Greenpeace: Omnibus Law akan Habisi Hutan di Papua

0
2553

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Sejak 2011 hingga 2018, Greenpeace mencatat 190 ribu hektare (ha) hutan primer di provinsi Papua dan Papua Barat dibabat habis secara ilegal dalam konsesi kelapa sawit, apalagi dengan hadirnya Omnibus Law, sumber-sumber pendapatan masyarakat adat Papua akan punah bersama kebudayaannya.

Saat ini terdapat 125 perusahaan kelapa sawit di Papua dan Papua Barat (berijin IUP dan HGU) dengan 2,9 juta ha konsesi, di mana sebagian besar terkonsentrasi di Merauke, Mappi dan Boven Digoel. Seperti dilakukan Korindo Grup dan Menara Grup dalam praktik pembukaan lahan (land clearing) dengan membabat hutan hingga mencapai ratusan ribu ha di Boven Digoel (Laporan Mongabay 2018-2019) pada saat itulah terjadi praktek pembalakan liar atau illegal loging.

Nicodemus Wamafma, juru kampanye hutan Papua ‘Greenpeace’ Asia Tenggara Indonesian, mengatakan, praktek pembalakan liar ini adalah penebangan kayu tanpa izin di dalam kawasan hutan yang berijin seperti sawit, HPH dan HTI. Artinya, kata dia, sebenarnya ada praktek korupsi mengambil hasil hutan kayu tanpa izin.

Baca Juga:  Hilangnya Keadilan di PTTUN, Suku Awyu Kasasi ke MA

“Masyarakat adat di Papua sebagai pemilik tanah dan hutan harus kehilangan aspek terpenting bagi kehidupan dan masa depannya, karena pengambilan kayu dilakukan secara ilegal,” ujarnya kepada suarapapua.com, Kamis (28/5/2020) malam.

Masifnya pemerintah dalam mengeluarkan izin usaha perkebunan, HP dan HTI apalagi dengan hadirnya RUU Cipta Kerja/Omnibus Law, kata Wamafma, bukan tak mungkin dalam waktu 30 – 40 tahun hutan alam Papua akan kian berkurang dan ini ancaman sangat serius bagi kehidupan masyarakat adat Papua, praktek kebudayaan dan masa depannya.

ads

“Omnibus Law akan menjadi ancaman serius bagi masyarakat adat Papua, karena pemerintah akan semakin memudahkan mekanisme perizinan berbasis lahan, meniadakan dokumen AMDAL dan memperpanjang waktu perijinan menjadi 90 tahun,” ujarnya.

Wamafma menjelaskan, pada 2011 lalu Kementerian Kehutanan Indonesia menerbitkan Peta Moratorium Indikatif (IMM), moratorium secara permanen dinyatakan pada 2019 untuk melindungi hutan primer dan lahan gambut. Walaupun demikian, implementasi kebijakan telah gagal menghentikan deforestasi dan mencegah kebakaran hutan.

Baca Juga:  Freeport Indonesia Dukung Asosiasi Wartawan Papua Gelar Pelatihan Pengelolaan Media

“Kami menemukan bahwa area moratorium telah menyusut selama proses revisi. Banyak konsesi kelapa sawit di Papua dan Papua Barat dikeluarkan dari status moratorium selama revisi itu,” bebernya.

Ia menilai negara sedang membiarkan kehidupan masyarakat adat Papua berada dalam ancaman bahaya investasi berbasis lahan dan pembalakan liar. Bukan tak mungkin masyarakat adat Papua akan punah bersama kebudayaannya sekaligus dengan habisnya hutan alam Papua.

“Saya akan terus mendorong dan mengkampanyekan transparansi data-data perizinan yang cenderung oleh pemerintah dan perusahaan disembunyikan,” komitmennya.

Selain itu, ia menegaskan, Greenpeace akan terus melakukan riset dan akan memberikan analisis independen kepada publik, tentang ketidakadilan yang sedang dilakukan kepada masyarakat adat.

“Juga akan terus berdiri dalam solidaritas dengan masyarakat adat di hutan dan melakukan advokasi dengan mereka,” imbuh Wamafma.

Sementara itu, Dewan Pendiri Papua Forest Watch (PFW), Charles Tawaru mengatakan dalam dua tahun terakhir ini, PFW sedang konsen untuk kampanye dan transaksi ilegal logging di Papua Barat.

Baca Juga:  Desak Pelaku Diadili, PMKRI Sorong Minta Panglima TNI Copot Pangdam Cenderawasih

“Kita memang belum ekspansi untuk melakukan riset di Papua karena sumber daya kita memang terbatas, tetapi seluruh Tanah Papua kita akan kampanyekan terkait illegal logging,” katanya.

Tawaru tak memungkiri masih massifnya aksi pembalakan liar di Tanah Papua.

“Dengan adanya pembiaran melakukan aksi pembalakan liar tersebut, kami juga akan mendesak pemerintah Papua dan Papua Barat untuk mereview kembali izin-izin yang berlaku ilegal. Jadi, target kita selain moratorium, melakukan review perizinan di sektor kehutanan,” beber Charles.

Greenpeace dan PFW juga mengingatkan, tanah dan hutan Papua adalah rumah dan kehidupan masyarakat adat Papua yang harus dihargai dan dilindungi untuk masa depannya. Setiap perusahaan tak boleh mencoba memanipulasi kebijakan pemerintah dan kebaikan masyarakat adat.

“Kekuatan rakyat adalah nyata dan kekuatan rakyat jauh lebih kuat dalam menjaga dan melindungi hutan surga Papua,” tandasnya.

Pewarta: Yance Agapa
Editor: Markus You

Artikel sebelumnyaBupati Dogiyai Menanggapi Desakan Wakil Rakyat
Artikel berikutnyaSengketa Laut China Selatan dan Pangan Lokal