Dekolonisasi yang Gagal: Akar Rasisme Terhadap Orang Papua

0
2499

Oleh: Wensislaus Fatubun)*
Filmmaker, tenaga ahli Majelis Rakyat Papua dan anggota tim Geneva for Human Rights untuk Dewan HAM PBB

Sejarah satu komunitas adalah jati diri dan sekaligus imajinasi mengenai hari depan dari komunitas itu sendiri. Atas nama sejarah, kebudayaan dan bayangan mengenai masa depan itu pula-lah kini orang Papua menggugat pemerintah Republik Indonesia. Pada tanggal 17 Agustus 2019, orang Papua dan warga masyarakat umum mendiskusikan masalah rasisme, persekusi dan bentuk-bentuk pelanggaran hak asasi manusia lainnya yang dialami dan dihadapi oleh mahasiswa-mahasiswi Papua yang tinggal di Asrama Mahasiswa Papua “Kamasan” Surabaya, Kota Surabaya – Provinsi Jawa Timur, dan mencari solusi untuk penyelesaian persoalan tersebut.

Sejak tahun 1969, ketika Papua secara resmi diintegrasikan ke dalam wilayah Indonesia hingga kini orang Papua terus menghadapi dan mengalami masalah rasisme. Sebutan “monyet” pada insiden 17 Agustus 2019 di Asrama Mahasiswa “Kamasan” kota Surabaya misalnya, dapat dilihat sebagai gejala dari bentuk “rasialisme implisit” yang sudah sangat berakar di bawah sadar warga Indonesia, dimana ras warga Indonesia dianggap lebih tinggi dan unggul dan cenderung melihat ras Papua lebih rendah, lebih mendekati alam binatang.

Hari ini, orang Papua kembali diperhadapkan dengan masalah rasisme dimana tuntutan Jaksa untuk lima sampai tujuh belas tahun terhadap tujuh tahanan politik Papua  yang ditahan dan yang sedang menjalani proses persidangan di Kalimantan Timur, karena terlibat dalam aksi anti rasisme terhadap mahasiswa Papua di kota Surabaya itu.

Apa akar masalah rasisme terhadap orang Papua? Persoalan rasisme yang sedang dihadapi oleh orang Papua akibat dari proses dekolonisasi yang gagal.

ads

Deklarasi Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 membawa sebagian besar wilayah bekas Nederlands Oost Indies (Hindia Timur Belanda) di bawah kedaulatan Indonesia – kecuali untuk bagian barat pulau New Guinea, yang tetap berada di bawah kendali Belanda.

Pada 1950-an pemerintah Belanda mulai mempersiapkan wilayah itu untuk kemerdekaan melalui proses dekolonisasi. Namun, jalan menuju kemerdekaan dicegat ketika Pemerintah Republik Indonesia yang baru meluncurkan operasi militer pada bulan Desember 1961 untuk ‘kembalinya’ Papua (saat itu dikenalkan oleh Indonesia dengan istilah “Irian Barat”). Upaya Indonesia itu didasarkan pada nasionalisme Indonesia dan konsep nasionalisme yang dipromosikan oleh Soekarno, yakni satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa.

Nasionalisme Indonesia adalah paham kebangsaan Indonesia yang tumbuh karena perasaan tertindas, sehingga terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang didasarkan pada administrasi Belanda. Dalam buku Nasionalisme Ganda Orang Papua, Bernarda Meteray menulis: “Melalui Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Indonesia mewarisi wilayah Hindia Belanda. Dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 18 Agustus 1945 ditegaskan bahwa Indonesia mewarisi wilayah Hindia Belanda. Wilayah yang dimaksud meliputi Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Maluku. Pada masa itu Papua merupakan bagian dari Provinsi Maluku” (Meteray, 2012: 11). Soekarno dan kaum nasionalis Indonesia mendasarkan upaya integrasi Papua ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia pada teori Renan.

Baca Juga:  Mengungkap January Agreement 1974 Antara PT FI dan Suku Amungme (Bagian II)

Teori itu menjelaskan bahwa pengalaman kejayaan dan penderitaan menjadi dasar untuk membentuk suatu bangsa, karena ada keinginan untuk hidup bersama, dan punya implikasi pada istilah “Irian” (Ikut Republik Indonesia anti Nederland) yang diperkenalkan dan dipakai hingga era Soeharto itu. Oleh karena itu, konsep nasionalisme Indonesia mendorong sebuah gagasan dalam pembebasan Irian Barat (Papua Barat) dari tangan Belanda.

