Indonesia dan Rasisme Terhadap Rakyat West Papua

0
5672

Oleh: Soleman Itlay
Masyarakat Papua di Jayapura

Secara umum, rasisme di dunia itu berakar pada perbedaan ras (warna kulit). Kausalitas utama ialah dengan adanya keyakinan suatu kelompok tertentu (mayoritas) bahwa hanya diri merekalah yang lain lebih superior ketimbang kaum yang lain (minoritas). Secara teoritis, rasisme itu berkaitan dengan persoalan biologis dan antropologis. Du Bois katakan bahwa, masalah rasisme itu kontrasnya terdapat eugenis dan darwinieme.

Lebih lanjut silahkan baca di Rasisme dan Marginalisasi dalam Sejarah Sosiologi Amerika.  Oki Rahadianto Supoyo menyebutkan, pendapat W. E. B Du Buis, seorang keturunan Afrika-Amerika yang pertama mendapatkan gelar Ph.D di Universitas Harvard mengatakan bahwa, kontras rasisme itu diakibatkan oleh penganut Eugenie dan darwinisme. Paham-paham ini menurutnya memproduksi bahwa ras kulit hitam berada pada posisi inferior secara fisik dan kultural.

Inferior sendiri merupakan proyek konstruksi sosial (Morris 2015, hal. 29). Hal ini, katanya lagi, meliputi (akar) sistem perbudakan, segregasi ras—termasuk yang termanifestasi dalam kebijakan pemerintah Amerika Serikat pada saat itu (abad ke-17-18). Du Bois menegang pendapat dan kebijakan pemerintah yang meminta supaya kaum keturunan Afrika-Amerika bekerja dan berasimilasi dengan budaya kulit putih supaya maju.

Menurut dia, kebijakan pemerintah seperti itu sangat kental dengan bias rasisme dan diproduksi untuk mempraktekkan keistimewaan kaum kulit putih. Pada 1960-an, pada masa presiden Jhon F. Kennedy, Martin Luther King dkk mendorong gerakan segregasi ras. Mereka menuntut agar negara mencabut undang-undang yang mengatur tentang praktik diskriminasi rasial  Adimerika Serikat. Hal itu berhasil. Pemerintah akhirnya menghapus itu.

ads

Di permukaan umum, termasuk dalam kebijakan di Amerika Serikat, setelah mencabut undang-undang tersebut, praktik rasis kurang nampak. Namun bukan benar-benar hilang. Rasisme di sana sulit dihapuskan karena itu telah tumbuh kembang dan berakar secara struktural dalam sistem kehidupan antara orang kulit hitam dan kulit putih Amerika. Sampai kapan pun tidak akan pernah bisa lepas selama perbedaan ras dan kultur masih tampak.

Kematian George Floyd pada 25 Mei lalu menandakan bahwa rasisme di Amerik Serikat masih ada.  Secara de jure memang menjamin toleransi antar orang kulit putih dan kulit hitam AS. Namun secara de facto tidak dapat menjamin itu. Hal ini bisa dilihat dari peristiwa Floyd ini. Artinya, siapapun boleh berasumsi bahwa AS itu negara demokratis yang menjamin toleransi dan telah jauh dari praktik rasial. Tapi nyatanya lain. Ini pertanda bahwa rasisme itu tidak akan pernah hilang selama perbedaan dipaksakan dalam kata demokratis atau toleransi.

Akar Rasisme di West Papua

Sedangkan di West Papua, diskriminasi rasial ditanam sebelum wilayah koloni itu dianeksasikan ke dalam negara kolonial Indonesia. Kemudian diskriminasi rasial di  tanah koloni modern ini mulai ditumbuhkembangkan bersamaan dengan perebutah, perluasan dan dalam praktik sehari-hari dalam menegakkan wibawa sekaligus untuk mempertahankan kekuasaan. Pada dasarnya diskriminasi rasial di West Papua itu berakar pada sistem perbudakan modern di daerah koloni itu. Sistem perbudakan modern yang dimaksud ialah sistem politik aneksasi.

