BeritaVictor Yeimo Tak Pernah Terlibat dalam Aksi Anti Rasisme 29 Agustus 2019

Victor Yeimo Tak Pernah Terlibat dalam Aksi Anti Rasisme 29 Agustus 2019

NABIRE, SUARAPAPUA.com — Kecuali aksi massa memprotes rasisme di halaman kantor Gubernur Papua, 19 Agustus 2019, Victor Yeimo tak pernah terlibat dalam aksi lanjutan 29 Agustus 2019 yang berakhir rusuh di Kota Jayapura.

Juru bicara internasional Komite Nasional Papua Barat (KNPB) yang tengah ditahan di Rutan Brimob Papua setelah dipindahkan dari Rutan Polda Papua sebagai tersangka makar menyampaikan pembelaan diri atas tuduhan Kepolisian Republik Indonesia melalui Polda Papua.

Ketika dijumpai John NR Gobai, ketua Fraksi Otonomi Khusus DPRP dan Pdt. Nicolaus Degei, anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) di Rutan Brimob Papua, Selasa (18/5/2021), Yeimo menceritakan kejadian sebenarnya dalam dua kali aksi anti rasisme yang dilakukan rakyat Papua menanggapi insiden ujaran kebencian rasis di Surabaya, Jawa Timur, 15-17 Agustus 2019.

Yeimo menyatakan, orasi yang disampaikan aksi anti rasisme Papua (19/7/2019) sejatinya atas permintaan rakyat Papua yang tak terima dengan ujaran rasis dari ormas reaksioner bersama oknum penegak hukum di Kota Pahlawan itu.

“Seharusnya semua pihak bersyukur karena saya saat itu berhasil mengendalikan puluhan ribu orang yang memprotes rasisme di Kota Jayapura pada tanggal 19 Agustus 2019. Selain aksi itu, setelahnya ada kedua lagi, tetapi saya tidak mengikuti aksi tanggal 29 Agustus 2019,” ujarnya saat berbicara dengan John dan Nico.

John dan Nico menemui para petinggi Polda Papua untuk membahas kasus penangkapan dan penahanan juru bicara KNPB. Keduanya juga berkesempatan berbicara langsung dengan Victor Yeimo terkait kondisinya selama di Rutan Polda Papua maupun setelah dipindahkan ke Rutan Brimob Papua.

Victor Yeimo setelah ditangkap Satgas Nemangkawi di sekitar Tanah Hitam, Abepura, Kota Jayapura, Minggu (9/5/2021) malam, digelandang ke Polda Papua dan dimintai keterangan hingga ditetapkan sebagai tersangka dengan pasal berlapis.

Tak hanya rakyat Papua, menurut Yeimo, ujaran rasis juga dirasakan orang-orang Papua sedang menjadi pejabat negara, termasuk orang Papua yang bertugas sebagai anggota TNI dan Polri.

“Memang waktu aksi protes rasisme pada tanggal 19 Agustus 2019 itu saya pegang mic dan bicara tegas. Ya, itu atas permintaan rakyat Papua yang hadiri aksi protes rasisme,” ceritanya.

Yeimo mengaku memerintahkan kepada siapapun dalam aksi massa tak melakukan tindakan melawan hukum apalagi bertindak anarkis. Bicara berulangkali, semua ikut perintahnya. Praktis, aksi massa berlangsung dengan lancar dan aman hingga pulang ke rumah.

Aktivis KNPB ini membenarkan adanya pernyataan melalui orasi politiknya pada saat aksi protes rasisme (19/8/2019). Menurutnya itu bagian dari ekspresi spontanitas sebagai orang Papua yang merasa dihina dengan bahasa rasis.

“Orasi politik saya saat itu ekspresi orang asli Papua yang marah ketika para mahasiswa Papua dikatai monyet dalam insiden rasisme di Surabaya, 16 Agustus 2019. Jadi, soal ungkapan saya saat aksi pertama itu ekspresi karena semua sudah emosi dengan bahasa rasis,” tuturnya.

Karena tak pernah terlibat dalam aksi protes rasisme pada tanggal 29 Agustus 2019, Yeimo membantah dengan tegas tuduhan keterlibatannya. Ia tegaskan sangkaan itu sebuah pembohongan publik hanya untuk membenarkan penangkapan dan penahanan oleh aparat keamanan.

“Semua pihak sudah tahu bahwa saya tidak ikut aksi protes yang kedua. Saya sama sekali tidak terlibat. Malah saya yang minta kepada semua aktivis supaya tidak usah turun aksi lagi karena saya baca situasi waktu itu sudah berubah. Jadi, kalau dibilang saya terlibat itu omong kosong saja,” ujar Yeimo.