Operasi Trikora untuk pembebasan Irian Barat (Papua Barat) diumumkan oleh Soekarno pada tanggal 19 Desember 1961 di Yogyakarta. Kaum nasionalis Indonesia melihat bahwa orang Papua sendiri hanya bersikap pasif, menunggu datangnya para “pembebas” dari Indonesia. Para tentara, pemuda dan kaum terpelajar Indonesia, seperti Yos Sudarso, Benny Murdani, dan lain-lain tergerak ikut dalam upaya pembebasan Irian (Papua). Upaya pembebasan itu berimplikasi pada pengungsian Malind anim dari beberapa kampung di Merauke ke pulau Daru (PNG) pada tahun 1964. Operasi itu mendapat perlawanan dari pasukan Polisi Belanda dan Batalyon Papua (Papoea Vrijwiligers Korp). Menarik mengamati Batalyon Papua yang ikut melakukan perlawanan terhadap operasi Trikora di tanah Papua. Pada tanggal 26 Juli 1965 Johan Ariks, Lodewijk Mandatjan, Barends Mandatjan, Ferry Awom dan Perminas Awom bersama para mantan anggota Pabalyon Papua melakukan penyerangan terhadap markas Tentara Indonesia di Manokwari. Peristiwa ini menjadi pencetus berdirinya Organisasi Papua Merdeka di manokwari. Fakta sejarah itu mencerminkan bahwa orang Papua tidak mudah memahami dan menerima konsep Indonesia sebagai suatu bangsa, dan orang asli Papua telah lebih dulu mengenal kesadaran ke-Papua-an daripada ke-Indonesia-an.

Selain melancarkan operasi Trikora di tanah Papua, Pemerintah Indonesia juga aktif melakukan lobi di dunia international. Dalam masa politik Perang Dingin yang intens, ekspansionisme militer Indonesia dan diplomasi luar negari Indonesia terhadap masalah Irian Barat (Papua Barat) menarik perhatian internasional. Salah satunya adalah Amerika Serikat.

Di bulan Januari 1961, Soekarno (Presiden RI pertama) pergi ke Amerika Serikat untuk ketemui Kennedy. Kennedy saat itu sedang sakit. Ia menderita satu keanehan di punggulnya. Ia tinggal di rumah orangtuanya di Boston. Soekarno pergi ke Amerika Serikat dan berbicara kepada Departemen Luar Negeri, ”Saya ingin menjenguk Presiden di pembaringan sakitnya.” Maka mereka mengantar Soekarno ke pembaringan Kennedy. Soekarno membawakan minyak-minyakan dari Jawa untuk memijat punggungnya. Orang-orang mengatakan kepadanya bahwa punggung Kennedy sedang sakit. Karenanya, ia membawakan minyak-minyakan ini untuk dipijatkan ke punggungnya dengan cara orang Jawa. Soekarno pergi ke Boston dan diizinkan untuk menemui Presiden. Ia menemui Kennedy dengan membawakan minyak-minyakan dan mengusapkan minyak tersebut ke punggung Kennedy. Setelah mengusapkan minyak ke punggung Kennedy, Soekarno keluar. Beberapa saat kemudian Kennedy keluar. Mereka duduk bersama. Kennedy bertanya kepada Soekarno: “Tuan Presiden, apa yang bisa kami bantu.” Soekarno menjawab, “Tuan Presiden, itu pertanyaan yang bagus. Saya menyerahkan semua hidup saya untuk satu hal: Irian. Saya ingin mendapatkan Irian.” Kennedy mengatakan kepadanya: “Itu bisa diatur.”

Baca Juga:  Adakah Ruang Ekonomi Rakyat Dalam Keputusan Politik?

Pada hari itu, masa depan Papua New Guinea diputuskan. Kennedy kemudian menulis surat kepada Perdana Menteri Belanda dan meminta Belanda untuk menyerahkan Papua ke Indonesia daripada Indonesia menjadi negara Komunis. Inilah kenaifan dari Kennedy. Karena takut komunis, ia memberikan wilayah orang lain.

Pada tahun 1962, James Bell bercakap-cakap dengan Nicolas Jouwe ketika Nicolas Jouwe berkunjung ke Washington DC. Salah satu percakapan mereka adalah tentang kisah minyak Jawa Soekarno dan Kennedy di atas itu. James Bells (Ketua Urusan Asia Tenggara dari Departemen Luar Negeri Amerika Serikat) bilang ke Nicolas: “Nicolas ini tidak resmi. Jika seorang menanyakan kami tentang hal ini, kami akan menyangkalnya. Tetapi kami selalu mengatakannya inu hanya sekedar lelucon. Ini benar-benar terjadi, namun lebih baik mengatakan bahwa ini merupakan anekdot karena saya tidak mau mencemarkan nama Presiden” (Charles Farhadian, 2007:225 – 226).

Amerika Serikat melangkah untuk menengahi kesepakatan. Ini menekan Belanda untuk setuju untuk mengizinkan Indonesia mengelola Papua sementara PBB mengawasi negosiasi tentang masa depannya. Kesepakat itu dikenal dengan sebutan “New York Agreement”. New York Agreement yang ditandatangani oleh Pemerintah Belanda dan Pemerintah Indonesia pada tanggal 21 September 1962 menyerukan pengalihan otoritas untuk wilayah dari Belanda ke Indonesia. Dokumen tersebut juga mencakup jaminan bahwa orang-orang Papua akan diizinkan melakukan “Tindakan Pilihan Bebas” (referendum) untuk menentukan status politik Papua. Ini memberikan Administrasi Transisi PBB di West New Guinea (Irian Barat) untuk pengalihan otoritas dari Belanda ke Indonesia dan pelaksanaan “Tindakan Pilihan Bebas” pada tahun 1969. Catatan penting dalam proses “New York Agreement” ini adalah orang Papua tidak dilibatkan dalam proses negosiasi hingga lahirnya “New York Agreement”.

