Pembayaran maskawin dengan nilai sangat tertinggi di suatu daerah pedalaman, Papua New Guine menjadi bahan diskusi tentang maskawin orang Papua. Apa pentingnya maskawin dalam adat, dampak buruk dan baik, serta konsep tentang perlindungan terhadap hak-hak perempuan Papua kedepan.
Enga, sebuah Provinsi di pedalaman Papua New Guinea, merupakan suatu daerah pedalaman yang terkenal dengan perjuangan seseorang untuk menjadi orang penting atau pemimpin yang bermartabat dan berpengaruh, berjasa, mempunyai kebolehan dan kemampuan dalam masyarakat di daerahnya menjadi seorang Individu yang berprestasi, atau boleh menjadi seorang yang ramah serta disukai dalam masyarakat.
Setiap orang Enga paling tidak atau paling sedikit harus ada upaya untuk punya nama dalam masyarakat adatnya, melalui beberapa hal yang disebut diatas. Punya ‘nama’ dalam masyarakat melalui cara apapun sudah merupakan menjadi target seorang dari masyarakat adat Enga.
Tulisan tentang maskawin ini ditulis oleh Konstatinopel Ruhukail, seorang pengungsi dan aktivis politik yang telah lama bermukim di PNG, pada 13 Januari 2020 lalu, dalam status facebooknya, menjelaskan tentang pembayaran maskawin yang sangat tinggi dalam sebuah acara adat pembayaran maskawin, di Ibu kota negara, Port Moresby.
Lebih lanyut Konstan menulis bahwa, baru-baru ini, seorang suami dari Enga, membuka perjalanan hidupnya di tahun 2020 dengan membayar maskawin kepada keluarga isterinya berupa: Uang tunai K410,700.00 (1,5 Milyar), sebuah rumah empat kamar, 33 ekor babi, 2 ekor kasuari, dan 1 ekor sapi.
Isterinya yang bernama Melissa (33 Tahun) berasal dari Hanuabada, Port Moresby. Dalam perkawinan dengan Isak Umbu Pupu dari Pausa, Wapenamanda, Perovinsi Enga, telah melahirkan dua orang anak, seorang laki-laki dan seorang anak perempuan.
Sang suami menyerahkan maskawin yang bernilai milyaran itu kepada orang tuanya Melisa di kampung Baruni, disaksikan oleh kerabat dan tua-tua adat dari kedua belah pihak.
Ini baru hanya Rp. 1,5 milyar dibayar tunai. Dalam masyarakat adat orang Enga, nilai maskawin yang paling tinggi, boleh jadi di seluruh Papua New Guinea, adalah maskawin yang bernilai K3,86 millyar atau setara dengan 135 milyar lebih, sebuah rumah termahal di Australia, dan tambahan lainya yang pernah dibayar oleh seorang laki-laki asal Wabag di Enga dalam soal bayar maskawin.
Pembayaran maskawin itu masih menimbulkan petanyaan dalam pikiran Costan. Kebetulan Costan mempunyai seorang teman berasal dari Enga, bernama Leo. Costan bertanya kepada Leo, apa sebabnya orang Enga membayar maskawin sangat begitu tinggi?.
Leo Menjawab, ada beberapa hal yang menjadi alasan mengapa nilai maskawin tinggi dalam masyarakat Enga. Pertama, dari segi keperawanan dan kecantikan perempuan itu; kedua adalah status wanita itu dalam masyarakat; yang ketiga adalah kesuburan wanita itu secara biology untuk mampu memberikan keturunan bagi laki-laki. Keempat, maskawin yang tinggi itu dilakukan untuk menunjukkan kepada masyarakat adatnya bahwa, dia (laki-laki) hebat dan mampu sehingga status sosialnya dalam masyarakat adatnya diakui dan orang kaya yang disegani.
Tetapi, menurut Leo, membayar maskawin adalah merupakan tuntutan adat yang harus dilakukan, untuk menujukkan bahwa wanita itu adalah miliknya seumur hidup, sehingga hanya kematian yang dapat memisahkan keduanya.
Tanggapan Orang Papua
Tanggapan menarik oleh para pembaca status Ruhukail, sebagian besar merupakan para aktivis Papua.
Leopold Marjen member pandangan bahwa, pembayaran maskawin biasanya sesuai kedudukan dan kesanggupan seseorang. Di Papua juga mungkin ada. Tapi, ia menegaskan, jaman sekarang harus hati-hati. Jangan orang tua yang punya anak-anak perempuan cantik coba kompetisi tingkat maskawin, akan berdampak pada korupsi dana desa, dan anak-anak Papua yang ganteng tidak sanggup bayar maskawin, bisa saja turun ke jawa dan kawin”.
Tanggapan Daniel Randongkir lebih menegaskan pada hubungan setelah pembayaran maskawin. Menurutnya, nilai ini jangan dilihat dari besaran materi (barang) yang dibayar sebagai maskawin, tapi harus dilihat juga hubungan timbal baliknya (resiprositas) antara pihak laki-laki dan perempuan, selama kedua pasangan menjalani kehidupan rumah tanggannya.
Sedangkan tanggapan dari akun bernama Jack Warisyu, lebih baik laki-laki PNG (Enga) kawin di jawa atau di Australia atau negara-negara barat di mana pun yang sudah civilize.