Aneksasi berarti memasukkan (menggabungkan) suatu wilayah tertentu ke dalam unit politik yang sudah ada (negara, negara bagian atau kota secara paksa). Aneksasi dengan kata lain penggabungan dua hal (ideologi dll). Biasanya hal yang lebih kecil melekat pada sesuatu yang lebih besar. Aneksasi sering diidentikkan dengan pencaplokan wilayah secara sepihak, sesuka hati, semaunya pihak terkait dan tanpa kompromi dengan kaum tertentu.

Sejumlah negara kolonial memperluas kekuasaan politiknya melalui aneksasi historis, meskipun PBB tidak lagi mengakui aneksasi sebagai alat politik yang sah. Aneksasi tidak seperti penyerahan (wilayah diberikan atau dijual melalui perjanjian (cession). Aneksasi merupakan tindakan sepihak yang dilegitimasi oleh pengakuan umum secara sepihak oleh pihak tertentu dengan dalih tertentu. Tujuannya untuk menjadikan suatu wilayah sebagai koloni dan menjadikan suatu bangsa sebagai budaknya.

Baca Juga:  Politik Praktis dan Potensi Fragmentasi Relasi Sosial di Paniai

Pada satu sisi, sistem politik aneksasi menjadi ciri khas penjajahan bagaimana kolonial Indonesia menindas kaum budak pribumi di segala sektor. Kolonial Indonesia menerapkan sistem politik aneksasi sebagai senjata untuk merebut, memperluas, memperkokoh dan untuk mempertahankan kekuasaan di wilayah koloninya—West Papua di segala sendi-sendi kehidupan orang West Papua dengan berbagai bentuk dan cara etis hingga tak manusiawi.

Kolonial Indonesia menerapkan sistem politik aneksasi sebagai senjata untuk merebut, memperluas, memperkokoh dan untuk mempertahankan kekuasaan di wilayah koloninya. Dari dulu hingga sekarang, kolonial Indonesia mengendalikan pendudukan terhadap orang West Papua dengan sistem politik ini. Dan tentu ini akan tetap menjadi sistem politik perbudakan yang sangat khas di kawasan Asia-Pasifik. Selama status penguasa tunggal di West Papua, selama itu juga aneksasi menjadi senjata perbudakan modern disana.

Pada satu sisi, sistem politik aneksasi menjadi ciri khas penjajahan bagaimana kolonial Indonesia menindas kaum budak pribumi di segala sektor. Kolonial Indonesia menerapkan sistem politik aneksasi sebagai senjata untuk merebut, memperluas, memperkokoh dan untuk mempertahankan kekuasaan di wilayah koloninya—West Papua di segala sendi-sendi kehidupan orang West Papua dengan berbagai bentuk dan cara etis hingga tak manusiawi.

Tetapi di lain pihak, sistem politik aneksasi juga menjadi ciri khas pergerakan, perjuangan dan perlawanan orang West Papua terhadap kolonialnya. Sistem politik aneksasi ini mencakup segala sektor. Kaum budak kolonial Indonesia pun menentang seluruh tindak barbarisme ala kolonial Indonesia, yang berakar pada sistem politik aneksasi itu di segala aspek dengan berbagai pendekatan.  Mulai dari gerakan gerilyawan, gerakan sipil kota, diplomasi politik, mendorong isu pelanggaran HAM, menggugat tindakan plebisit dlsb.

Motif Aneksasi Dalam Sejarah Masa Lalu

Sejarah masa lalu, seperti perjanjian tanpa tuan:  KMB (23 Agustus 1949), MoU Freeport (7 April 1957), Roma Agreement (15 Agustus 1962), New York Agreement (30 September 1962), PEPERA (1969), Operasi Militer (19 Desember 1961-saat ini) dan lainnya berakar pada akar sistem politik aneksasi. Tidak ada sejarah Indonesia yang berkaitan dengan status politik West Papua yang hingga saat ini bermasalah terpisah sendiri. Semua peristiwa sejarah masa lalu tentang West Papua di tangan kolonial Indonesia erat kaitannya dengan aneksasi.

