Pembaharuan Pemikiran dan Integrasi Papua Bangkit

0
1728

Oleh: Ismail Asso)*
Ketua Forum Komunikasi Muslim Pegunungan Tengah (FKMPT) Papua

A. Papua Belum Mampu Merdeka

Papua belum mampu (dalam hal apa saja) sehingga internasional tak mendukung walaupun Vanuatu angkat soal Papua di sidang umum PBB. Papua dicitrakan sebuah Pulau dengan suku-sukun yang masih saling berperang antar sesama bahkan ada tradisi memotong (mengayau) kepala manusia, kanibal (manusia makan manusia).

Secara umum, ‘kesan’ (berarti belum tentu benar) bahwa Papua dihuni banyak suku dengan ciri dominan perang antar suku. Papua di mata mereka identik suku primitive dan belum beradab.

Dengan alasan ini, belum ada dukungan negara besar manapun pihak Internasional mendukung Papua agar mengatur negerinya sendiri tapi cukup “dititipkan” kepada Indonesia untuk bangun Papua.

ads

Ini alasan cukup rasional bagi cara berfikir yang dibentuk oleh opini tentang keterbelakangan Papua. Opini macam ini diamini (dipercaya) negara anggota PBB.

Bahkan, ‘issu Papua orang tahu tapi tidak populer’; demikian laporan websitus OPM; komentar seorang politikus Eropa, opininya tentang isu gerakan Papua Merdeka.

Mengapa hal ini menjadi terbenarkan?

Karena gerakan Papua bangkit tidak ditempuh dengan gerakan modern sistematis melalui kajian intelektual secara memadai. Gerakan intelektual sistematis teroganisir menghasilkan revolusi gerakan yang kuat untuk mewujudkan Papua berdaulat penuh sebagai sebuah bangsa dan negara terasa wajar dan masuk akal bagi dukungan internasional.

Karena itu perlu banyak kajian dengan meminjam teori ilmu sosial dikomparasikan dengan teori nilai-nilai Papua sendiri. Gerakan kebangkitan dengan konsep dan teori asing selama ini elitis hanya dipahami dikalangan teolog tapi tak dipahami bagi kebanyakan rakyat Papua.

Teori gerakan Papua Zona Damai misalnya bukan membuat Papua damai malah sebaliknya Papua semakin “dirusak” banyak korban nyawa rakyat apapun motifnya.

Gerakan dominan konsep asing agama tak cocok dengan adat budaya Papua sendiri akhirnya gerakan bohong-bohong sulit dipahami keberhasilannya.

Demikian gerakan TPNPB di hutan tanpa dimodernisasi dan dilengkapi dengan peralatan dan latihan secara modern yang tak seimbang walau medan dikuasai terkesan sporadis dianggap gerakan tribalisme primitive.

Karena itu konsep perlu diperbaharui dalam arti dimodernisasi sesuai tuntutan zaman masa kini dan masa kedepan dengan pendekatan berbagai kajian nilai Papua dan nilai modern.

Kedepan untuk itu generasi muda Papua perlu dikirim ke berbagai universitas agar mereka akrab dengan teori-teori revolusi dan perubahan sosial berbagai negara berhasil.

Dengan pendekatan sosial perubahan masa kini tekanan lebih pada revolusi intelektual dipadukan dengan nilai-nilai damai Papua sendiri dan nilai damai universal didukung internasional sebagaimana hal itu juga sepenuhnya didukung tokoh Agama Islam Tradisional NU, KH Abdurrahman Wahid (Gus-Dur).

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Konsep asing yang dikedepankan seutuhnya terbukti PDP gagal tanpa bekas dengan menyisakan pentolannya rebutan kue Otsus seringkali tidak dipahami rakyat sebagaimana yang isinya kekerasan terselubung sudah nyata terjadi di Papua Barat.

B. Kemajemukan Penduduk Papua

Papua dengan multi culturalisme, (seperti: etnis, agama, suku dan bahasa) sulit menghasilkan revolusi gerakan yang berhasil padu sebaliknya hanya membiarkan kekerasan berlangsung dan kita terus menyatakan perjuangan damai.

Papua dengan dominan adat dan budaya, konsep revolusi agama Amerika Latin dengan teori Teologi Pembebasan, Revolusi Iran pimpinan Ayatullah Imam Khumaini, GAM atau juga di Timor Leste Dominan Katolik, sangat amat jauh dari harapan, malah sebaliknya kekerasan terus berlangsung sebagai akibatnya.

Dengan kesimpulan bahwa konsep perjuangan damai, sekali lagi, perjuangan damai asing, tidak relevant dengan konteks sosial dan budaya Papua.

