Sejak Maret 2020, 1.752 Warga Kampung Waa Dipaksakan Tinggalkan Kampungnya

0
1330

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — 1752 warga yang terdiri 1.176 orang dewasa dan 396 anak-anak dipaksakan untuk meninggalkan kampung mereka  sejak 6-9 Maret 2020 ke Timika. Ribuan warga tersebut diungsikan oleh aparat dan pemerintah dengan dibantu oleh Freeport Indonesia.

1,7 ribuan masyarakat yang diungsikan ke Timika tersebut berasal dari  Kampung Waa Banti, Kimbeli, Kali Kabur dan Banti.

Hingga akhir November 2020, masyarakat Tembagapura masih menunggu kejelasan dari pemerintah kabupaten Mimika agar memfasilitasi masyarakat kembali ke kampung masing-masing.

Pada 16 Juli 2020, Wakil Ketua II DPRD Mimika, Yohanis F. Helyanan mengatakan, pemerintah berkewajiban untuk memfasilitasi masyarakat Waa kembali ke kampung halaman mereka.

Yohanis juga mengatakan bahwa masyarakat Waa meminta untuk dikembalikan ke kampung karena mereka [masyarakat] sudah merasa tidak mampu untuk bertahan dan menyesuaikan diri di wilayah kota Timika semenjak di evakuasi pada Maret 2020.

ads

“Ini memang tugas kami. Tugas pemerintah bagaimana supaya bisa memfasilitasi kembali ke mereka punya kampung halaman,” katanya kepada seputarpapua.com saat ditemui di Gedung DPRD Mimika ketika itu.

Menurut John, ketika itu masyarakat dievakuasi dan diungsikan ke Timika konflik bersenjata antara anggota TPNPB dengan TNI/Polri. Proses evakuasi dan pemindahan secara paksa terhadap masyarakat dilakukan oleh aparat keamanan dengan dibantu Freeport menggunakan puluhan bus.

Ketika itu, John juag mengatakan, kalau memang ada keinginan dari masyarakat Tembagapura untuk pulang , maka sudah sepatutnya pemerintah membantu fasilitasi kepulangan mereka.

“Kita disini berpikir supaya jangan sampai mereka punya hak ulayat atau apa yang ada di atas itu akhirnya dikuasai oleh orang lain,” ujarnya.

Dia menegaskan, pemerintah tidak bisa memaksakan masyarakat Waa untuk bertahan hidup di kota Timika dengan kondisi dan suhu yang berbeda, serta ketidakpastian hidup yang akhirnya membuat masyarakat merenung lantaran tidak tahu harus berbuat apa. Sebab, kebiasaan masyarakat tidak mudah untuk dirubah secepat membalikkan telapak tangan.

“Mereka tidak bisa kita paksakan untuk menyesuaikan dengan kehidupan masyarakat kota. Mereka punya hak ulayat yang besar, itu jangan sampai kemudian hari daerah-daerah itu sudah di eksploitasi dan segala macam, akhirnya mereka ini jadi penonton di negerinya sendiri,” katanya.

Dia juga mengungkapkan jika masyarakat kampung Waa beranggapan bahwa mereka dipaksan untuk dievakuasi dan diungsikan ke Timika lalu belum juga dipulangkan karena ada kepentingan para pihak.

Sebab, lanjut dia, dari pengalaman di masa lalu dimana masyarakat dipindahkan secara paksa dari kampung mereka, sehingga sangat wajar kalau masyarakat kembali berpikiran demikian.

Baca Juga:  Ruang Panggung HAM Harus Dihidupkan di Wilayah Sorong Raya

“Saya tidak bisa bilang orang lain itu perusahaan, mungkin saja ada pihak-pihak lain diluar itu dan segala macam yang datang, akhirnya mereka tersingkir. Kan contoh banyak yang terjadi,” katanya.

Menurut John, aparat keamanan TNI/Polri harus bisa memberikan kepastian terkait jaminan keamanan kepada pemerintah supaya pemerintah bisa mengambil suatu langkah untuk mengurus masyarakatnya.

“Tugas kita pemerintah memberikan rasa aman untuk mereka bisa hidup di negeri mereka, di tanah mereka. Artinya kita memberikan jaminan keamanan itu. Harus pihak keamanan juga bisa memberikan jaminan keamanan juga kepada pemerintah, untuk masyarakat ini kembali ke tanah mereka, ke daerah mereka,” imbuhnya.

Masyarakat Waa Banti Ditelantarkan Pemerintah di Timika

Kaum intelektual dari masyarakat Adat Waa, Distrik Tembagapura, Mimika, Papua menilai telah terjadi penelantaran terhadap masyarakat mulai dari Kampung Banti 1, Banti 2 hingga Opitawak, yang kini mengungsi di wilayah perkotaan Timika dan sekitarnya.

