BeritaPolisi Seret Massa Aksi Disertai ‘Hate Speech’ ke Anggota DPRP

Polisi Seret Massa Aksi Disertai ‘Hate Speech’ ke Anggota DPRP

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Aparat kepolisian dari Polresta Jayapura dibawah pimpinan Kabag Ops, Kompol Nursalam Saka bertindak anarkis saat menyeret keluar mahasiswa-mahasiswi Deiyai di kota Jayapura, bahkan disertai ‘hate speech’ (ujaran kebencian) dari seorang polisi ke Amos Edowai, Anggota Komisi 1 DPR Papua, Senin (16/11/2020) lalu.

Yance Pakage, penanggung jawab aksi, menilai sikap kepolisian dalam menghadapi mahasiswa Deiyai terlalu berlebihan. Sebab, kata dia, sebelumnya sudah sampaikan surat izin kepada kepolisian, namun ditolak dengan berbagai alasan.

“Polisi juga harus menghargai kami, karena kami telah meniadakan untuk turun jalan dalam jumlah massa yang banyak, karena sebelumnya kami sudah ikuti polisi punya mau,” katanya kepada suarapapua.com, Kamis (19/11/2020).

Ia sangat menyayangkan sikap aparat kepolisian yang acuh-tak acuh, bahkan tidak menghargai seorang pejabat negara yang notabene anggota DPRP.

Baca Juga:  Pelaku Penyiksaan Harus Diadili, Desakan Copot Pangdam Cenderawasih Terus Disuarakan

Menurutnya, polisi mulai mendekati Amos Edowai dan melakukan upaya-upaya ancaman dan ujaran kebencian serta pembungkaman ruang demokrasi terkait aspirasi yang disampaikan mahasiswa Deiyai.

“Seenaknya polisi dekati wakil rakyat dan bisik-bisik di telinganya soal perpanjangan Otsus dan DOB di Papua,” kata Yance.

Soal soal aspirasi yang diterima DPRP, menurutnya, wakil rakyat dalam waktu dekat akan melakukan audiens dengan pemkab Deiyai.

Amos Edowai membenarkan sikap aparat kepolisian yang berlebihan dan emosional dalam menangani massa aksi. Hanya saja, menurut dia, mahasiswa beruntung karena dibubarkan setelah aspirasi sudah diterima pihak DPRP.

Anggota DPRP ini menerangkan, aparat kepolisian bertindak emosional di saat dirinya menegur sikap polisi yang tidak menghargai dan menggurui DPRP dan mahasiswa.

Baca Juga:  Pembagian Selebaran Aksi di Sentani Dibubarkan

“Teman-teman polisi jangan larang-larang kalau orang mau menyampaikan aspirasi di muka umum. Harus sama seperti di pulau Jawa, kalau Jawa dikasih kebebasan, di Papua juga harus bebas,” kata Amos kepada aparat kepolisian saat situasi semakin tegang.

Tegurannya tak diindahkan. Aparat kepolisian justru mengeluarkan ujaran kebencian dan mendorong massa aksi secara paksa.

Amos mengaku adanya pembungkaman ruang demokrasi di Papua yang lazim dilakukan setiap aksi yang digelar mahasiswa dan rakyat.

“Saat saya sampaikan ke mereka bahwa menyampaikan pendapat di muka umum itu dijamin konstitusi negara ini, jadi tolong sampaikan kepada Kapolda. Tiba-tiba mereka emosi dan mendorong ade-ade mahasiswa sambil melontarkan ujaran kebencian sama saya,” bebernya.

Baca Juga:  Panglima TNI dan Negara Diminta Bertanggung Jawab Atas Penembakan Dua Anak di Intan Jaya

Dalam sebuah cuplikan video, terlihat seorang polisi mengucapkan kata ‘goblok’ kepada anggota Komisi I DPRP.

Selain itu, Abniel Doo, korlap aksi mengaku mahasiswa didorong secara anarkis oleh aparat kepolisian. Ini setelah polisi memutuskan tali komando kemudian merampas pamflet dan baliho dari massa aksi.

“Ketika kami di luar jalan, polisi mulai lakukan pemukulan tanpa pandang bulu,” katanya.

Akibat tindakan anarkis yang ditunjukkan aparat kepolisian, kata Doo, ada tujuh orang mahasiswa yang mengalami luka berlumuran darah serta bengkak.

Adapun nama mahasiswa korban pemukulan aparat kepolisian: Abniel Doo, Nason Giyai, Maikel Pekei, Abraham Douw, Yabet Lukas Degei, Nius Dogopia, dan Akulian Pekei.

Pewarta: Yance Agapa
Editor: Markus You 

Terkini

Populer Minggu Ini:

Dukcapil Intan Jaya akan Lanjutkan Perekaman Data Penduduk di Tiga Distrik

0
“Untuk distrik Tomosiga, perekaman akan dipusatkan di Kampung Bigasiga. Sedangkan untuk Ugimba akan dilakukan di Ugimba jika memungkinkan. Lalu distrik Homeyo perekaman data penduduk akan dilakukan di Kampung Jombandoga dan Kampung Maya,” kata Nambagani.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.