Motif Aneksasi Kontemporer

Tidak hanya itu. Kebijakan politik etis saat ini, seperti pemekaran DOB, Otsus, UP4B, pembangunan infrastruktur fisik yang digencarkan pada dewasa ini, pengangkatan dan penempatan orang West Papua di instansi pemerintah, dari kementerian, kepolisian, militer, staf ahli presiden dan lain setelah 57 tahun bersama kolonial Indonesia, juga terikat langsung pada sistem politik aneksasi. Aneksasi akan berlaku selama orang West Papua itu menjadi budak kolonial Indonesia.

Tokoh Aneksasi Kolonial Indonesia

Adalah Soekarno. Pahlawan bagi orang Indonesia, tapi penghianat bagi kaum budak kolonial ini cukup terbukti untuk dikatakan sebagai tokoh aneksasi. Dalam hal ini, ia juga boleh disebut aneksator. Penyebutan ini merujuk pada ketokohan Soekarno selaku inisiator, penggagas dan pemerintah dalam hal merebut wilayah bekas koloni Belanda, West Papua dari kekuasaan kolonial Belanda pula. Dia adalah orang pertama yang melirik tanah koloni modern dalam sudut pandang aneksasi. Kemudian melancarkan segala upaya untuk merebutnya.

Pencaplokan itu berangkat dari hati, pikiran, perasaan dan lainnya sebagainya. Diplomasi politik ke AS, Rusia, Jepang dan lainnya saat itu hanya mengikuti suara hati aneksasi. Lebih dari pada itu, disana ia hanya mencari dukungan peralatan perang untuk mencaplok wilayah koloni modern ini melalui operasi militer “Trikora” yang ditetapkan pada 19 Desember 1961. Invansi militer berhasil menekan kolonial Belanda. Akhirnya Belanda punya menyerahkan wilayah koloni pada 1 Mei 1961 melalui UNTEA.

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Ciri-ciri dan Contoh Dari Praktik Aneksasi

Untuk memahami hakikat penindasan dengan sistem aneksasi ini bisa dilihat dari pengalaman masa lalu dan realitas saat ini. Dasar pemahaman aneksasi ini terletak pada unsur paksaan, sepihak, semaunya, egoisme; tanpa kerja sama, kompromi dan masih banyak lagi. Contohnya, setelah merebut wilayah koloni, kolonial Indonesia merubah nama kita, kabupaten, jalan, jembatan, bandara, pelabuhan, dan lainnya.

Dia menghilangkan semua unsur-unsur nilai kearifal lokal yang sarat berbahasa daerah dengan arti, makna, jejak langkah, sejarah dan filosofis. Kemudian berubah nama-nama dengan nama-nama pahlawan nasional Indonesia atau nama kota di Indonesia. Misalnya, jalan Soekarno, Hatta, 4 Ahmad Yanni, Sudirman; jalan Jawa, Sumatera, Ambon, Sulawesi, Kalimantan dan lainnya.

Kasus lain, misalnya pengekangan ruang ekspresi, demokrasi, kekerasan dan kejahatan politik yang berujung pada pelanggaran HAM dan lainnya. Semua ini dia lakukan tanpa sedikitpun kompromi atau mempertimbangkan dengan orang asli Papua. Dia melakukan segala semaunya dia sesuai dengan keinginan, kebutuhan dan kepentingan. Lebih-lebih selalu melibatkan aparat keamanan dan militernya.

Kasus-kasus Diskriminasi Rasial

Semenjak orang West Papua dipaksakan gabung ke Indonesia, sejak itu juga diskriminatif rasial mulai dirasakan. Orang West Papua yang pertama merasakan ini adalah orang tua, pelajar asal West Papua yang sekolah di pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, NTT, NTB dan lainnya. Di sekolah, kampus, jalanan, kantor, dan kompleks asrama,  kontrakan, kos-kosan dan lainnya sering disamakan [dengan ujaran] seperti ‘kera, monyet atau disimbolkan dengan pisang dan lain sebagainya.

