Pengetahuan Masyarakat Adat Mencegah Pandemik Covid-19

0
1451

Oleh: Wensislaus Fatubun
Pembuat film, tenaga ahli MRP, dan anggota tim kerja Geneva for Human Rights untuk Dewan HAM PBB 

Provinsi Papua menjadi urutan ketiga kasus terbanyak orang terinveksi Covid-19. Per 27 Mei 2020, ada kasus 652 pasien positif, 458 orang dirawat, 183 orang sembuh dan 11 orang meninggal. Pemerintah membuat kampanye edukasi mewajibkan pakai masker, cuci tangan, jaga jarak, dan jaga kebersihan, serta kebijakan untuk tutup akses moda transportasi udara dan laut, dan pembatasan jam beraktivitas di kota Jayapura. Apa sikap dan pendapat warga dalam menghadapi pandemik Covid-19?

Apa reaksi warga terhadap kebijakan pemerintah? Ada ragam reaksi warga terhadap pandemik Covid-19. Beberapa komunitas orang asli Papua memilih berkebun demi kedaulatan pangan asli. Ada warga yang berpendapat bahwa Covid-19 tidak bisa menyerang kaum kulit hitam, dan dengan berdoa dalam nama Tuhan Yesus, Covid-19 lenyap. Ada sikap pro dan kontra lockdown Papua dari warga dan pemerintah. Itu dinamikanya, tetapi yang jelas kebijakan pembatasan beraktivitas di kota Jayapura telah mengakibatkan korban kekerasan dan meninggal.

Pada 25 Mei 2020, Justinus Silas Dimara menjadi korban meninggal kena semprotan Water Canon Patroli Covid-19 milik Polda Papua di kota Jayapura. Di hari yang sama, publik kembali dikejutkan dengan  sebuah video tentang tindakan berani Kapolsek Karubaga (Tolikara) dimana menahan empat truck bermuatan barang dagangan yang diduga milik anggota militer.

Dari data penyebaran pandemik Covid-19, kebijakan pemerintah dan reaksi warga, serta keterlibatan aparat keamanan ini, kita dapat mengambil kesimpulan adanya gap dan masalah.

ads

Pertama; sejak pandemik covid-19 di Papua, angka pasien positif terus mengalami peningkatan meskipun sudah ada kebijakan tutup akses moda transportasi dari dan keluar Papua, dan kebijakan pembatasan aktivitas di kota Jayapura. Kedua; kampanye, instruksi atau kebijakan pemerintah terkesan tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap menahan laju penyebaran pandemik Covid-19.

Ketika; keterlibatan aparat keamanan dalam pencegahan pandemik Covid-19 memungkinkan terjadinya kekerasan terhadap hak asasi manusia. Mengapa ada gap dan masalah itu? Gap dan masalah itu memperlihatkan apa?

Baca Juga:  Adakah Ruang Ekonomi Rakyat Dalam Keputusan Politik?

Pengabaian nilai dan pengetahuan masyarakat Adat Papua

Kampanye, instruksi dan kebijakan dari pemerintah terkesan tidak mengakomodir nilai-nilai dan pengetahuan adat yang dimiliki oleh komunitas-komunitas adat di Papua, dan lebih memberikan peran dominan kepada pihak militer dan polisi dalam pendekatan mengatur perilaku warga dan menjaga ketertiban umum dalam mencegah penyebaran wabah Covid-19. Ada pengabaian terhadap peran masyarakat adat.

Ini keliru, dan bukan hal baru. Misalnya pada laporan-laporan yang disampaikan oleh para peneliti di era Hindia Belanda. Verdoorn telah menggambarkan keberhasilan yang buruk dari kebijakan kesehatan dimana petugas pemerintah mengabaikan nilai-nilai hidup sehat dan mengabaikan peran pengetahuan dan emosional masyarakat adat itu telah menciptakan kegagalan menjembatani antara kebijakan pemerintah dan pendekatan kesehatan modern, seperti penggunaan fasilitas kesehatan yang disediakan oleh pemerintah (Verdoorn, 1960: 124).

Swellengrebel melaporkan tentang bagaimana program perumahan yang lebih baik untuk pengendalian wabah penyakit itu gagal seiring diputuskannya subsidi pemerintah (Swellengrebel, 1915:118). Freedman mengungkapkan titik lemah dalam survei gizi di Indonesia dimana pemerintah menganjurkan konsumsi ikan oleh anak-anak sebagai makanan yang kaya protein, tetapi beberapa komunitas adat melihat ikan kurang cocok untuk anak-anak karena menyebabkan cacing dalam perut. Ada komunitas adat tertentu yang tidak mengkonsumsi ikan tertentu pada waktu tertentu, dan atau menganggap tabu untuk jenis ikan tertentu.

Peters menggambarkan proyek pemberantasan malaria di Papua yang berdampak pada  hancurnya tanaman ubi dan kebiasaan berkebun (Freedman, 1955). Dan Schofield dan Parkinson mengungkapkan pandangan kritis tentang kegunaan pos-pos pelayanan kesehatan di beberapa kabupaten di Papua. Masyarakat adat tidak percaya pada tindakan kesehatan barat. Mereka sering takut untuk menerapkan langkah-langkah ini ke dalam praktik kehidupan, karena takut dengan praktek yang tidak sesuai dengan kebiasaan komunitas adatnya yang telah diwariskan turun temurun (Schofield dan Parkinson, 1962).

