Sa Papua, Sa Bukan Indonesia!

0
3662

Oleh: Devi)*
Pekerja Sosial independen yang khusus bergerak dalam pengembangan masyarakat di wilayah indonesia timur

Beberapa hari terakhir ini media sosial ramai soal #blacklivesmatter karena kasus tewasnya George Floyd di Amerika Serikat. Lalu jadi ramai tagar #papualivesmatter dengan segala macam pro kontra dan perdebatannya mulai dari orang-orang yang berkeyakinan bahwa soal sejarah RI yang memperjuangkan Papua, hingga perdebatan soal politik kelas dan politik identitas. Muncul juga aneka pertanyaan bodoh tentang Papua yang muncul karena keramaian ini dan pertanyaannya memang sungguh bodoh khas stereotype orang Indonesia Barat tentang Papua.  Sisi positifnya, momen ini menjadi kampanye yang baik tentang edukasi khalayak soal Papua agar bisa mendengarkan orang Papua dan membaca sumber berita yang benar tentang Papua seperti yang diprakarsai We Need to Talk About Papua[1].

Saya sendiri jadi mempelajari referensi tentang Melanesia, Polynesia, dan Austronesia. Indonesia pernah mengklaim status Melanesia sebagaimana ditulis Pace Paskalis Kossay (baca di sini: Klaim Indonesia Masuk Ras Melanesia, Sebuah Perspektif) dan saya setuju dengan isi artikel yang menyanggah klaim lebe-lebe itu[2].

Saya yang lebih banyak berada di NTT daripada di Papua, secara kasat mata pun tahu bahwa NTT tidak akan bisa masuk dalam kategori Melanesia. Ujung barat NTT diisi oleh suku Manggarai yang secara penampilan tergolong campuran Melayu, apalagi cerita lisan di kalangan orang Manggarai bahwa nenek moyang mereka berasal dari Minangkabau, lalu ada pertemuan dengan Gowa dan Bima dalam sejarah mereka. Timor Barat maupun Timor Leste juga tidak bisa digolongkan Melanesian dengan penampilan dan bahasa yang jelas-jelas termasuk Austronesia. Dari seluruh suku yang ada di NTT, yang paling mendekati bentuk Melanesian adalah kumpulan penduduk asli di gugusan pulau-pulau Lembata, Solor, Adonara, Alor, dan Pantar, tetapi mendekati bukan berarti termasuk. Meskipun ada yang mencuit di Twitter tentang foto kecantikan Melanesian dari Nona Adonara, tetap NTT bukan Melanesia. NTT dan Maluku tergolong Polynesia dengan membawa turunan bahasa-bahasa Proto Austronesia[3]. Bahkan di Papua Barat, di wilayah adat Domberai alias kepala burung, kebanyakan diisi oleh suku-suku Papua yang berkulit lebih terang sehingga beberapa terlihat mirip Polynesian daripada Melanesian.

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Pada intinya, Melanesia merupakan sebuah wilayah geografis untuk menyebut area yang membentang dari Sorong, atau Papua bagian kepala burung, lalu PNG, Bismarck, Kepulauan Solomon, Vanuatu, Santa Cruz, Kaledonia Baru hingga Fiji. Tak heran bila Vanuatu sangat mendukung Papua Barat Merdeka karena solidaritas Melanesia ini. Di sebelah utara Melanesia adalah wilayah yang disebut Micronesia berupa kepulauan-kepulauan kecil Mariana, Marshall, Kiribati, juga Palau. Sedangkan Polynesia ada di sebelah timur Melanesia yakni negara-negara seperti Samoa, Tonga, juga Selandia Baru. Melanesia, Micronesia, Polynesia semua terletak dalam wilayah Pasifik. Papua secara apapun juga lebih tepat bergabung dengan gugus Oseania Pasifik ini daripada dengan Asia Tenggara.

ads

Jelaslah bahwa Indonesia bukan Melanesia. Papua yang Melanesia. Jadi, Papua bukan Indonesia. Kalau selama ini Papua dimasukkan dalam wilayah Indonesia itu namanya aneksasi alias perampasan wilayah. Orang Indonesia memuja Soekarno sebagai bapa bangsa, proklamator RI yang memerdekakan Indonesia, padahal Soekarno dan Mohamad Yamin yang punya ide gila akan imperialisme dengan memaksakan Papua masuk dalam Indonesia[4]. Istilahnya saja sudah jelas, perebutan kembali Irian Barat dalam pangkuan RI, dengan meluncurkan Operasi Trikora. Apa bedanya dengan Orba yang bertahun-tahun kemudian merampas Timor Portugis?

