BeritaHeadlineMahasiswa Papua di Sumatra, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi Tolak Otsus dan DOB

Mahasiswa Papua di Sumatra, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi Tolak Otsus dan DOB

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Tak hanya oleh masyarakat dan aktivis dari berbagai organisasi, pernyataan penolakan terhadap pemekaran daerah otonomi baru (DOB) dan Otonomi Khusus (Otsus) jilid II disuarakan mahasiswa Papua dari berbagai kota studi di Indonesia.

Mahasiswa Papua di provinsi Bengkulu, misalnya, menyoroti kebijakan pemerintah memekarkan Papua menjadi lima provinsi baru serta melanjutkan Otsus bukanlah kebutuhan mendesak orang Papua. Lagi pula bukan aspirasi dari akar rumput, melainkan kepentingan kaum elit bersama segelintir orang.

Kebijakan tersebut menurut Anis Giban, ketua Ikatan Mahasiswa Papua (IMAPA) di kota studi Bengkulu, tak akan menjawab pelbagai persoalan pelik di Tanah Papua. Ia bahkan menuding ini bakal membawa malapetaka lebih besar bagi masyarakat asli Papua dibanding selama ini semenjak tahun 2001.

Anis menilai Otsus yang telah diberlakukan selama 19 tahun terbukti tak membawa perubahan apapun bagi rakyat Papua. Kata Anis, kondisi objektif yang dialami rakyat Papua justru sangat jauh dari kata sejahtera.

Dibeberkan dalam siaran pers yang diterima suarapapua.com, salah satu dampak fatal dialami anak dan perempuan Papua. Data UNICEF pada tahun 2019-2020, angka kematian ibu dan anak di Papua paling tertinggi di Indonesia, yakni mencapai 305 per 1000 kelahiran, hampir 30% dari 1000 ibu yang melahirkan di Papua meninggal di rumah sakit setiap tahun.

Tahun 2002 jumlah angka kematian bayi (infant mortality ratio) berdasarkan SKDI 56 bayi meninggal per 1000 kelahiran. Tahun 2017-2020 justru mengalami kenaikan menjadi 257 kematian per 1000 kelahiran. Ditambah beberapa kasus kematian massal di Asmat dan Yahukimo yang tak diungkap ke publik.

“Faktanya memang sungguh sangat miris. Otsus tidak ada artinya bagi orang Papua. Untuk apa lanjutkan Otsus lagi? Itu sumber malapetaka dan penderitaan bagi orang Papua,” ujar Anis.

Aksi mahasiswa mempertegas kembali sikap rakyat Papua termasuk para elit politik di Tanah Papua menolak perpanjang Otsus dan rencana pemekaran DOB.

“Alasan penolakan ini sangat jelas, lagi pula sudah tidak memenuhi syarat-syarat pembentukan sebuah DOB,” tegasnya.

Antara lain, jumlah penduduk Papua kian minoritas di tanah sendiri, pembagian wilayah Papua hanya berdasarkan informasi intelijen yang diklaim Tito Karnavian sangat tidak mendasar dan bertentangan dengan keinginan rakyat Papua.

“Ini juga bukan atas dasar aspirasi rakyat, tetapi paksaan pemerintah bersama sekelompok elit penjilat.”

Baca Juga:  MRP Papua Barat Daya Gugat KPU Ke Bawaslu Terkait Verifikasi Keaslian OAP
Ilustrasi pemekaran Daerah Otonomi Baru. (IST – SP)

Berbagai jenis pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masih terus terjadi, hak-hak dasar orang asli Papua dirampas, dan kondisi pendidikan yang amat buruk, terbukti dengan indeks pembangunan manusia (IPM) Papua yang terendah se-Indonesia.

“Itu barometer bahwa selama 20 tahun Otsus diberlakukan ternyata tidak membawa perubahan dan nilai positif bagi peradaban manusia Papua. Inilah bukti kuat bahwa Otsus telah gagal di Papua,” ujarnya.

Karena itu, mahasiswa Papua menegaskan menolak semua kebijakan sepihak Jakarta. Termasuk rencana pengelolaan Blok Wabu. Soal ini, Gubernur Papua didesak untuk segera cabut izin pengelolaan Blok Wabu, juga tolak Otsus jilid dua, tarik militer organik dan non organik dari seluruh Tanah Papua, tolak pembangunan Kodim di seluruh Papua, serta tolak rencana pemekaran DOB di Tanah Papua.

