Sudah Saatnya Papua Menghitung Langkah

0
1398

Oleh: Paskalis Kossay)*
)* Penulis adalah Politisi Senior dan Intelektual Papua

Kasus Rasisme membawa implikasi buruk terhadap martabat kemanusiaan. Apa itu rasis? Rasis adalah pandangan yang merendahkan martabat manusia lain yang berbeda ras, suku atau etnis tertentu. Biasanya dari komunitas masyarakat ras atau suku bangsa tertentu yang merasa mayoritas memandang rendah kepada masyarakat tertentu kelompok minoritas.

Di Indonesia pandangan rasisme ini sudah membudaya lama dari turun temurun. Sejak penjajahan Belanda, pandangan rasisme ini tumbuh subur sebagai politik identitas yang membedakan kelompok penjajah dengan kelompok pribumi. Karena itu selama 350 tahun Belanda menguasai Indonesia memperatekkan perbedaan yang jelas antara kepentingan pemerintah Belanda dengan masyarakat pribumi dalam bidang pendidikan, ekonomi , politik, hukum dan pemerintahan.

Pratek pembedaan watak penjajah itu kemudian diturunkan pada orang Indonesia secara turun temurun menganut pandangan rasisme tersebut. Orang Indonesia yang mayoritas suku bangsa melayu memandang masyarakat lain diluar suku, ras melayu lebih rendah dari mereka. Dengan demikian dengan mudah sekali menghina suku ras lain seperti binatang atau apapun namanya. Pandangan inilah yang disebut pandangan rasisme yang merendahkan atau menghina martabat kemanusiaan manusia lain.

Baca Juga:  Freeport dan Kejahatan Ekosida di Wilayah Suku Amungme dan Suku Mimikawee (Bagian 4)

Pandangan rasisme pada orang papua selalu melekat pada orang Indonesia yang suku ras melayu. Setiap saat orang papua yang hitam keriting rambut ras melanesia ini mengalami rasisme dimana saja lingkungan dimana mereka berada. Masyarakat Indonesia memandang orang papua lebih rendah dari mereka. Karena itu mudah sekali melontarkan ujaran rasisme kepada orang papua.

ads

Padahal negara yang bernama Indonesia ini dibentuk berdasarkan kesepakatan bersama dari beragam suku bangsa, bahasa, ras dan agama serta asal daerah dan adat istiadat. Perbedaan itu kemudiaan disepakati bersatu membentuk negara kesatuan Republik Indonesia .

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Dengan demikian dalam konteks prinsip brrbangsa dan bernegara , tidak ada pandangan mayoritas dan minoritas, apalagi membeda-bedakan suku, bangsa, ras dan agama. Akan tetapi fakta empiris membuktikan perbedaan pandangan tersebut masih tumbuh subur dalam kehidupan masyarakat Indonesia.

Orang papua yang minoritas ras ini terus merasakan adanya perlakuan rasisme dari berbagai aspek kehidupan. Terus ditimpa perlakuan diskriminatif dan rasisme secara politik, ekonomi, hukum, sosial dan pemerintahan. Apalagi dalam pergaulan keseharian pun tidak luput dari ujaran rasisme dan kebencian.

Seluruh peraktek rasialisme pada orang ini pada akhirnya terakumulasi menjadi sentimen kolektif bernuansa politis. Orang papua merasa semakin tidak nyaman bersatu dengan masyarakat Indonesia lain. Secara psikologi orang papua tertanam buah kebencian pada masyarakat Indonesia lain. Rasa kebencian ini kemudian dilampiaskan dengan tindakan melawan hukum yang kadang berujung perlawanan pada negara.

Baca Juga:  Mengungkap January Agreement 1974 Antara PT FI dan Suku Amungme (Bagian II)

Pemerintah Indonesia seharusnya sadar, kalau ujaran rasisme itu berpotensi merusak kesatuan dan persatuan bangsa. Maka ketika terbesit isu rasisme, pemerintah mesti segera turun tangan. Pelaku rasisme dijerat hukum.dengan tegas agar ada jera bagi siapa saja yang berpandangan rasis bisa sadar sendiri.

Namun pemerintah diamkan saja setiap ada isu rasisme tidak ada tindak tegas pemerintah terhadap pelaku rasisme tersebut. Maka perilaku rasisme tumbuh demikian subur, sampai-sampai ikut mempengaruhi dalam pengambilan kebijakan negara. Papua paling konyol menerima rasisme dalam.segala aspek.

Jika demikian faktanya, maka isu papua merdeka menjadi alternatif solusi terhindar keluar dari korban rasisme yang dihadapi rakyat papua. Karena itu negara jangan bertindak rasis setiap aksi lawan rasisme oleh rakyat papua. Harusnya pemerintah menginstrospeksi diri sejauh mana negara mengelola papua sama dengan daerah lain yang bebas tindakan rasis. (*)

Artikel sebelumnyaNatalius Pigai dalam Pusaran Rasisme
Artikel berikutnyaIn Memoriam Bruder Jan Sjerps OFM: Kapan Pulang ke Belanda?