Kaum intelektual dari Kampung Waa, Natex Bugaleng  pada 27 Juli 2020 lalu mengatakan, Pemerintah bersama pihak terkait seperti PT Freeport Indonesia (PTFI) telah melakukan penelantaran terhadap masyarakat Waa yang kebanyakannya adalah bayi, anak-anak bahkan lansia.

“Kami melihat, PTFI, pemerintah dan pihak-pihak terkait telah melakukan penelantaran terhadap masyarakat adat Waa (Banti 1, Banti 2 dan Opitawak). Mereka adalah bayi, anak-anak dan lansia yang tidak harus di terlantarkan,” kata Natex Bugaleng di Timika seperti dikutip dari seputarpapua.com.

“Mereka mengeluh dan meminta dikembalikan ke kampung, karena sudah tidak nyaman dan tidak cocok ada di Timika kota,” sambungnya.

Natex juga mengungkapkan, sudah ada banyak di antara para pengungsi Tembagapura yang mengalami sakit hingga meninggal dunia, lantaran susah mendapatkan kehidupan yang layak di perkotaan. Bahkan, mereka pun telah bersuara namun tidak mendapat respon positif dari pihak-pihak yang seharusnya bertanggung jawab atas mereka.

“Adapun banyak diantara mereka sakit dan meninggal dunia, mereka susah mendapatkan kehidupan yang layak. Mereka bersuara namun tidak ada respon positif yang mengakomodir suara dan keluhan mereka,” ujarnya.

Ia juga mengancam, jika pihak-pihak terkait terutama Pemerintah tidak merespon baik persoalan masyarakat pengungsi Tembagapura, maka, kaum intelektual akan mengambil langkah mengkaji persoalan ini dan mengembalikan para pengungsi ke kampung halamannya dengan cara sendiri.

“Sebenarnya yang bertanggung jawab dan menjamin mereka nyaman dan layak di Timika ini siapa? Jika pembiaran dan penelantaran ini tidak direspon baik maka, kami anak-anak kaum intelektual dari Mimika umumnya dan terkhusus dari Waa akan mengambil langkah,” tegasnya.

Baca Juga:  MRP dan DPRP Fraksi Otsus se-Tanah Papua Minta Jokowi Terbitkan Perppu Hak Politik OAP

Omaleng Tidak Izinkan Masyarakat ke Tembagapura

Meski ada keinginan kuat dari masyarakat Waa untuk kembali, bupati Eltinus Omaleng masih berusaha untuk membatasi dan tidak mengizinkan masyarakt kembali.

Selain itu, dia juga mengaku belum pernah bertemu dengan masyarakat pengungsi dari empat kampung di Distrik Tembagapura.

Dan pada saat yang sama, Omaleng juga membantah dan melempar tanggungjawab dengan mengatakan pihaknya tidak pernah memaksakan masyarakat mengungsi ke Timika.

“Saya belum pernah ketemu dengan mereka. Saya sebagai anak di atas kami tidak pernah dipaksakan untuk turun ke Timika. Tidak paksakan juga TNI/Polri usir mereka, tidak paksakan juga TPN/OPM usir mereka,” katanya di Pendopo Rumah Negara, SP 3, Timika, Jumat (17/7).

Meskipun pada kenyataannya masyarakat mengungsi ke TImika karena keinginan aparat dengan dibantu oleh Freeport, bupati Omaleng justru mengatakan bahwa masyarakatlah yang berkeinginan untuk ke Timika.

“Sehingga kalau masyarakat mereka mau naik kembali yah mereka pastikan jaminannya apa dulu,” katanya.

Namun, Omaleng mengatakan pihaknya akan membicarakan rencana kepulangan masyarakat ke kampung Waa kalau sudah tidak ada penembakan antara TNI/Polri dengan TPNPB di Tembagapura.

“Kami tidak akan ijinkan naik, karena belum aman,” tutupnya.

Desakan Agar Pemerintah Cari Solusi untuk Pengungsi Tembagapura

Direktur Eksekutif Lokataru Haris Azhar kuasa hukum masyarakat adat tiga desa (Aroanop, Waa Banti, Tsinga) bersama Forum Tsingwarop menagih tanggung jawab Pemkab Mimika memulangkan warga pengungsi tersebut.

“Pengungsian terjadi karena masyarakat merasa situasi di kampungnya tidak aman akibat baku tembak antara aparat keamanan Indonesia dengan TPNPB-OPM,” kata Haris kepada Seputarpapua, Minggu (15/11/2020) lalu.

Beberapa hari lalu, Haris sempat menemui para pengungsi. Sudah tujuh bulan berlalu, belum juga ada kejelasan kapan mereka dipulangkan. Ia menyaksikan, kondisi para pengungsi sangat memprihatinkan.