Kemudian nampak pula dalam liga sepakbola di Indonesia. Klub-klub asal West Papua, seperti Persipura, Persiwa, Perseman, Persiraja dan lainnya banyak sekali mendapatkan ujaran rasis di lapangan hingga di tempat akomodasi. Media masa milik kolonial Indonesia, sering menampilkan gambar atau menulis berita dengan sarat diskriminasi rasial. Hal ini sudah terjadi selama bertahun-tahun lamanya.

Contoh kongkritnya adalah ujaran rasisme terhadap Natalius Pigai dan Frans Kaisiepo. Kedua orang ini dikenal sebagai bagian dari tokoh nasional asal West Papua. Mereka sangat berkontribusi besar semasa hidup untuk Indonesia. Jasa dan pengorbanan mereka sangat besar dalam upaya menggabungkan wilayah koloni hingga untuk meningkatkan nama baik Indonesia melalui penegakan HAM, keadilan dan perdamaian.

Tetapi orang kulit sawo matang, Melayu samaratakan kedua tokoh ini dengan bintang liar: monyet. Di media massa mereka menyebarluaskan ketidaksetujuan dengan gambar Frans Kaisiepo yang terdapat dalam uang Rp 10.000 emisi 2016. Alasannya karena menurut orang Indonesia, mukanya sama dengan monyet. Sama halnya dengan Pigai. Orang Melayu samakan Pigai dengan gorila dengan kata-kata rasis.

Pelakunya mulai dari masyarakat biasa hingga elit politik kolonial Indonesia, termasuk orang di sekitar presiden Joko Widodo. Lebih lanjut, silahkan baca status facebooknya Natalius Pigai pada 4 Mei yang berjudul: JAMAN JOKOWI TELAH MELAHIRKAN MASYARAKAT RASIALIS. PAPUA AKAN LAWAN BANGSA RASIS SAMPAI AKHIR HAYAT. Baca juga ujaran rasis terhadap Kasiepo dan Pigai di dalam buku Surat-surat Gembala, FKOGP (2012-2018), karya Benny Giyai dkk (hal. gambar dan 71).

Kasus terbaru adalah persekusi terhadap mahasiswa West Papua di asrama Kamasan III, Surabaya, Jawa Timur, Indonesia. Tepat 15-17, menjelang hingga puncak peringatan proklamasi kemerdekaan Indonesia ke-74. Aparat keamanan dan militer kolonial Indonesia bersama oramas milisinya bertindak dan melancarkan ujaran rasis selama 3 hari berturut-turut. Kejadian ini bermula dari provokator bernama Tri Susanti.

Ia memprovokasi aparat keamanan dan militer kolonial Indonesia dengan alasan bahwa mahasiswa West Papua tidak ingin mengibarkan bendera Merah Putih dan bendera di depan asrama, pinggir jalan dipatahkan oleh mahasiswa West Papua. Buktinya tidak kuat. Namun, aparat keamanan dan militer kolonial Indonesia, setelah mendapatkan informasi itu, langsung kepung asrama bersama penghuni.

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Peristiwa ini menimbulkan perhatian publik jelang pelantikan presiden Jokowi pada Oktober 2019 lalu. Sejumlah daerah di tanah koloni modern memprotes dengan aksi demontrasi secara spontanitas. Mereka meminta pelaku ditangkap, diadili dan dihukum. Tetapi kolonial Indonesia hanya menangkap Tri Susanti selaku provokator. Sedangkan anggota sejumlah anggota TNI yang mengeluarkan ujaran rasisme pada saat itu hingga mengancam mahasiswa, hingga saat ini belum ditangkap dan diproses hukum.