Dalam “New York Agreement”, Indonesia diberi mandat untuk mengelola referendum yang diawasi PBB tentang masa depan wilayah tersebut pada tahun 1969, yang disebut ‘Tindakan Pilihan Bebas atau PEPERA’. Dalam pembahasan mekanisme dan hasil “Tindakan Pilihan Bebas”, Delegasi Indonesia menyatakan bahwa orang Papua belum mengerti proses demokrasi, karena masih terbelakang, primitif dan tidak berpendidikan sehingga sistem musyawara yang digunakan. Alih-alih mengorganisir referendum satu orang, satu suara, Indonesia memilih dewan 1.026 pemimpin suku dari populasi lebih dari 800.000, yang akan memutuskan atas nama rakyat Papua apakah wilayah itu akan berintegrasi dengan Indonesia atau memilih kemerdekaan. Orang Papua tidak diizinkan memilih. Mereka harus mencapai keputusan melalui sistem musyawarah Indonesia (musyawarah timbal balik) di mana diskusi berlanjut sampai semua orang setuju.

Baca Juga:  Freeport dan Kejahatan Ekosida di Wilayah Suku Amungme dan Suku Mimikawee (Bagian 4)

Semua ini terjadi di bawah pengawasan Ketua Dewan Perwakilan Provinsi Irian Barat, Kepala Dinas Penerangan Indonesia, serta seorang Brigadir Jenderal di angkatan darat Indonesia. Satu per satu setiap kelompok Papua menyatakan mendukung untuk tetap bersama Indonesia. Rosa Tambaib, saksi dan pelaku PEPERA 1969, mengkisahkan dalam video berjudul “Indonesia tekan Kami” di channel YouTube Papuan Storyteller, dimana ia harus latih membaca teks keputusan hasil PEPERA 1969  yang diberikan oleh pejabat militer Indonesia di Merauke tanpa salah. Di bawah intimidasi dari aparat militer Indonesia, ia melatih dan akhirnya membacakan teks tersebut dimana bukan hasil yang lahir dari pertemuan anggota PEPERA itu. Menghadapi paksaan dan intimidasi,  PBB mengembalikan keputusan bulat yang mendukung integrasi Papua dengan Indonesia.

Keabsahan proses dipertanyakan oleh beberapa pengamat internasional yang hadir pada saat itu, aktivis hak asasi manusia dan ahli hukum di Indonesia dan internasional. Tetapi, pada saat itu, PBB “mencatat” proses tersebut (yang tidak demokratis) dan mengakui kedaulatan Indonesia. Orang Papua bikin protes di berbagai tempat di tanah Papua sebagai tanda tidak terima dengan hasil PEPERA 1969 ini. Ada yang ditangkap, dipenjarah, disiksa dan dibunuh.

Dekolonisasi yang gagal itu punya implikasi langsung pada kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia, dan pendekatan politik pembangunan di Papua Barat.

Kita belajar apa dari diskursus proses dekolonisasi yang gagal itu? Dari diskursus di atas, dapat disimpulkan bahwa dekolonisasi yang gagal itu sebagai akar dari rasisme Indonesia terhadap orang Papua dimana lahir dan dihidupi dalam gagasan nasionalisme Indonesia dan diperlihatkan dalam cara Indonesia mendekati Papua Bata. Argumentasi ini berakar dalam konsep bilogis yang digabungkan ke dalam bahasa politik dimana memunculkan konsep “ras unggul” atau “rasa superioritas” untuk menjajah, menaklukan dan mengotrol kelompok ras lain yang dianggap “buas”, “tidak layak”, “tidak sehat” dan lain-lain (lihat Hannah Arendt, 1994: 204, 455).

Menurut George Aditjondro, ada dua hal penting yang tersirat dari kasus rasisme di Papua Barat, yakni pertama; ada dua aktor yang berbeda derajat kekuasaannya: yang satu menentukan (Indonesia), yang lain ditentukan (orang Papua). Pemerintah Indonesia menentukan nasib hidup orang Papua. Kedua yang tersirat adalah “ada cultural gap yang sangat besar antara para penentu (Indonesia) dan mereka (Papua) yang ditentukan nasibnya” dimana ada perbedaan kebudayaan antara mereka yang punya perbedaan kekuasaan menentukan itu. Konsekuensi asimetri kekuasaan itu adalah bahwa kebudayaan kedua kelompok aktor itu pun tidak dinilai setara, bahkan etnisitas dan kebudayaan Papua yang sangat kaya dan dinamis (heterogen) itu dihapus dengan mendefenisikan Papua sebagai suatu suku (ada istilah “suku Irian” yang sempat dipakai) yang menjadi bagian dari bangsa Indonesia. (*)

Artikel sebelumnyaPerjuangan Masyarakat Adat Mengakhiri Diskriminasi Rasial dan Mekanisme Internasional
Artikel berikutnya1065 Orang Positif Corona, 120 Adalah Orang Asli Papua