“Kondisi tersebut antara lain, pertama, banyak warga pengungsi yang mengalami stress dan trauma karena tidak bisa menyesuaikan dengan kondisi cuaca di Kota Timika,” kata Haris.

Selain itu, sebut Haris, ketidakmampuan pengungsi untuk menyesuaikan dengan kondisi cuaca di Timika, memperparah kondisi mereka hingga dilaporkan delapan pengungsi telah meninggal dunia.

“Kemudian, kondisi keuangan masyarakat pengungsi yang serba kekurangan. Terlebih biaya hidup di Kota Timika cukup tinggi. Sebelumnya, di kampung masing-masing, masyarakat pengungsi biasa berkebun untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,” katanya.

Haris mendesak aparat keamanan, Pemkab Mimika dan juga PTFI agar segera memastikan warga pengungsi sudah aman untuk pulang ke rumah mereka masing-masing.

“Kepada aparat keamanan, Pemkab Mimika, dan PTFI untuk dapat mengajak beberapa perwakilan warga pengungsi, melakukan pengecekan ke kampung warga pengungsi, untuk memastikan situasi disana sudah aman,” kata dia.

Baca Juga:  Lima Bank Besar di Indonesia Turut Mendanai Kerusakan Hutan Hingga Pelanggaran HAM

Ia juga minta otoritas berwenang dapat memberikan akses informasi yang seluas-luasnya, transparan, dan akuntabel kepada warga pengungsi atas situasi keamanan di kampung halaman mereka.

“Kemudian, memfasilitasi warga pengungsi untuk kembali ke kampung halaman mereka apabila situasi keamanan sudah kondusif, sesuai fakta yang sebenarnya,” pungkasnya.

Sebelumnya, Wakil Bupati Mimika, John Rettob mengatakan, pihaknya bersama TNI-Polri dan PTFI sudah tiga kali melakukan rapat pertemuan untuk membahas rencana pemulangan warga Waa-Banti.

Wabup John mengakui, hingga kini memang belum ada kepastian. Pemerintah dan TNI-Polri harus bisa menjamin kesiapan fasilitas untuk masyarakat maupun jaminan keamanan di wilayah itu.

“Cuma tinggal kita atur saja kira-kira bagaimana, tergantung situasi keamanan di atas (wilayah Tembagapura). Nanti kita lihat perkembangannya, nanti kita rapat kembali,” kata John.

Berbeda dengan pernyataan sebelumnya, wakil bupati Mimika mengatakan pihaknya  terus berupaya agar bisa mengembalikan masyarakat Kampung Banti yang sebelumnya dievakuasi ke Kota Timika untuk kembali ke kampung halaman di Distrik Tembagapura.

Dia mengaku bahwa persoalan ini telah menjadi persoalan nasional, sehingga menjadi atensi pemerintah. Dan Pemkab Mimika sendiri telah beberapa kali melakukan pertemuan dengan TNI/Polri dan PT Freeport Indonesia terkait persoalan ini, namun karena kondisi keamanan, pemulangan warga banti urung dilakukan.

Dengan alasan Covid-19, lanjut Rettob, tim yang sebelumnya telah dibentuk untuk menangani pengungsi dari Tembagapura belum bekerja secara maksimal. Dan hingga saat ini tim tersebut belum dibubarkan.

Dia menuturkan, telah mengunjungi masyarakat Banti di dua tempat, yakni di Jalan Jeruk (SP2), tempat masyarakat Kampung Opitawak serta di Jalan C. Heatubun (Jalan baru) tempat masyarakat Banti II. Dan mengaku prihatin melihat kondisi masyarakat karena hidup dalam keterbatasan dan mereka meminta agar bisa dipulangkan ke Kampung halamannya.

“Masyarakat ini merasa tinggal di Kota Timika bukan di daerah mereka. Serta tidak bisa berbuat apa-apa, baik berkebun, beternak, dan lainnya. Kami sudah jelaskan kondisi di kampung tidak aman tapi mereka bersikeras untuk pulang,” katanya.

John mengungkapkan, para orang tua pernah ke Gorong-gorong meminta untuk naik ke Tembagapura, namun selalu ditolak, karena harus mendapatkan kesepakatan bersama, terutama menyangkut keamanan.

“Karenanya, kami masih berupaya agar masyarakat bisa kembali pulang. Karena kondisi mereka sangat memperihatinkan. Walaupun pemerintah sering bantu, tapi mereka ada rasa malu menerima bantuan terus menerus. (*)

 

SUMBERSeputar Papua
Artikel sebelumnyaDPRD Mimika Diminta Bentuk Pansus Terkait Pesawat Milik Pemkab
Artikel berikutnyaVictor Yeimo Minta Paulus Waterpauw Hentikan Kejahatan Kemanusiaan