Alasanya, Maskawin yang besar tidak mungkin membawa kebahagiaan diantara mereka dua dalam perkawinan. Pembayaran maskawin ini anggaplah bahwa, dia sudah beli perempuan punya kepala, apa yang terjadi jika perempuan ini dipukul, disiksa sepanjang rumah tangga mereka berjalan bahkan perempuan dibunuh seandainya laki-laki cemburu. Ini adalah masalah keluarga karena dia sudah dibeli.
Jack Warisyu menambahkan, Perempuan ini kasihan karena dia akan kerja melayani keluarga dari suaminya karena mereka sudah bayar maskawin yang besar. Hak sebagai seorang perempuan yang mempunyai wibawa sudah dijual oleh orang tuanya. Kalau dunia barat, kedua bela pihak orang tuanya akan sumbang uang untuk perayaan pesta nikah. Mereka lebih cenderung untuk kebahagiaan dab kesejahteraan masa depan perkawinan anak mereka.
Di akhir tanggapanya, Warisyu menegaskan, setiap wanita didunia bukan untuk dijual belikan tetapi mereka adalah anugerah TUHAN untuk mendampingi suami untuk menciptakan kebahagiaan, melayani rumah tangga dan menjadi istri yang baik, bukan untuk jadi budak.
Rona Rumsarwir juga menanggapinya dengan lebih menekankan pada hubungan perkawinannya tidak sampai bayar maskawin tetap lebih lanjut dalam saling melengkapi kekurangan dalam kebutuhan hidup.
Wow Luar biasa! Menghargai sosial budaya dan juga ekonomi, politik dan Hankam ini. Tidak hanya kepada pribadi perempuan tapi juga keluarga dan suku asalnya. Mempererat tali persaudaraan mengikat suku dengan suku bekerja sama dan dan bahu membahu antara suku dan clan yang dulunya terpisah menjadi satu karena ikatan perkawinan dua manusia dan hadirnya anak keturunannya. Itulah nilai-nilai dari pembayaran maskawin.
Istri bermitra dengan suami, jika suku suaminya mempunyai acara besar atau kecil, istri dan suaminya harus siap dukung segala lini, begitu juga sebaliknya. Konsekuensi dari member dan menerima sepanjang hayat dikandung badan.
Di akhir tanggapannya, Rumsarwir menegaskan bahwa,pembayaran maskawin sebesar itu bukan berarti, kalau ada kebutuhan apa-apa di pihak istri tra boleh minta bantuan lagi ka? Ikatan karena pembayaran maskawin juga harus diingat bahwa dalam perjalanan hidup keluarga, suami masih tetap bantu tambah-tambah kekurangan keluarga istri dan juga sebaliknya. Semoga pembayaran ini masih memungkinkan hal itu terjadi berkelanjutan.
Mangguwai Manggun menilai, dengan mengaitkan sikap pro dan kontra terhadap pembayaran maskawin di Papua. Menurutnya, Secara umum situasi sama dengan yang terjadi di Papua. Pro dan kontra terjadi dan dampak dari situasi ini juga ada berbagai alasan muncul dan sudah dikomentari oleh beberapa saudara.
Manggun menegaskan, orang-orang tua memberi penjelasan yang bermakna kultur, sosial kepada generasi muda agar tidak melihat pembayaran maskawin sebagai momok yang memuakkan.
Rex Rumakiek berkomentar, “setahu saya, sesuai adat biak, pihak minta maskawin sesuai kesanggupan mereka untuk mereka kembalikan pada waktu potong rambut dari anak pertama. Dengan kata lain, ‘mereka minta tinggi sebab mereka rasa sanggup untuk kembalikan nanti’. Ini nilai investasi adat, bukan jual beli”, tegasnya.
Rex, Diplomat senior Papua Barat itu menambahkan, sistem pembayaran yang berbeda di beberapa negara. Di India, pihak perempuan yang bayar maskawin. Jadi kalau punya banyak anak perempuan, mereka stress pikir-pikir bisa kasi kawin atau tidak.
Kalau di kepulauan Yap dekat Palau, sama sekali bebas. Kawin bebas, seks bebas, jadi stress juga bebas. Turunan mereka ada yang mendiami Wuwulu, pulau paling barat dari kepulauan Manus (8 jam ke Wewak dank e Jayapura).
Mereka juga mendiami pulau-pulau Merir dan Sonsorol sebelah selatan pulau dekat Pulau Mapia (Biak Numfor), kepulauan Tribian dekat Samarai dikenal dengan julukan “islands of love” karena praktek adat yang sama. Komplik berupa perkelahian jarang terjadi dalam masyarakat-masyarakat ini, mengakhiri komentarnya.
Reynold Wally, menjelaskan nilai pembayaran maskawin dari suku Sentani. Di Sentani, pembayaran maskawin yaitu dengan membayar Tomako Batu (Kapak Batu). Dibayar oleh pihak laki-laki kepada keluarga perempuan. Dibayarkan dalam suatu pesta adat dan melibatkan keluarga besar pihak laki-laki dan pihak perempuan.
Dibayar sesuai strata adat dalam tatanan adat orang Sentani, dan itu tidak memberatkan pihak mana pun, karena sudah menjadi norma yang baku dan terus dijalankan turun temurun oleh setiap generasi.
Pembayaran maskawin perempuan Sentani juga dilakukan sesuai dengan status sosial dari keluarga perempuan dan itu adalah kewajiban. itu cara kami menghormati seorang perempuan di suku Sentani, tegasnya dalam tanggapannya.
Tim Riset Suara Papua