Singkatnya perjuangan dengan tanpa memperhatikan konteks sosial budaya Papua sendiri tidak ada hasil sama sekali bagi harapan revolusi kebangkitan Papua yang diharapkan sebagaimana konsep perjuangan damai para tokoh PDP kita lalui.

Sebaliknya, terjebak pada taktik kolonialisme (penjajah) dan sepenuhnya kita terjebak pada beneviolance dictatorshif (pemaksaan keinginan) Jakarta menerima semua usul dan tawaran Milyaran rupiah sebagai solusi Otsus.

Dengan kata lain ‘perjuangan damai adalah taktik dan strategi penjajah untuk menjajah Papua dengan melumpuhkan karakter asli Papua agar mentalitas dan cara berfikir dibuat menjadi dependent, bermentalitas complex impriority.

Papua mayoritas Kristen Protestan di Utara dan Katolik di Selatan, tapi saat ini, sentra-sentra ekonomi perkotaan urban umumnya Muslim.

Seluruh perkotaan dominant penduduk migran; walaupun mereka para pendatang (amber); tapi mereka tetap nantinya; menjadi warga Papua terkonsenterasi di perkotaan sebagai warga kota (civil society).

Sintesa antara penduduk lokal dan pendatang adalah syarat terwujudnya integrasi sebagai satu kesatuan wujud nasionalisme Papua. Karena itu proses asimilasi perlu dilihat dan diterima sebagai alat pengokoh demokrasi dan HAM.

Demikian Amerika, Brazil, prancis dan hampir seluruh negara mengarah multikultur. Kelak menghambat usaha orang tinggal atau tinggalkan Papua.

Sensus penduduk BPS (Papua dalam angka 2000; kerja sama Bappeda Propinsi Papua), menunjukkan kota Jayapura, yang lebih banyak urban. Pendatang Suku Dani dan Mee di sekitar Jayapura, belum didata secara seluruhnya bisa menjadi hasilnya demikian.

Papua dewasa ini belum memiliki pandangan sama tentang batas nasionalisme bahwa sebagai bangsa modern, idealisme Papua yang akan diwujudkan apakah juga termasuk orang pendatang ataukah bukan?

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Hal ini ditambah lagi persepsi dari dalam (inside) internal urban, apakah mereka sejauh ini tidakkah menghambat perjuangan Papua ataukah merasa sebagai bagian tak terpisahkan dari Papua kelak?

Adalah sejumlah agenda yang segera harus memberikan batasan makna perjuangannya bagaimana, sebagai suatu strategi perjuangan rakyat total.

Usaha pendefinisian demikian penting artinya sebagai kematangan sebuah gerakan perjuangan dapat diperhitungkan Internasional. Semua sangat bergantung pada sosialisasi dan interaksi antara sesama penduduk Papua.

Perlu ada terobosan pemikiran baru dari kalangan internal para penduduk Papua, baik pribumi maupun pendatang (amber) untuk saling menerima sebagai sesuatu yang nature ataukah kita harus steril adalah kedewasaan berfikir.

Di sini dituntut realistis bahwa asimilasi dalam batas-batas tertentu berlangsung secara alami contoh mahasiswa melakukan perkawinan diluar Papua.

Di samping ada usaha rekayasa sebagaimana Martin Luther King Jr. di Amerika Serikat dalam era tahun 1950-an, dapat pula terjadi antara para urban sivil Asia dan Pribumi Papua.

Integrasi sosial membentuk pandangan masyarakat awam kedua belah pihak (menerima dan diterima) adalah terobosan pemikiran baru terlepas pro kontra.

C. Papua Miskin Intelektual

Terobosan pemikiran intelektual urgensinya adalah apakah kita semua terus mau bertahan pada sikap eksklusif atau inklusif, sangat bergantung pada semuanya terutama penduduk sipil pendatang.

Barangkali masalah ini sederhana tapi sangat fundamental bahwa : “Papua Belum Mampu Mandiri”, diukur oleh dunia internasional akan menjadi tampak disini.

“Papua penduduknya primitif, belum beradab, bodoh dan terbelakang”. Demikian kata Ali Murtopo; dan lanjutnya; “kita (Indonesia) hanya menginginkan harta kekayaannya saja, bukan penduduknya”.

Sebenarnya pernah diakui Koentjaraningrat (1994), seorang antropolog pertama Indonesia dalam bukunya “Irianjaya, Membangun masyarakat Majemuk”, mengklasifikasi masyarakat Papua bahwa daerah yang paling banyak melahirkan intelektual Papua yang pertama adalah daerah Biak dan kedua adalah Sentani Jayapura. (Koenjraningrat, 1993).

