Perlu Ada Kesadaran di Antara Pemimpin Adat Untuk Perjuangkan Hak-hak OAP

0
2398

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Di saat memperingati hari Masyarakat Adat Internasional (MAI) tepatnya pada 9 Agustus 2020, Dewan Adat Papua wilayah III Doberay sangat signifikansi dalam perjuangkan hak-hak dasar orang asli Papua. 

Ketua Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Dewan Adat Papua (DAP) Wilayah III Domberay, Yan Christian Warinussy mengatakan pentingnya kesadaran di antara para pemimpin adat di tanah Papua termasuk Domberay, untuk bersatu bangkit memperjuangkan perlindungan dan pemberdayaan Masyarakat Adat Papua dan hak-hak dasarnya sejak sekarang ini.

“Kiranya bisa dijadikan moment kebangkitan Masyarakat Adat Papua. Kebangkitan sebagaimana sesuai amanat pasal 1 deklarasi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) tentang hak-hak Masyarakat Adat Internasional (MAI),” kata Warinussy, Minggu (9/8/20).

Kesadaran Masyarakat Adat Papua (MAP) secara total sesungguhnya diawali dalam penyelenggaraan perlindungan hak-hak dasar mereka atas sumber daya alam, beserta jati diri sebagai bagian dari masyarakat adat dunia.

Ia berobsesi agar Masyarakat Adat Papua mau menempatkan dirinya pada Dewan Adat Papua (DAP) yang berjalan sesuai statuta dan pedoman dasar DAP tahun 2005, yang merupakan hasil dari KBMAP.

ads
Baca Juga:  IPMNI dan HIPMAPA Protes Proyek Pembuatan Film Pembebasan Sandera Mapenduma 1996

“Kini di tanah Papua telah muncul banyak kelembagaan yang menyebut dirinya sebagai lembaga adat dan sebagainya. Namun harus jujur diakui bahwa kelembagaan tersebut tidak memiliki sejarah dan akar di Masyarakat Adat Papua asli. Lebih banyak merupakan hasil dari kerja kontra spionase dalam upaya memenangkan kepentingan politik tertentu sahaja,” imbuhnya.

Dalam keterangan tertulis yang diterima media ini, tertulis bahwa di dalam penyelenggaraan musyawarah besar Masyarakat Adat Wondama bulan Juni 1999 di Miei, Wasior. Di mana telah dimulai dan dicanangkan di dalam deklarasi Aitumieri. Kemudian diangkat dan dibahas serta diperkuat dalam Kongres Papua II Mei – Juni 2000 di Jayapura.

Lalu dihasilkan dalam Komisi Hak-hak Dasar berbentuk Manifesto Hak-hak Dasar Rakyat Papua. Manifesto yang sebagaimana mencakup bidang ekonomi, budaya dan sosial yang meliputi pendidikan, kesehatan dan kependudukan, serta budaya. Bahkan hak-hak sipil dan politik.

Aspirasi luhur masyarakat adat Papua tersebut kemudian diakomodir dengan baik di dalam rumusan kebijakan nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang mengarah di dalam Undang Undang No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.

Baca Juga:  Proyek Strategis Nasional di Merauke Melanggar Ketentuan Pidana Keanekaragaman Hayati

Di mana di dalam konsideran huruf f yang berbunyi: bahwa penduduk asli di Provinsi Papua adalah salah satu rumpun dari ras Melanesia yang merupakan bagian dari suku-suku bangsa di Indonesia, yang memiliki kebudayaan, sejarah, adat istiadat, dan bahasa sendiri.

Pada konsideran huruf g disebutkan: bahwa pengelolaan dan pemanfaatan hasil kekayaan alam Provinsi Papua belum digunakan secara optimal untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat asli, sehingga telah mengakibatkan terjadinya kesenjangan antara Provinsi Papua dan daerah lain serta merupakan pengabaian hak-hak dasar penduduk asli Papua. Dipertegas kan dalam konsideran menimbang huruf h bahwa dalam rangka mengurangi kesenjangan antara Provinsi Papua dan provinsi lain, dan meningkatkan taraf hidup masyarakat di Provinsi Papua, serta memberikan kesempatan kepada penduduk asli Papua, diperlukan adanya kebijakan khusus dalam kerangka NKRI.

Latar belakang politik hukum inilah yang mendorong lahirnya kebijakan otonomi khusus di tanah Papua. Artinya, dari sisi hukum negara (NKRI) hendak memberi perlindungan (protection), pemberdayaan (empowering) serta keberpihakan (afirmasi) bagi Masyarakat Asli/Adat Papua untuk tumbuh, berkembang dan merdeka di atas tanah-tanah adatnya di Bumi Cenderawasih tercinta ini.

Baca Juga:  Lambertus Jitmau Tersingkir di Injury Time

Itulah sebabnya di dalam Pasal 1 huruf t (definisi orang asli Papua/OAP). Kemudian huruf o (adat), huruf p (Masyarakat Adat), huruf q (Hukum Adat), huruf r (Masyarakat Hukum Adat) serta huruf s tentang Hak Ulayat. Selanjutnya di dalam Pasal 43 diatur mengenai Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat. Dengan demikian Negara (NKRI) telah mengakui dan memberikan perlindungan secara hukum terhadap Orang Asli Papua (OAP) sebagai Masyarakat Adat Dunia.

Langkah penting dalam upaya melindungi dirinya sendiri, masyarakat adat Papua menyelenggarakan Konferensi Besar Masyarakat Adat Papua (KBMAP) pertama pada 2005. KBMAP kemudian menjadi forum tertinggi Masyarakat Adat Papua untuk merumuskan langkah dan program strategisnya dalam mewujudkan cita-cita perlindungan, dan pemberdayaan hak-hak dasarnya sesuai amanat pasal 43 diatas. Itulah sebabnya Masyarakat Adat Asli Papua tidak boleh melacurkan dirinya untuk masuk dalam sistem pemecah belah atau politik Devide et Impera.

 

Pewarta: Yance Agapa 
Editor: Arnold Belau

 

Artikel sebelumnyaRenharet Ginting Dimutasi, Surya Anta: Itu Bukan Solusi Penegakan Hukum
Artikel berikutnyaNasib OAP, Derita Tiada Akhir