Rencana pemerintah memperpanjang Otsus Papua dianggap sepihak dengan merancang revisi Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua. Revisi dilakukan karena kucuran dana Otsus setara 2% plafon DAU nasional sebagaimana diatur dalam Pasal 34 ayat (3) huruf e UU Otsus Papua akan berakhir pada 2021.

Pemerintah akan merevisi UU Otsus Papua untuk memperpanjang kucuran Dana Otsus Papua hingga 2041. Inilah yang disebut rakyat Papua sebagai Otsus Jilid 2.

Sembari mengutuk tindakan elit politik Papua yang mengatasnamakan rakyat Papua untuk mendukung Otsus dan pemekaran DOB, mahasiswa juga mendesak negara segera buka akses jurnalis nasional dan internasional seluas-luasnya ke seluruh Papua.

Menuntut bebaskan seluruh tanahan politik Papua, juga hentikan kriminalisasi aktivis Papua.

“Pemerintah Indonesia segera memberikan akses kepada tim pencari fakta Dewan HAM PBB (UNCHR) masuk ke West Papua,” desak mahasiswa.

Penambangan ilegal yang dibacking militer ditegaskan segera ditutup. Termasuk PT Freeport, LNG Tangguh di Bintuni, British Petroleum (BP) di Sorong, serta perkebunan kelapa sawit (Keerom, Manokwari Selatan, Merauke, dan Boven Digoel).

Negara juga diminta segera hentikan dan tutup eksploitasi hutan adat. Mengutuk keras sekaligus cabut kembali kerjasama investasi yang dilakukan Uskup Agung Merauke dengan PT Tunas Sawa Erma (Korindo Group).

“Hentikan rasisme terhadap orang Papua di seluruh Indonesia,” tegasnya.

Para mahasiswa Papua di Jakarta saat mengusung peti kosong yang bertuliskan “Almarhum Otsus”. (Supplied for SP)

Di Medan, mahasiswa Papua se-Sumatra Utara juga aksi tolak Otsus Jilid II dan pemekaran DOB.

Baca Juga:  Pdt. Yemima Krey: Mama-Mama Papua Tidak Kosong Datang Ikut Aksi Jalan Salib

Dalam aksi, Kamis (25/2/2021), mereka menegaskan dana Otsus selama ini tak memberikan dampak baik dan kesejahteraan bagi masyarakat Papua.

“Otsus sudah gagal baru mau lanjutkan untuk apa? Pemerintah harus dengar suara rakyat Papua,” ujar Daniel Wandik, juru bicara IMAPA Sumut.

Pemberlakuan Otsus di Papua, kata Wandik, kebijakan politik pemerintah atas menguatnya aspirasi merdeka di awal era reformasi.

“Hasil Otsus di lapangan tidak memuaskan. Sudah gagal toal. Masyarakat sedang sakit batin. Ternyata Otsus ini bukan obat mujarab. Jadi, kami tetap tolak.”

“Papua mau apa, sebaiknya tanya saja sama rakyat Papua. Pasti jawabannya ada. Jakarta jangan paksakan kehendak dengan bahas dan paksakan Otsus lanjut. Rakyat pasti tidak terima,” tegasnya.

Dari Bandung, Yudas Paragaye, badan pengurus harian Ikatan Mahasiswa se-Tanah Papua Jawa Barat (IMASEPA Jabar) mendesak MRP, DPRP gubernur Papua dan Papua Barat, walikota, bupati, dan DPRD kabupaten/kota berhenti membahas agenda pemekaran DOB di Tanah Papua.

“Pemerintah daerah berhenti memperkosa alam Papua dan masyarakat adat. Pemerintah stop membuat keputusan dan mengambil kebijakan tanpa melibatkan tokoh adat, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda dan tokoh perempuan,” ujar Payage.

Lembaga Masyarakat adat (LMA) di kabupaten Puncak Jaya juga diingatkan stop jangan mengatasnamakan masyarakat adat untuk mendukung pembentukan DOB (provinsi Papua Tengah). Peringatan keras disampaikan kepada para tokoh agama agar stop terlibat dalam pembahasan wacana DOB.

Sikap sama ditegaskan mahasiswa Papua yang sedang studi di provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel).

“Rencana pemekaran provinsi dan melanjutkan Otsus Papua jilid dua dianggap bukan kebutuhan masyarakat Papua. Kami tetap tolak,” ujar Tony Wenda, koordinator aksi di Banjarmasin, Kalsel.

