jhon Gobai. Menurutnya UU Otsus seharusnya diatur khusus bagi OAP, sebagai regulasi yang berasaskan Lex Spesialis.

Akan tetapi faktanya lanjutnya, yang berlangsung selama ini di provinsi dan kabupaten diberi kewenangan yang dibatasi dengan UU tersebut.

Baca Juga:  Jelang Pemilu 2024, Toko Miras di Kabupaten Jayapura Harus Ditutup

“Coba lihat proyek kelapa sawit, HPH, IUP tambang dan IUPK tambang, kapal pencarian ikan yang kapasitas besar pasti milik orang luar yang kontribusinya kurang sekali ke daerah,” ujarnya.

Ia menjelaskan sejauh ini belum ada desentralisasi asimetris, jika pun ada, tentu seluruh Indonesia sama. Artinya, semua diatur dalam UU No. 23 tahun 2014.

“Meskipun ada mekanisme fasilitasi dalam pembahasan Perda yang harus melalui Depdagri sesuai Permendagri No.120 tahun 2018, jelas akan membuat Perda yang kita hasilkan substansinya tidak mencerminkan kekhususan bagi OAP, karena menggunakan standar nasional.”

Baca Juga:  Aparat Datangi Lokasi Tempat Kegiatan Doa Bersama Pengukuhan Struktur ULMWP di Expo Waena

Ia lalu mengkritisi isi UU Otsus yang menimbulkan standar ganda pengelolaan pemerintahan di Papua. Terutama pada pasal 4 ayat 1 sampai 5 jelas bahwa Papua tidak mendapatkan kewenangan yang luas.

Termasuk pada pasal 4 ayat 2, dimana jelas bahwa ada bidang-bidang tertentu yang masih menjadi kewenangan pusat.

“Jika kita membaca lagi pasal pasal 4 ayat 4, maka jelas bahwa kabupaten dan kota masih diberikan hak untuk mengacu kepada UU lain, selain UU Otsus 21, tapi yang lebih para lagi adalah pasal 74 UU No. 21 tahun 2001 yang memberikan ruang kepada UU lain tetap berlaku di Papua,” tukasnya.

Pewarta: Yance Agapa
Editor: Elisa Sekenyap 

Terkini

Populer Minggu Ini:

Komnas HAM RI Didesak Selidiki Kasus Penyiksaan Warga Sipil Papua di...

0
“Tindakan dari para pelaku itu masuk dalam kategori penyiksaan. Korban dimasukan dalam drum berisi air dan dianiaya, dipukul, ditendang dan diiris punggungnya dengan pisau. Itu jelas tindakan penyiksaan dan bagian dari pelanggaran HAM berat,” ujar Emanuel Gobay.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.