Soekarno memang kemudian dikudeta Soeharto yang lebih jahat lagi karena jelas alasan dia yang didukung penuh Amerika Serikat untuk melakukan kudeta adalah karena menginginkan Papua. Tak heran, setelah kudeta itu, yang membantai jutaan rakyat Indonesia sendiri dengan alasan membasmi komunis hingga ke akar-akarnya (dan sejak itu kewarasan bangsa satu itu memang layak dipertanyakan), langsung keluar UU 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing yang dibuat untuk memuluskan Freeport beroperasi di Irian Barat yang bukan milik Indonesia.

Baca Juga:  Politik Praktis dan Potensi Fragmentasi Relasi Sosial di Paniai

Puluhan tahun Orba membangun narasi bahwa Irian itu terbelakang, Irian itu tidak pakai baju, Irian itu tidak makan nasi, Irian itu tinggal dalam rumah sempit penuh asap dengan memakai losion minyak babi, Irian itu orang jahat dan kanibal. Tidak percaya? Lihat saja pertanyaan-pertanyaan orang Indonesia Barat tentang Papua hingga hari ini. Bahkan saya saja masih ditanya orang apakah orang Irian makan orang, yang sudah pasti pertanyaan semacam itu saya jawab dengan caci maki sebab istilah Irian saja sudah menyakiti hati. Irian nama buatan Soekarno, bukan nama dari orang Papua untuk menyebut diri sendiri.

Saya sempat melihat orang memakai kaos Sa Papua Sa Indonesia. Tentu saja saya melihatnya di Jakarta, bukan di Papua, dan yang memakainya juga bukan orang Papua, di acara Ragam Budaya Papua di Sarinah pada November 2019 lalu. Pameran diselenggarakan Kemendikbud, tapi menurut saya keterangan dalam display juga banyak yang salah. Sementara panitia yang saya tuntut klarifikasi hanya bisa berkilah. Saya juga tahu dia toh tidak tahu apa-apa juga, sama seperti umumnya orang Indonesia tidak mengenal Papua tetapi ingin memperkenalkan Papua dari sudut pandang orang Indonesia dan akhirnya menyesatkan. Saya kesal dan jengkel melihat kaos bertuliskan Sa Papua Sa Indonesia itu. Kenyataannya Papua memang bukan Indonesia toh. Siapa yang bikin tagar #SaPapuaSaIndonesia yang sengaja diramaikan menjelang 1 Desember itu itu? Sudah pasti jelas bukan orang Papua yang buat.

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Kalau mau omong kaos Papua yang wow, buat saya jelas bukan kaos gambar noken, bukan juga kaos tulisan udik sapapuasaindonesia begitu, apalagi batik papua yang dibikin di jawa. Di kampung, saya sempat terpaku melihat seorang pemuda kampung menenteng Alkitab sepulang gereja dan memakai kaos bergambar Papua dengan tulisan Tanahku Hidupku, Tanah Tidak Dijual. Terlalu mencengangkan sampai saya foto dia tanpa wajahnya, hanya fokus pada itu kaos saja. Kaos sepotong tapi berbicara banyak.

Kita sedikit lega karena tapol The Jakarta Six akhirnya sudah dibebaskan, juga 4 kawan tapol dari Lapas Sorong, serta Sayang Mandabayan dari Lapas Manokawari, tetapi toh tetap saja mereka divonis bersalah dan telah ditahan sekian bulan sebelumnya. Apalagi sekarang tapol Buchtar Tabuni dituntut 17 tahun penjara! Apa-apaan ini semua! Berita baik bahwa gugatan internet shutdown menang, semoga ini jadi penyemangat.

Saya berharap bahwa keramaian tagar #papuanlivesmatter ini bisa berkembang menjadi momen perlawanan yang lebih luas dari sekarang. Jelas bahwa kita akan kelelahan menanggapi tanggapan-tanggapan bodoh lainnya dari orang-orang kepala angin yang pro NKRI Harga Mati, tapi lewat perdebatan dan polemik baik yang kasar maupun yang halus, kampanye Papua Merdeka akan lebih terdengar suaranya oleh orang-orang Indonesia sendiri yang selama ini tidak peduli ada apa di Papua. Mungkin di Papua ada yang mau buat kaos juga, “Sa Papua, Sa Bukan Indonesia!” atau “Sa Papua, Sa Melanesia”. (*)

Referensi:

[1] https://weneedtotalkaboutpapua.carrd.co

[2] https://suarapapua.com/2020/04/18/klaim-indonesia-masuk-ras-melanesia-sebuah-perspektif/

[3] https://www.britannica.com/topic/Austronesian-languages/Classification-and-prehistory

[4] https://suarapapua.com/2018/12/01/kolonialisme-primitif-ala-indonesia/

Artikel sebelumnyaFaperta Unipa Gelar Yudisium untuk Mahasiswa Secara Online
Artikel berikutnyaKlemen Tinal: Bandara dan Pelabuhan di Papua Segera Dibuka