“Hentikan segera pendekatan militer yang terus dilakukan oleh pemerintah Indonesia di Tanah Papua. Dampaknya sudah terlalu banyak dirasakan masyarakat Papua. Banyak korban nyawa. Negara harusnya tangani kasus-kasus pelanggaran HAM yang dilakukan selama ini,” ujarnya.

Tanah Papua menurut mahasiswa di Kalsel, bukan tempat perang, bukan tempat mencari pangkat dengan mengorbankan warga sipil yang dituduh simpatisan bahkan anggota TPNPB.

“Selama ini negara bikin banyak masalah kemanusiaan, pelanggaran HAM, dan hak rakyat asli Papua tidak diakui. Kami merasa bahwa selama ini orang Papua tidak pernah dianggap sebagai warga negara Indonesia. Hanya kekayaan alam saja yang dikejar.”

Baca Juga:  PP PMKRI Mendesak Bawaslu dan DKPP Merespon Laporan MRP-BD Soal Kode Etik
Poster Melawan Lupa Pelanggaran HAM Berat di Wamena dan Wasior. (IST – SP)

Rencana pemekaran provinsi baru dicurigai sebagai cara negara masih terus menancapkan kukunya di atas negeri kaya raya ini, selain penguasaan wilayah dengan program transmigrasi. Orang-orang luar sudah pasti dikirim ke wilayah provinsi Papua, dan warga setempat makin tersingkir.

“Satu setengah abad lebih rakyat Papua tertindas dibawah kekuasaan Indonesia. Senjata diandalkan untuk menindas pemilik, menguras dan mencuri segala kekayaan demi kejayaan negara. Kami tidak mau penderitaan panjang berlanjut lagi,” pungkasnya.

Di Jakarta, pernyataan sama disampaikan mahasiswa Papua dari depan kantor Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Rabu (24/2/2021).

“Kami tolak menolak Otsus Papua Jilid 2 dan usulan pemekaran provinsi Papua,” ujar Ambrosius Mulait, sekretaris jenderal Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua se-Indonesia (AMPTPI), dalam orasinya.

“Mahasiswa Papua ada untuk menyuarakan aspirasi rakyat. Sampai hari ini rakyat Papua masih pegang komitmen tolak Otsus dan pemekaran DOB. Kami menyambung suara rakyat Papua. Pemerintah Indonesia harus dengar dan terima. Jangan lagi paksakan kehendak,” tegasnya.

Marius Wonda, salah satu peserta aksi massa di sela-sela membacakan 11 poin pernyataan sikap, menegaskan, “Pemerintah Indonesia jangan memaksakan kebijakan politik untuk Papua. Karena pasti akan ditolak oleh rakyat dan itu berpeluang terjadi konflik. Pemerintah jangan alergi dengan aspirasi rakyat Papua. Hari ini rakyat menuntut referendum untuk menentukan nasib sendiri.”

Mahasiswa Lapago saat menyampaikan aspirasi penolakan DOB dan Otsus Jilid 2 di Jayapura. (Agus Pabika – SP)

Aksi unjuk sama digelar mahasiswa Papua di Malang, provinsi Jawa Timur, Selasa (23/2/2021).

Warius Wilil, wakil ketua Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Papua (IPMAPA) Malang yang juga koordinator aksi menegaskan tuntutan sama seperti teman-temannya di kota studi lain.

“Tetap menolak perpanjang Otsus dan rencana pemerintah mekarkan Papua menjadi lima provinsi. Stop,” ujarnya saat aksi di Balai Kota Malang.

Solusi satu-satunya atas kegagalan pemerintah di Tanah Papua adalah berikan hak politik untuk menentukan nasib sendiri sebagai solusi demokratis bagi bangsa West Papua.

“Itu saja. Tidak ada solusi lain,” tegasnya.

Mahasiswa Papua yang sedang mengenyam pendidikan di beberapa kota studi di Pulau Sulawesi juga menyatakan sikap tegas menolak Otsus dan pemekaran DOB. Hampir semua kota studi di seluruh Indonesia kumandangkan pernyataan yang sama. Bahkan dari luar negeri, generasi muda Papua turut menyuarakan rintihan dan kerinduan pemilik negeri emas ini.

Pewarta: Agus Pabika
Editor: Markus You

Terkini

Populer Minggu Ini:

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.