Menggugat Tujuh Wilayah Adat di Tanah Papua

0
5671

Oleh: Paskalis Kossay)*
)* Penulis adalah Intelektual Papua

Baru-baru ini menjadi polemik di media sosial dampak dari penetapan 42 nama seleksi calon anggota DPRP jalur pengangkatan. Protes pertama datang dari sdr Theo Sitokdana salah satu tokoh intelektual papua dari suku-suku yang mendiami wilayah perbatasan dalam wilayah administrasi Kabupaten Pegunungan Bintang dan wilayah adat Lapago.

Dalam pernyataan terbuka melalui media sosial itu , sdr Theo Sitokdana mengkritisi cara kerja Tim Seleksi 14 kursi DPRP jalur pengangkatan. Menurutnya Timsel tidak memiliki pemahaman yang komprehensif keberadaan suku-suku di papua. Ia menyesal karena tidak ada satu tokoh dari wilayah perbatasan yang masuk dalam seleksi 42 nama.

Lebih jauh sdr Theo Sitokdana menyoroti adanya dominasi suku-suku tertentu yang merasa lebih superior dari suku-suku lain sehingga selalu dirugikan hak-hak politik mereka. Nada kritik yang sama datang dari kalangan lain yang mengusulkan agar kedepan Papua harus memiliki 8 wilayah adat , untuk mengakomodir suku-suku yang selama ini diabaikan kepentingan politiknya.

Baca Juga:  Freeport dan Kejahatan Ekosida di Wilayah Suku Amungme dan Suku Mimikawee (Bagian 4)

Memang selama ini di tanah papua memiliki 7 wilayah adat, terdiri dari 5 wilayah adat di Provinsi Papua, yaitu : Mamta, Saereri, Anim Ha, Lapago dan Meepago, serta 2 wilayah adat di Provinsi Papua Barat, adalah Domberai dan Bomberai.

ads

Adapun konsep pembagian wilayah adat ini sebenarnya mengikuti pola jaman pemerintah Belanda yang membagi papua menjadi 6 wilayah administrasi pemerintahan untuk kepentingan efektivitas pendekatan pembangunan. Konsep Belanda lebih didasarkan atas hubungan kekerabatan, perkawinan, hak ulayat, tipe kepemimpinan, ciri-ciri fisik hingga geografis.

Pemerintah Belanda dan ilmuwan Barat kemudian membuat pemetaan konsep pembagian enam wilayah administrasi berdasarkan fakta budaya. Konsep-konsep itu kemudian diadopsi dalam pemetaan suku bangsa di tanah papua oleh Dewan Adat Papua ( DAP ) , Antropolog Universitas Cenderawasih , Summer Institute of Linguistic ( SIL ) dan Dinas Kebudayaan Provinsi Papua pada tahun 2008.

Baca Juga:  Adakah Ruang Ekonomi Rakyat Dalam Keputusan Politik?

Studi Pemerintah Belanda sebenarnya tidak mencerminkan kesamaan ciri khas budaya yang dimiliki suku-suku bangsa di tanah papua. Belanda hanya fokus pada batasan wilayah geografis dalam memudahkan jangkauan pendekatan pembangunan. Sehingga faktanya dalam wilayah adat tertentu dicampur dari dua atau tiga ciri budaya yang berbeda.

Dewan Adat Papua yang mengadopsi konsep Belanda dalam membagi 7 wilayah adat papua seharusnya lebih selektif membagi 7 wilayah adat papua berdasarkan kesamaan ciri khas budaya suku-suku yang ada di tanah papua. Dewan Adat Papua secara bulat-bulat menerapkan konsep Belanda sehingga ada sebagian suku dirugikan . Dengan keadaan terpaksa suku-suku tersebut bercampur dalam ciri budaya yang berbeda.

Contohnya, suku-suku orang asli Nabire yang satu ciri dengan budaya wilayah adat Saireri harus dipaksa masuk dalam wilayah adat Meepago. Suku bangsa orang asli Kokonao yang satu ciri dengan wilayah adat Bomberai dipaksa masuk dalam wilayah adat Meepago. Suku-suku wilayah perbatasan, Ngalum, Apim , Mindiptana, Mandobo sampai Keerom adalah satu ciri budaya yang seharusnya dibentuk wilayah adat sendiri. Namun faktanya suku-suku ini berada dalam wilayah adat Lapago, Mamta dan Anim Ha.

Baca Juga:  Indonesia Berpotensi Kehilangan Kedaulatan Negara Atas Papua

Suku-suku ini dalam hal eksistensi wilayah adat mereka hanya menempel pada suku-suku yang mayoritas. Karena itu dalam segala kebijakan politik pembangunan daerah kadang keberadaan mereka kalah dari persaingan. Oleh karena itu komentar tentang pembentukan 8 wilayah adat itu sepertinya sudah tepat. Tinggal sekarang siapa yang mau bergerak untuk mewujudkan ide pembentukan 8 wilayah adat di tanah papua itu.

Sebaiknya para tokoh masyarakat dan intelektual dari wilayah adat yang merasa disisihkan ini coba bersatu mendesak Dewan Adat Papua untuk menata ulang pemetaan wilayah adat papua supaya semua suku-suku bangsa di papua berada dalam sederajat, tidak ada yang merasa disisihkan dalam berbagai kepentingan pembangunan daerah.

Artikel sebelumnyaPerempuan Tambrauw Soroti Pembangunan Kodim 1810
Artikel berikutnya‘Perempuan Tanah’ Melawan