Sementara orang West Papua yang memprotes tindakan rasis ditangkap, disiksa, ditikam, ditembak dan dibunuh oleh aparat keamanan dan militer kolonial Indonesia. Pelaku tindak pelanggaran HAM sekalipun hingga saat ini belum diproses hukum. Justru yang diproses hukum ialah korban rasisme, kaum budak West Papua. Hingga saat ini 60-an orang West Papua dikenakan pasal makar dan sekarang sedang menjalani proses hukum di pengadilan kolonial Indonesia.

Diskriminasi Rasial

Pelakunya, Tri Susanti hanya dihukum 5 bulan penjara. Sedangkan pelaku yang melukai hingga menewaskan ratusan orang West Papua pada September hingga Agustus lalu belum diproses. Sementara itu, para tahanan politik rasisme kolonial Indonesia dijatuhkan hukuman dengan masa tahanan lebih berat. Pada 3 Juni ini, Bucktar Tabuni, ketua dewan legislatif ULMWP, yang tidak tahu apa-apa dalam aksi demo di Jayapura, ditangkap, diproses hukum dan dijatuhkan hukuman 17 tahun penjarah.

Selain itu, Irwanus Uropmabin, mahasiswa USTJ dijatuhkan hukum 5 tahun penjarah. Hengky Hilapok, Steven Itlay, Agus Kossay, Ferry Kombo, Aleksander Gobai dkk sedang menjalani proses hukum. Dalam waktu dekat pengadilan akan ambil keputusan bapakah mereka akan melanjutkan persidangan atau dibebaskan. Tetapi beaart kemungkinan, para Tapol rasisme kolonial Indonesia ini akan dijatuhkan hukum yang bsama. Seperti yang dialami oleh Bucktar dan Irwanus. Apa ini juga bukan diskriminasi rasial?

Akar Diskriminasi Rasial

Diskriminasi rasial juga berakar pada sistem politik aneksasi. Sampai kapan pun diskriminasi rasial kolonial Indonesia terhadap orang West Papua tidak akan pernah hilang. Selama orang West Papua menjadi budak atau dijakan budak kolonial Indonesia, selama itu juga mereka akan mengalami diskriminasi rasial. Bakal itu telah, sedang dan akan berlaku di segala sektor sepanjang kolonial Indonesia menjadi penguasa tunggal di tanah koloni modern itu.

Orang West Papua Lawan

Orang West Papua pun melawan sistem ini karena merasa sistem politik itu selalu tidak melibatkan mereka, tidak kompromi dengan mereka, duduk bersama untuk merancang, merencanakan, merumuskan dan memutuskan kebijakan-kebijakan yang sifatnya penting dan berbahaya jika melibatkan orang West Papua dalam hal menjaga wibawa kekuasaan di tanah koloni dalam bingkai negara kolonial Indonesia.

Bukan lain lagi. Atau bukan juga sesuatu yang beda. Semua itu berangkat dan berakhir—bermuara pada sistem politik aneksasi. Jadi, sismtem politik aneksasi itu ibarat mata air sekaligus muarahnya. Dikatakan demikian, karena segala sesuatu yang dilakukan oleh kolonial Indonesia maupun perlawanan orang West Papua dari dulu hingga saat ini berangkat dan berujung selalu pada sistem politik yang menindas kaum pribumi West Papua.

Usulan Hari Rasisme

Orang West Papua harus punya payung gerakan khusus yang bisa mengawal tindak dan ujaran diskriminasi rasial. Bila perlu, sejumlah perguruan tinggi dan LSM West Papua melakukan investigasi dan studi lanjut untuk masalah ini. Karena soal diskriminasi rasial di West Papua itu sudah tumbuh dan berkembang lama, tapi belum ada studi dari akademi dan LSM. Kedepan orang West Papua juga harus menyepakati hari rasisme. Setiap tahun harus peringati. Saya usul 17 Agustus ditetapkan sebagai Hari Rasisme Orang West Papua.(*)

 

 

 

 

 

 

Artikel sebelumnyaAliknoe Bersaudara dan Pende Mirin Divonis 9 Bulan Penjara
Artikel berikutnyaMasyarakat Papua Butuh Fasilitas dan Tenaga Kesehatan, Bukan New Normal