BeritaKorban dan Penyintas Pelanggaran HAM Kecam Tindakan Aparat Militer di Tanah Papua

Korban dan Penyintas Pelanggaran HAM Kecam Tindakan Aparat Militer di Tanah Papua

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com— Korban dan penyintas Pelanggaran HAM dari organisasi Bersatu Untuk Kebenaran (BUK) menyatakan prihatin dengan situasi pelanggaran HAM yang belakangan ini terjadi di tanah Papua. 

Keprihatinan itu disampaikan korban dan penyintas karena belum ada penanganan sejak pecahnya peristiwa konflik di Kabupaten Nduga Desember 2018, ribuan warga kabupaten Nduga yang terpaksa meninggalkan kampung halamannya dan menjadi pengungsi internal (Internal Displaced Persons).

Belum tuntas peristiwa itu ditangani, pecah lagi konflik horisontal yang diciptakan sebagai dampak dari peristiwa tindakan rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur yang berdampak kepada gerakan protes rakyat Papua. Dampak dari gerakan protes rakyat Papua melawan rasisme tersebut yang terjadi secara meluas di seluruh Tanah Papua, yang akhirnya menuai tindakan represif militer dan polisi bersama dengan kelompok – kelompok reaksioner (paguyuban nusantara).

“Parahnya, tidak ada penanganan serius sejak konflik mulai pecah hingga hari ini. Malahan terjadi dropping pasukan TNI/Polri secara berlebihan ke Tanah Papua.

Kehadiran pasukan militer di Tanah Papua yang tanpa  tujuan yang jelas telah menimbulkan keresahan bagi masyarakat dan menciptakan konflik baru yang berujung kepada pelanggaran HAM.”

“Berbagai aksi  penyerangan dan penembakan warga, penyisiran di kampung-kampung dengan dalih mengejar kelompok separatis bersenjata telah berujung pada penembakan terhadap petugas-petugas gereja, pembunuhan warga sipil dan pengungsian internal besar-besaran seperti yang sedang terjadi di kabupaten Intan Jaya. Bahkan pada 15 Februari 2021, telah terjadi penembakan terhadap 3 warga sipil di Intan Jaya oleh aparat TNI,” kata mama Tinike Rumkabu, koordinator umum dalam pernyataannya pada 17 Februari 2021.

Baca Juga:  Kuasa Hukum Direktur Panah Papua Desak Polres Teluk Bintuni Periksa Terduga Pelaku Penganiayaan

Lebih lanjut katanya, konflik antara warga masyarakat pemilik tanah adat dengan perusahaan (investor besar) terjadi dan diback-up oleh anggota Militer dan polisi telah menimbulkan banyak korban jiwa dan korban luka-luka. Bahkan lebih buruknya, warga harus mengungsi dari kampung halamannya, karena takut dan kesulitan untuk kembali ke tempat asalnya, seperti yang terjadi di Timika.

Di mana, di wilayah Kepala Burung, telah terjadi penguasaan wilayah besar-besaran untuk investasi dalam skema Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dan juga pembangunan markas Kodim baru, yang mana telah menuai penolakan besar-besaran dari warga masyarakat pemilik tanah adat.

Di wilayah Aifat Sorong Selatan, telah terjadi penyisiran akibat konflik antara warga dan aparat TNI, sehingga telah menyebabkan warga mengungsi keluar dari kampung dan bersembunyi di hutan.

Baca Juga:  Tanah Papua Ladang Pelanggaran HAM, GPRP Kecam Aksi Dukung UU TNI 

“Kami juga menilai bahwa Jakarta terlalu memaksakan kehendaknya untuk membuka ruang investasi seluas-luasnya bagi pihak luar untuk berinvestasi di Tanah Papua. Undang-udang Otonomi Khusus (OTSUS) yang diberikan kepada orang asli Papua tidak mampu melindungi dan menjamin hak-hak hidup orang asli Papua, sehingga rakyat telah menolak keberlanjutannya. Namun demikian, pemerintah NKRI terus memaksakan kehendak mereka dengan mengumumkan 6 Daerah Otonomi Baru (DOB). Pemekaran wilayah dengan lahirnya 6 provinsi baru akan menjadi alat untuk mempercepat kehancuran kehidupan rakyat Papua.”

Katanya, selama 20 tahun undang undang Otsus di Tanah Papua, pemerintah Indonesia gagal menyelesaikan seluruh kasus pelanggaran HAM yang terjadi, pengadilan HAM dan komisi kebenaran dan rekonsiliasi yang tertera dalam undang undang OTSUS tidak menjadi agenda penting yang harus dilaksanakan oleh Pemerintah Jakarta.

Oleh karena itu kami, Komunitas Korban, Bersatu Untuk Kebenaran (BUK) menyatakan sikap kami :

  1. Mengecam dengan tegas berbagai bentuk tindakan operasi militer yang sedang terjadi di seluruh Tanah Papua, yang telah mengganggu hak hidup orang asli Papua di atas tanahnya.
  2. Mengecam dengan tegas segala bentuk pemaksaan dan perampasan tanah adat milik masyarakat adat di Tanah Papua demi kepentingan investasi dan juga kepentingan pembangunan markas militer.
  3. Mendesak Presiden Republik Indonesia untuk segera menghentikan dropping pasukan ke Tanah Papua, serta segala bentuk operasi militer yang dilaksanakan dalam rangka melancarkan kepentingan investasi dan keamanan di Tanah Papua.
  4. Mendesak pihak pemerintah pusat maupun pemerintah daerah untuk segera menangani situasi kemanusiaan pengungsi internal di Nduga, Intan Jaya, Banti Timika dan Aifat Sorong, yang terpaksa harus meninggalkan kampung halamannya karena konflik yang terus terjadi sampai saat ini.
  5. Mendesak pemerintah Negara Republik Indonesia untuk segera membuka akses kepada Ketua Komisi Tinggi HAM PBB untuk segera mengunjungi Tanah Papua, dan menyaksikan sendiri situasi HAM dan bertemu dengan para korban, penyintas dan keluarga korban pelanggaran HAM di Tanah Papua.
  6. Mendesak Pemerintah NKRI untuk segera membuka akses bagi Tim Kemanusiaan dan Tim Pencari Fakta Independen untuk mengunjungi wilayah konflik di Nduga, Intan Jaya, Timika dan Aifat, untuk bertemu secara langsung dengan korban dan keluarga korban konflik berkepanjangan.
  7. Menolak dengan tegas berbagai bentuk kebijakan politik ekonomi pembangunan di Papua, termasuk Kawasan Ekonomi Khusus, keberlanjutan Otonomi Khusus dan menolak pemekaran provinsi di tanah Papua.
Baca Juga:  Anggota DPRP Papua Tengah Minta Hentikan Pencurian Emas di Kampung Ajuda

 

REDAKSI

Terkini

Populer Minggu Ini:

Transformasi Transportasi Monorel di Papua Tengah Antara Kebutuhan dan Keinginan

0
Arah pembangunan harus ditekankan pada pemenuhan kebutuhan dasar untuk karakteristik masyarakatnya. Transprotasi dasar, komunikasi dasar, dan informasi dasar. Sehingga arah pembangunan tidak akan bias sasaran karena perencanaan dapat menyentuh kebutuhan dasar masyarakat.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.