YAHUKIMO, SUARAPAPUA.com — Tindakan represif dilakukan aparat keamanan bersama organisasi kemasyarakatan (Ormas) di Manado, provinsi Sulawesi Utara, terhadap mahasiswa Papua yang hendak mengadakan ibadah Natal bersama dan peringatan hari embrio negara West Papua, Selasa (1/12/2020) lalu.
“Dari awal persiapan kami dilarang, sehingga semua yang direncanakan tidak bisa dilakukan karena tekanannya sangat besar sampai semua mahasiswa ketakutan dan trauma,” jelas Hiskia Meage, ketua Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Konsulat Indonesia, dalam siaran pers yang diterima suarapapua.com.
Hiskia menyatakan tindakan represif tersebut sudah menodai wajah provinsi Sulawesi Utara yang penduduknya mayoritas beragama Kristen dan selama ini selalu menghormati sesama umat beragama.
“Kegiatan ibadah Natal dan peringatan hari embrio West Papua tidak sesuai persiapan mahasiswa Papua di Sulawesi Utara. Dalam ibadah terpaksa tidak menggunakan tema dan prosesi pemasangan lilin natal serta prosesi pemotongan kue ulang tahun peringatan 59 tahun embrio negara West Papua Barat karena tekanan militer Indonesia.”
Menurut Hiskia, tekanan dan penjagaan yang ketat berawal sejak tahap persiapan yang tidak dapat dilakukan karena dilarang seperti saat panitia mau memesan kue dan cetak baliho, tidak diizinkan.
“Pos-pos penjagaan di jalan-jalan dipadati oleh anggota gabungan TNI dan Polri,” jelasnya.
Hiskia menilai tindakan berlebihan negara melalui aparat keamanan dan Ormas terhadap perjuangan bangsa Papua.
“Larang kami adakan perayaan Natal bersama mahasiswa Papua sekaligus peringati hari embrio kemerdekaan Papua. Aparat gabungan tekan kami habis-habisan,” lanjutnya.
“Saya mohon dukung perjuangan Papua dalam doa, solidaritas sampai Papua bebas dari tangan penguasa kolonial,” tegas Hiskia.
Makco Tabuni, ketua panitia Natal bersama mahasiswa Papua sekaligus embrio West Papua, menjelaskan, sejak tahapan persiapan, aparat keamanan dan Ormas setempat berdatangan mengecek sampai kegiatan ibadah berlangsung pun dalam pengawalan ketat.
“Perayaan ibadah yang sudah direncanakan dengan matang itu dilaksanakan tidak maksimal karena tekanan berlebihan membuat mahasiswa trauma. Jadi, kami panitia memutuskan ibadah tidak perlu diadakan, dan kami hanya melakukan doa dan sambutan, setelah itu makan bersama,” jelas Tabuni.
Ia juga mengabarkan, mirisnya lampu sebagai fasilitas umum dimatikan sementara atas kerja sama petugas PLN.
“Lampu sengaja dipadamkan oleh pihak PLN Tondano. Tujuannya mau menghalangi kegiatan kami. Terpaksa kami doa bersama dalam kegelapan.”
Anehnya lagi, imbuh Tabuni, pendeta yang memimpin doa mengenakan celana pendek karena ditekan aparat keamanan dan Ormas.
Pewarta: Atamus Kepno
Editor: Markus You