Di era administrasi Indonesia, pada tahun 1990an hingga kini, warga Papua juga mengahdapi masalah yang mirip dengan di era administrasi Hindia Belanda. Misalnya, upaya mencegah penyebaran virus HIV/AIDS, dan berbagai penyakit lainnya. Pada tahun 2006, penulis melakukan penelitian tentang penyebaran HIV/AIDS di pedalaman kabupaten Mappi, kabupaten Asmat dan kabupaten Merauke, dan menyimpulkan bahwa penyebaran HIV/AIDS ke pedalaman ada hubungan dengan persepsi masyarakat tentang HIV/ADIS dimana diikuti dengan aktivitas bisnis kayu gaharu dan prostitusi dimana anggota polisi dan militer Indonesia terlibat, dan minimnya sarana prasarana kesehatan (SKP Merauke, 2007).

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Melihat laporan para peneliti di era administrasi Hindia Belanda, penanganan HIV/AIDS dan penanganan pandemik Covid-19 ini, kita sedang menghadapi masalah yang sama, bahkan mengulangi kesalahan yang sama. Pemerintah tidak pernah berusaha untuk menemukan hubungan antara konsepsi masyarakat adat dan konsep kesehatan modern tentang penyebab dan penyembuhan wabah penyakit. Konsekuensinya, langkah-langkah yang diambil oleh pemerintah tetap sepenuhnya di luar dunia dari ide-ide warga masyarakat. Kampanye kesehatan dari pemerintah terbukti tidak banyak berdampak, karena warga tidak dapat mengerti dengan baik makna pernyataan, poster atau pamflet, kebijakan dan saran-saran yang dikeluarkan oleh pemerintah. Pertanyaannya, apa yang harus dikerjakan?

Pentingnya pengetahuan masyarakat adat

Budaya dan ilmu kedokteran perlu “dikawinkan” untuk melahirkan saling keterkaitan antara ilmu pengetahuan, teknik kesehatan modern dengan kepercayaan masyarakat, peran norma adat, nilai adat, ideologi, sikap, kebiasaan, ritual dan simbol sehingga membentuk sistem yang saling menguatkan dan mendukung dalam mencegah penyebaran pandemik Covid-19. Di dalam kebudayaan orang asli Papua, ada nilai-nilai dan pengetahuan yang sangat berharga untuk mencegah penyebaran Covid-19.

Misalnya, dalam kebudayaan Asmat dan Kamoro dimana anggota komunitas adatnya sangat memperhatikan kebersihan. Dalam perilaku hidup orang Asmat, orangtua lebih sering mencuci di sungai. Mereka dengan tegas membenci siapa pun yang buang air kecil di sungai atau di dekat rawa-rawa di hutan di mana orang-orang mengumpulkan air minum mereka. Pelanggaran etika Asmat ketika memasuki rumah atau kano dengan kaki kotor. Konsumsi jenis makanan tertentu dilarang karena berbagai alasan. Umumnya satu orang atau sekelompok kecil orang terlibat dalam larangan tersebut; secara keseluruhan seluruh jew dilibatkan. Komunitas adat Kamoro memahami manusia terdiri dari jiwa (ipu) dan badan (kao). Badan dipahami sebagai pembungkus jiwa. Setiap bagian tubuh makluk hidup memiliki ‘jiwa’.

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Pada manusia, jiwa itu dibentuk oleh ayah dan ibunya, sehingga pengalaman sakit penyakit atau kematian selalu ada hubung dengan ketidakhadiran ‘jiwa’. Ke mana jiwa seseorang yang baru saja meninggal dunia? Komunitas adat Kamoro akan menjawab, “Awyko mirike” (kepada bapanya) dan “Ipu akimaokota” (jiwa di sebelah kanan). Artinya, ipu pakareta (jiwa kiri) yang berada di sebelah kiri badan ini pergi kepada bapanya, sedangkan ipu akimaokota (jiwa kanan) yang berada di sebelah kanan badan pergi kepada ibu, sebab pada tempat itulah asalnya (lihat Coenen, 1963).

Nilai dan pengetahuan kesehatan dalam kebudayaan suku Asmat itu diakomodir oleh Van Amelsvoort ketika ketika bertugas merawat anggota komunitas adat suku Asmat pada tahun 1960an. Van Amelsvoort mengembangkan pendekatan akulturasi antara kebudayaan Asmat dan ilmu kedokteran barat dalam karya pelayanannya di Asmat. Tentunya, pendekatan ini telah dikembangkan lebih dulu oleh dr. L.M. Veeger dalam karya pelayanan kesehatan dan program kampung sejahtera di Merauke.

Bagi Malind anim, pengalaman sakit penyakit ada hubungan dengan keretakan relasi dengan leluhur, sehingga perlu diperbaiki. Akulturasi dan pemberdayaan komunitas adat itu penting dalam mengatasi pandemik penyakit atau virus. Tahun 1954 – 1959, dr. L.M. Veeger mengembangkan program kampung sejahtera di Merauke dengan melibatkan gadis-gadis  dari suku Malind (Malind anim) dan mengawinkan ilmu kedokteran barat dengan nilai-nilai adat Malind anim.

Oleh karena itu, dalam menghadapi pandemik Covid-19, pentingnya pengetahuan masyarakat adat Papua menjadi bagian dalam mencegah penyebaran Covid-19 dan dampak yang ditimbulkan dari pandemik Covid-19. Tim Gugus Tugas Provinsi Papua perlu melibatkan perwakilan komunitas masyarakat adat Papua dengan berkonsultasi dengan Dewan Adat Papua, Majelis Rakyat Papua dan para antropolog Papua tentang tetua adat yang memiliki pengetahuan yang memadai dan berkompenten dalam memberikan masukan dan nasehat kepada pemerintah Provinsi Papua.(*)

Artikel sebelumnyaKetika Kita Menjadi Penjajah
Artikel berikutnyaVIDEO: Egianus Kogeya Pamer Hasil Rampasan Peralatan Militer Indonesia