Agar tak disebut pembohongan publik, ia tantang polisi harus bisa perlihatkan bukti keterlibatannya dalam aksi massa 29 Agustus 2019 yang berakhir rusuh itu.

“Mana buktinya, kalau saya ditangkap dan disangkakan sebagai perusuh pada aksi 29 Agustus 2019? Kan saya tidak terlibat. Bukan juga sebagai peserta aksi, juga tidak pernah berorasi. Kalau kemudian ada foto atau video, itu hasil editan. Saya sama sekali tidak pernah ikut demo yang kedua,” tegasnya.

Baca Juga:  57 Tahun Freeport Indonesia Berkarya

Kesaksian itu juga Yeimo bicara kepada Laurenzus Kadepa, anggota DPRP, saat mendatangi Rutan Brimob Papua, Rabu (19/5/2021).

Mantan Tapol Papua: Dia Tidak Pernah Terlibat

Alexander Gobay, salah satu eks tahanan politik (Tapol) Papua, membenarkan pembelaan Victor Yeimo karena memang tak pernah ikut dalam aksi protes rasisme 29 Agustus 2019 di Kota Jayapura.

Alex mengaku heran bila Victor Yeimo dituduh terlibat dalam aksi lanjutan yang kasusnya telah berakhir di meja hijau.

“Tidak benar kalau Victor Yeimo dikaitkan dengan kerusuhan 29 Agustus 2019. Waktu itu Victor Yeimo tidak ikut. Saya bersama enam orang aktivis Papua ditangkap dan telah menjalani proses hukum dengan dugaan makar dalam peristiwa itu, bahkan kami disidangkan di Pengadilan Negeri Balikpapan,” ujar Alex.

Mantan ketua BEM Universitas Sains dan Teknologi Jayapura (USTJ) ini menegaskan, “Sangat tidak beralasan kalau penangkapan dan penahanan Victor Yeimo dikaitkan dengan aksi protes rasisme pada tanggal 29 Agustus 2019. Itu tidak benar. Kasus ini kami tujuh orang sudah bayar habis di Balikpapan. Jangan mengada-ada lagi. Stop hidupkan kasus anti rasisme Papua.”

Untuk itu, Alex minta Polda Papua segera bebaskan Victor Yeimo.

Pernyataan sama dilontarkan Buchtar Tabuni, wakil ketua II Komite Legislatif United Liberation Movement for West Papua (ULMWP).

“Victor Yeimo segera dibebaskan dari tahanan karena dia tidak pernah terlibat dalam aksi protes rasisme 29 Agustus 2019,” ujar Tabuni, dilansir jubi.co.id, Jumat (21/5/2021).

Tabuni berpendapat, jika Victor Yeimo ditangkap, tangkap juga para pejabat di Papua yang terlibat dalam aksi tersebut.

Ketua Parlemen Nasional West Papua ini menyatakan, penangkapan terhadap Victor Yeimo oleh Satgas Nemangkawi salah alamat. Menurutnya, kalau mau tangkap, seharusnya seluruh pejabat yang menghadiri aksi anti rasisme.

“Parlemen Nasional West Papua menyayangkan tindakan polisi menangkap tuan Victor Yeimo. Koalisi Penegak Hukum dan Hak Asasi Manusia Papua telah menyatakan penangkapan itu tidak sesuai prosedur Hukum Acara Pidana. Jadi, kalau Kepolisian Republik Indonesia tidak menangkap para pejabat yang terlibat dalam aksi anti rasisme Papua, maka demi keadilan, Victor Yeimo harus segera dibebaskan tanpa syarat,” ujarnya.

Buchtar Tabuni bersama Agus Kossay (Ketua KNPB Pusat), Steven Itlay (Ketua KNPB Timika), ditangkap bersama empat orang mahasiswa, yakni ketua BEM USTJ Alexander Gobay, mantan ketua BEM Universitas Cenderawasih, Ferry Kombo, serta dua mahasiswa USTJ, Hengky Hilapok dan Irwanus Uropmabin.

“Kami enam diadili dengan delik makar di Pengadilan Negeri Balikpapan, Kalimantan Timur. Kami dihukum dan kasus rasisme sudah selesai. Kenapa sekarang Victor Yeimo ditangkap dengan tuduhan terlibat dalam aksi rasisme? Ini tidak benar. Segera bebaskan Victor Yeimo,” tegas Tabuni.