Itu ceritera 50 tahun yang lalu, sekarang banyak berubah, kini banyak terjadi pemerataan persebaran intelektual, bahwa kita Papua, sudah banyak memiliki para pemikir, baik tua, apalagi yang muda tersebar di semua wilayah Papua.

Hanya masalahnya adakah pembaharu (inovator) Papua dewasa ini seperti Thomas Wanggai dengan Bintang 14 melingkupi seluruh wilayah Pasifik (Timor, Maluku, sampai Micronesia) atau juga Arnold Ap, dengan lagu ‘Mambesak’ membangkitkan Nasionalisme melampaui batas wilayah Papua (Jos Adjondro, 2000), dan Black Brathers paling populer era tahun 70-an yang banyak digemari rakyat Indonesia.

Baca Juga:  Indonesia Berpotensi Kehilangan Kedaulatan Negara Atas Papua

Adalah masalah tersendiri untuk merumuskan apa yang dimaksudkan sebagai Waltanchaung, (Falsafah negara Papua Barat), yang konon telah merdeka tanggal 1 Desember tahun 1961 itu.

Apa falsafah kelak yang dimaui para pemimpin Papua? Apakah berideologi terbuka (liberal), ataukah tertutup (konservatif), dan akan diwarnai dominasi agama seperti Indonesia dan Malaysia mendadani negaranya kelihatan Islami dengan atribut islam walau ideologinya yang dipakai bukan islam?

Adalah masalah lain yang belum dirumuskan bersama dalam gerakan perjuangan OPM dewasa ini menurut saya sesungguhnya sangat penting diperhatikan ke depannya.

Tapi sebagai masyarakat awam dalam gerakan bahwa yang diimpikan oleh semua para pejuang, termasuk penulis artikel ini, bentuk negara yang diharapkan adalah republik demokratik.

Hal ini jika dilihat dari multi culturalisme setelah urban yang sesungguhnya nasibnya terjajah di negerinya sendiri misalnya warga Transmigrasi dari Jawa.

Atau oleh kedetakan kultur misalnya urban Buton, eks penduduk Timor Leste pro NKRI yang kini di tempatkan perbatasan dan Arso sebagai transmigrasi swakarsa dan penduduk Timor Barat (Kupang, Flores juga Ambon dan Key).

Saya sangsi, sekaligus optimis, bahwa pemerataan intelektual Papua memadai, itu yang optimis, tapi sangsi, karena pemikirannya masih emosional, fragmentaris, tidak radikal dan fundamental.

Mungkin ini yang dimaksudkan Arkalius Baho, agar Papua memiliki gaya dan karakter menulis khas Papua, agar tercipta gaya menulis berbeda. Mengingat belum pernah ada satupun anak Papua menawarkan alternatif terobosan pemikiran baru yang bersifat inovatif.

Sehingga tercipta harapan rekan Arki, dan agaknya Arki, menghendaki adanya semacam gaya (berarti, memodifikasi) menulis (berarti juga, pemikiran intelektual), khas Papua, tanpa mengekor gaya menulis atau cara berfikir penjajah.

Berarti tawaran Arkalius Baho adalah ajakan untuk munculnya sebuah gerakan intelektual guna memodifikasi pemikiran terserak dan kaku selama ini, dengan inovasi (pembaharuan pemikiran) baru.

Substansi pembacaan mungkin berbeda karena itu bisa saja kesimpulan kita bisa beda dan lain antara saya dan kawan-kawan yang sudah komentar di atas semua. Namun ada satu stimulus yang menarik buat saya; “Jangan adopsi cara menulis ilmiahnya penjajah”, demikian pesan akhir Arki. (*)

Daftar Pustaka

  • Prof. Dr. Jos Adijondro, Dalam Kata Pengantar Buku judul: Evalusi Nasionalisme dan Sejarah Konflik Papua, Dicky Natalius Pigay, tahun 2000
  • Nurcholis Madjid, Islam Agama Peradaban, Paramadina, Jakarta, 2000
  • Koenjaraningrat dkk, Irian Jaya Membangun Masyarakat Majemuk, Gramedia, Jakarta 1993
Artikel sebelumnyaBlack Melanesian lives matter in West Papua – despite Indonesia’s genocidal Covid response
Artikel berikutnyaPengembalian Berkas Penyelidikan Paniai Kedua Kali, Bukti Nyata Negara Tidak Memiliki Komitmen HAM