Mentalitas Oligarki-Timokrasi yang Melandasi Upaya Perpanjang UU Otsus (Bagian I)

0
1748

Oleh: Bernardus Bofitwos Baru, OSA)*
Penulis direktur SKPKC-OSA, tinggal di Sorong

Platon dan mentalitas oligarki – timokrasi

Apa yang dimaksud dengan oligarki? Oligarki dari kata Yunani, oligarkhia, artinya bentuk pemerintahan yang kekuasaan politiknya secara efektif dipegang oleh kelompok elite kecil masyarakat berdasarkan kekayaan, kekeluargaan atau secara militer. Dengan kata lain, oligarki adalah pemerintahan yang dijalankan oleh beberapa orang yang berkuasa dari golongan atau kelompok tertentu yang mempunyai kekuatan modal dan persenjataan. Mesin penggerak utama kaum oligarki adalah mentalitas yang lahir karena didayai oleh hasrat epithumia. Epithumia dalam ajaran Platon adalah nafsu akan kekayaan secara tak terbatas, dan nafsu atas objek yang secara langsung berkaitan dengan tubuh atau memuaskan hasrat tubuh semata (A. Setyo Wibowo 2017).

Menurut Platon, dorongan epithumia yang tak terbatas melahirkan kelekatan dan ketagihan dalam diri manusia yang disebut hipertrofi. Hipertrofi adalah adanya suatu dorongan kuat dalam jiwa manusia untuk membutuhkan hal-hal material yang berlebihan (materialisme). Ketika kita yakin bahwa dengan mendapatkan makanan, minuman, HP, mobil atau rumah yang dibutuhkan secara melimpah lalu kita merasa nikmat dan puas (hedonisme). Sebaliknya kita berpikir bahwa ketika kita tidak memperoleh semuanya ini, kita akan menderita, tersiksa atau tidak bahagia.

Namun kebenaran sesungguhnya adalah bahwa setelah kita memperoleh semua kebutuhan material tersebut, kita tidak sungguh-sungguh bahagia, malahan kita tergoda mengejar terus hal-hal material tersebut, tetapi tidak puas-puas juga. Karena dikuasai oleh kekuatan roh epithumia, sehingga jati diri sebagai manusia diperbudak oleh uang dan kekayaan (hedonisme dan materialisme). Epithumia sebagi monster ganas yang menciptakan peperangan dalam diri setiap individu dan antara individu.

ads
Baca Juga:  Indonesia Berpotensi Kehilangan Kedaulatan Negara Atas Papua

Pada rezim oligarki, para penguasa mengejar uang sebagai tujuan utamanya bukan untuk membangun martabat manusia. Kebijakan pembangunan terfokus pada pembangunan fisik semata demi akumulasi modal agar menambah kenikmatan kekayaan material semata. Karena dorongan epithumia, kaum oligarki menjadikan uang dan materi sebagai tujuan kebahagiaannya, dan memandang uang bersifat “kekal”. Mereka juga menjadikan uang sebagai sesuatu yang “transenden”, seolah-olah memiliki nilai dalam dirinya sendiri (A.S. Wibowo 2017). Padahal secara hakiki, uang bukanlah sesuatu yang bersifat kekal, bukan pula sesuatu yang transenden. Uang pada hakikatnya sarana bagi hidup manusia, uang bukan tujuan akhir hidup manusia. Ketika uang dijadikan tujuan akhir hidup kita, maka kita menjadi budak dan objek uang, bukan menjadi subjek atas uang. Pada dasarnya, uang dan kekayaan material adalah sesuatu yang ilusif, sebuah non-being, bukanlah sesuatu yang bernilai kekal dan transenden.

Mentalitas kaum oligarki yang didayai/dikuasai oleh hasrat akan uang dan kekayaan material, sebenarnya memiliki kepribadian yang terbelah atau pribadi yang mendua. Menurut Bourdieau, pribadi yang terbelah atau mendua ini disebut hysteresis. Karena itu, kaum oligarki adalah kaum yang memiliki kepribadian yang terpecah atau mendua. Dalam dirinya, mereka disetir oleh nafsu mencari uang sebanyak-banyaknya demi kepuasan semu mereka. Atas dorongan nafsu uang dan kekayaan material yang besar, menyebabkan kaum oligarki ini tidak pernah menemukan rasa aman dan damai dalam dirinya. Karena kepribadian yang terbelah atau mendua demikian, turut menyebabkan keterpecahan dalam komunitasnya.