Tak Ada Akses

Dalam pertemuan dengan Kapolda Papua bersama jajarannya, John menyampaikan kekhawatiran banyak kalangan terkait kesehatan dan keselamatan Victor Yeimo yang sedang mendekam di Rutan Brimob Papua.

“Banyak pihak bertanya-tanya, kenapa harus ditempatkan di Mako Brimob? Menurut hemat kami, itu tidak cocok,” kata John.

Pengurus Dewan Adat Papua ini berharap, Kapolda Papua memerintahkan Penyidik memberi kebebasan kepada keluarga, rohaniwan, dan petugas medis untuk mengunjungi Victor Yeimo di Rutan Brimob Papua.

Dengan adanya akses yang diberikan Kapolda, ia yakin keluarga Victor Yeimo bisa berkunjung untuk ketemu dan berbicara. Begitupun dengan rohaniwan, dokter, dan penasehat hukum.

Penangkapan dan penahanan itu dianggap tak tepat, John menyarankan agar penegak hukum mencari tahu siapa yang sebarkan selebaran seruan aksi protes rasisme pada 29 Agustus 2019.

“Cari tahu aktor penyebar informasi rencana aksi lanjutan itu. Setahu saya, Victor Yeimo tidak ada dalam aksi itu. Saya hari itu ada di kantor Gubernur sampai tengah malam. Kesaksian ini sudah saya sampaikan ke pak Kapolda dan Irwasda Polda Papua dalam pertemuan kami,” kata John.

Baca Juga:  Pembagian Selebaran Aksi di Sentani Dibubarkan

Sorotan Dunia

Penangkapan Victor Yeimo menurut Pendeta Nicolaus Degei, langsung jadi sorotan dunia terutama setelah penetapan teroris oleh pemerintah Indonesia. Negara hari ini sedang dipantau apalagi sasarannya aktivis terkenal dikhawatirkan kesehatan dan keselamatan selama ditawan.

“Penangkapan Victor Yeimo ini sudah jadi sorotan dunia internasional. Jadi, sebaiknya pikirkan baik dengan kasus ini, karena tersangka tidak pernah terlibat dalam aksi rasisme 29 Agustus 2019,” ujar Nico.

Saran itu juga telah disampaikan langsung kepada pimpinan Polda Papua dan Brimob Papua dalam pertemuan terkait penahanan Victor Yeimo.

Beberapa saat setelah penangkapan oleh Satgas Nemangkawi, Veronica Koman yang mengklaim menerima kuasa dari Victor Yeimo sebagai pengacara internasional, mengaku telah mengajukan ‘urgent appeal’ ke Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).

“Victor Yeimo ditangkap tanpa surat penangkapan. Tapi seharusnya, dalam surat penangkapan tertulis dia ditangkap atas peristiwa apa dan diduga melanggar pasal apa, sehingga dalam pemeriksaan dia hanya akan diperiksa di sekitar itu saja,” ujar Koman.

“Pernyataan Kapolda sudah secara gamblang mengatakan bahwa dia akan mengkriminalisasi Victor Yeimo, jadi ini menjadi urgent untuk PBB turun tangan menekan Indonesia untuk melepas Victor Yeimo tanpa syarat dan secepatnya,” tegasnya.

Selain itu, ia menyatakan siap menyampaikan setiap perkembangan ke PBB, baik soal perlakuan yang didapatkan Victor Yeimo di dalam penjara atau selama interogasi lanjutan dari penyidik.

Koman menyebut perlu intervensi PBB karena diduga adanya upaya kriminalisasi terhadap Victor Yeimo dilakukan oleh aktor negara.

Selain Human Rights Watch (HRW), sedikitnya 31 organisasi sipil pembela HAM menyatakan keprihatinannya atas penangkapan dan pemidanaan Victor Yeimo. Apalagi didakwa dengan tuduhan makar.

Organisasi masyarakat sipil di tingkat lokal, nasional dan internasional itu melayangkan sejumlah desakan kepada pemerintah Republik Indonesia, termasuk Kepolisian Republik Indonesia, yang pada intinya menuntut segera lepaskan Jubir KNPB dari jeratan hukum.

Koalisi organisasi masyarakat sipil itu khawatir penangkapan dan pemenjaraan Victor Yeimo bagian dari kegagalan pemerintah menyelesaikan akar masalah konflik di Tanah Papua.

