Prediksi Nasib Otsus Papua

0
1653

Oleh: Paskalis Kossay)* 
)* Penulis adalah Intelektulan Papua

Otonomi Khusus ini lahir karena adanya desakan aspirasi pemisahan wilayah papua dari Indonesia -merdeka- oleh rakyat pada tahun 1998 – 2001. Pemerintah Indonesia tidak ingin papua lepas dari Indonesia. Karena itu Otonomi Khusus menjadi tawaran solusi strategis meredam aspirasi merdeka.

Setelah diberlakukan Otonomi Khusus , pemerintah Indonesia sering menggunakan pemberlakuan Otsus sebagai alat diplomasi politik luar negeri meyakinkan negara lain bahwa pemerintah Indonesia perhatikan penuh (bangun) papua dengan Otsus tersebut.

Namun setelah 19 tahun Otsus diimplementasikan, ternyata pemerintah tidak konsisten mengimplementasikan komitmennya sesuai amanat uu otsus itu sendiri. Banyak mengingkari pemerintah terhadap amanat uu otsus itu sehingga menimbulkan banyak masalah.

Masalah tersebut begitu terakumulasi lama selama 19 tahun ini sehingga begitu didengar isu bahwa uu otsus akan direvisi dalam tahun 2020 ini maka rakyat mulai menunjukan sikap menolak pemberlakuan Otonomi khusus di Tanah Papua.

ads
Baca Juga:  23 Tahun Otsus, Orang Asli Papua Termarginalkan

Satu sisi pemberlakuan Otsus itu juga baik. Baik dari aspek keuangan. APBD Papua dan Papua Barat ditunjang cukup signifikan dana otsus dua persen dari DAU itu. Tetapi semangat kekhususan itu tidak hanya terbatas pada pemberian dana saja, namun jauh lebih penting adalah penyerahan kewenangan. Kewenangan untuk mengatur, memproteksi dan memberdayakan orang papua.

Soal kewenangan inilah menjadi titik lemah dalam pelaksanaan otonomi khusus . Maka Gubernur dan jajaran pemerintah daerahnya selalu dipersulit . Karena pengaturan kewenangan masih domain pemerintah pusat. Padahal papua memiliki label kekhususan. Hal inilah selalu dipertanyakan Gubernur Papua.

Karena tidak ada kewenangan mutlak untuk mengatur daerahnya, maka timbul banyak masalah antara lain, soal formasi CPNS, penerimaan calon mahasiswa, calon taruna TNI/POLRI, dan lain-lain semua ditentukan dari pusat lantas orang papua tersisih dalam persaingan merebut peluang tersebut.

Baca Juga:  Freeport dan Kejahatan Ekosida di Wilayah Suku Amungme dan Suku Mimikawee (Bagian 4)

Oleh karena itu dengan munculnya isu revisi uu otsus, rakyat Papua mulai konsolidasi kekuatan massa untuk menolak revisi uu otsus. Desakan penolakan revisi uu otsus tersebut mulai bergulir dalam bentuk aksi massa maupun dalam bentuk petisi politik kepada pemerintah Indonesia.

Rakyat Papua mulai menawarkan solusi demokratis, yaitu referendum sebagai sarana penyelesaian masalah papua. Namun demikian, pemerintah melihatnya, tuntutan referendum bukanlah solusi melainkan ancaman disintegrasi. Karena itu desakan referendum tidak akan direspon oleh pemerintah.

Rakyat Papua pasti terus mendorong isu referendum pengganti Otsus ini sampai pada titik maksimal. Namun lagi-lagi tidak akan direspon oleh pemerintah, maka kemungkinan terjadi konflik horizontal dan vertikal sangat terbuka. Jika konflik ini benar-benar terjadi maka yang mendapat keuntungan pihak ketiga.

Baca Juga:  Hilirisasi Industri di Indonesia: Untung atau Buntung bagi Papua?

Siapa pihak ketiga? Adalah ULMWP dan KNPB. Mereka akan memanfaatkan situasi konflik tersebut sebagai bahan diplomasi menggalang dukungan dunia internasional supaya menekan Indonesia untuk diterima pelaksanaan referendum.

Tidak gampang , sebuah tuntutan yang mempunyai resiko tinggi. Jika tidak dikelola dengan bijak aspirasi penolakan otsus ini, maka konsekwensi logis yang akan dihadapi adalah massa penolakan otsus dan tuntutan referendum bergerak semakin kuat. Merebut simpati dukungan negara lain . Posisi pemerintah Indonesia bisa menjadi bulan-bulanan.

Oleh karena itu , segera ambil sikap untuk menetralisir aspirasi dan tuntutan referendum yang sedang berkembang di masyarakat dibawa dalam mekanisme dan sistem kerja pemerintahan. (*)

Artikel sebelumnyaDi Timika, Anak Dibawah Umur Berani Curi Sepeda Motor
Artikel berikutnyaPembangunan Kodim dan Koramil di Tambrauw, Bukti Nyata Menguatnya Militerisme di Papua