Baca Juga:  Politik Praktis dan Potensi Fragmentasi Relasi Sosial di Paniai

Karena didorong oleh nafsu uang dan mengejar serta menumpuk kekayaan sebanyak-banyaknya, kaum oligarki berani melakukan kekerasan terhadap sesamanya, bahkan membunuh manusia lain tanpa ada rasa bersalah. Lebih ironi lagi dianggapnya hal biasa. Mentalitas inilah yang selama ini dipraktekan oleh Pemerintah NKRI bersama antek-anteknya terhadap orang asli Papua.

Apa yang dimaksud dengan istilah timokrasi? Kata timokrasi dari kata Yunani, thumos. Thumos artinya dorongan pencarian harga diri dan nama besar. Maka timokrasi adalah bentuk sistem pemerintahan dimana kondisi ideal tertinggi dan prinsip yang digunakan sebagai pengatur pemerintahan negara sebagai rasa cinta akan kehormatan, kemuliaan dan penghargaan. Dengan kata lain, timokrasi adalah suatu sistem pemerintahan dimana hanya mereka yang memiliki aset atau properti yang dapat ikut andil dalam pemerintahan. Bahkan di tingkatan yang ekstrim, kekuasaan yang didapat sepenuhnya berasal dari kekayaan tanpa memperhatikan dampak sosial dan budaya. Berdasarkan etimologi ini, disimpulkan bahwa hasrat utama kaum timokrat adalah kekuasaan dan kekayaan.

Karena itu, dalam bukunya VIII The Republic, Platon menegaskan bahwa para penganut rezim timokrasi secara diam-diam bernafsu mencari uang dan kekayaan melalui peluang kekuasaan politiknya, sehingga menguasai/memperdaya diri mereka (hati dan pikirannya), sebagaimana halnya rezim oligarki (A.S.Wibowo 2017). Ketika kaum timokrat tampil menggembar-gemborkan tentang pentingnya membela negara dan kebesaran nama bangsa, namun secara pribadi hasratnya diperbudak oleh keinginan/nafsu akan uang dan kekayaan material yang secara diam-diam dikumpulkannya, sebagaimana yang diperbuat oleh kaum oligarki.

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Maka disimpulkan pula bahwa mentalitas kaum timokrat tidaklah berbeda dengan kaum oligarki. Karena keduanya mempunyai mentalitas yang sama, yaitu diperbudak oleh nafsu epithumia. Mentalitas ini terlihat melalui ucapan yang sering terlontar dari mulut PNS, TNI-Polri, politikus, pelaku ekonomi (pengusaha) bahwa integrasi Papua ke dalam NKRI adalah harga mati. Harga mati demi pencaplokan dan eksploitasi kekayaan alam Papua untuk ketamakan dan kerakusannya, bukan demi pembangunan manusia Papua.

Nafsu epithumia, sungguh menguasai/mendayai, baik kaum oligarki maupun timokrat, sehingga mereka memiliki hasrat tak terbatas untuk mengejar uang dan kekayaan duniawi, demi kepuasan dirinya. Hasrat akan uang dan kekayaan material duniawi yang dikejar dalam hidup mereka, sekedar demi kepuasan biologis semata.

Maka kedua rezim ini adalah rezim yang dikuasai, diperbudak oleh nafsu uang dan kekayaan, sehingga mereka tidak peduli pada upaya memajukan kepentingan bersama atau kebaikan bersama (bonum commune) dan penghargaan terhadap martabat manusia (human dignity appreciation). Orientasi pembangunan kaum oligarki dan timokrat adalah orientasi uang dan kekayaan.

Oleh karena itu, para penguasa yang bermental oligarki dan timokrasi ketika mencanangkan berbagai proyek pembangunan bangsa adalah semata-mata demi uang dan kekayaan materil bukan pembangunan manusia dan kesejahteraannya. Program yang mengembar-gemborkan pembangunan manusia sekedar slogan belaka. (*)

Bersambung…

Artikel sebelumnyaNatalius Pigai: Jokowi Hidupkan UU Perbudakan yang Sudah Mati di Abad ke-20
Artikel berikutnyaMentalitas Oligarki-Timokrasi dan Otsus Jilid II (Bagian II/Habis)