“Kami menganggap pemidanaan terhadap Victor Yeimo dilandaskan pada motivasi politik pemerintah yang terus gagal menyelesaikan akar konflik di Papua, seperti salah satunya menuntaskan praktik rasisme terhadap rakyat Papua baik yang dilakukan oleh aparat negara maupun warga lain yang intoleran,” salah satu bunyi pernyataan tertulisnya, Selasa (18/5/2021).

Pemidanaan dengan Pasal Makar seperti Pasal 106 dan 110 KUHP terhadap Victor Yeimo dianggap sebuah tindakan negara terus mengekang kebebasan berekspresi warga Papua. Ini dikhawatirkan sebagai penghalang besar dalam proses menuju solusi damai mengakhiri konflik berdarah selama puluhan tahun.

HRW mendesak pemerintah Indonesia segera mencabut tuduhan makar sekaligus membebaskan tanpa syarat Victor Yeimo, juru bicara internasional Komite Nasional Papua Barat (KNPB).

Desakan HRW disampaikan melalui siaran pers baru-baru ini menyikapi penahanan Victor Yeimo, aktivis KNPB, yang selama lebih satu dekade mendukung perjuangan kemerdekaan Papua Barat secara damai.

Penangkapan Victor Yeimo menurut HRW sebagaimana dilansir abc.net.au, dilatarbelakangi oleh motif politik.

Karena itu HRW minta presiden Joko Widodo secara terbuka memerintahkan pasukan keamanan yang terlibat dalam operasi militer di Papua bertindak sesuai hukum internasional, dan harus bertanggung jawab jika melanggarnya.

Label Teroris Rugikan Rakyat Papua

Victor Yeimo ditangkap saat operasi militer di Papua meningkat sebagai reaksi dari insiden tewasnya Brigjen I Gusti Putu Danny Nugraha Karya, kepala Badan Intelijen Nasional (BIN) Daerah Papua, dalam sebuah penyergapan 25 April lalu. Ia jenderal pertama yang tewas selama lima dekade konflik di Tanah Papua.

Yeimo menyebut kematian Danny sebagai “tumbal” keengganan pemerintah bersama parlemen Indonesia mencari solusi terbaik terhadap status politik West Papua.

Buntut dari insiden itu, pemerintah Indonesia resmi mengumumkan kelompok bersenjata di Papua, Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat Organisasi Papua Merdeka (TPNPB OPM) sebagai organisasi teroris.

Baca Juga:  Pelaku Penyiksaan Harus Diadili, Desakan Copot Pangdam Cenderawasih Terus Disuarakan

Mahfud MD, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Kamis (29/4/2021) di Jakarta, menyatakan, pelabelan tersebut berdasarkan usulan dari tokoh masyarakat dan pemerintah daerah Papua, serta aparat keamanan.

“Maka apa yang dilakukan oleh kelompok kriminal bersenjata (KKB) dan segala nama organisasinya dan orang-orang yang berafiliasi dengannya adalah tindakan teroris,” ujar Mahfud.

Beberapa saat setelah diumumkan Mahfud MD, gubernur Papua Lukas Enembe meminta pemerintah pusat segera mengkaji kembali keputusan tersebut. Ia khawatir penyematan teroris itu akan memberi stigma negatif terhadap masyarakat Papua.

Enembe menyebut terorisme adalah konsep yang selalu diperdebatkan dalam ruang lingkup hukum dan politik. Karena itu penetapan KKB sebagai kelompok teroris perlu ditinjau dengan seksama dan memastikan objektivitas negara.

“Hal ini ditakutkan akan memunculkan stigmatisasi negatif yang baru bagi warga Papua yang berada di perantauan,” kata Enembe.

Karena itu, Gubernur Papua menyarankan pemerintah pusat sebaiknya melakukan komunikasi dan konsultasi dengan Dewan Keamanan PBB terkait pemberian status teroris terhadap KKB.

Respons Brimob dan Polda Papua

Soal kesehatan Victor Yeimo, AKBP Soeroso, wakil komandan Satuan Brimob Papua, menyatakan komitmennya telah dilakukan selama tersangka dipindahkan dari Rutan Polda Papua.

“Tugas kami menjaga kesehatan saudara Victor Yeimo, termasuk keselamatannya selama ada di sini. Itu komitmen dan tanggungjawab kami,” kata Soeroso di hadapan John dan Nico.

Wadan Satbrimob mengaku memperlakukan Victor Yeimo dengan baik, termasuk memberinya kesempatan untuk berjemur setiap pagi, mandi dan menyiapkan tempat tidur yang layak.

“Hampir tiap pagi kami dampingi Victor Yeimo untuk jemur badan. Itu tugas kami, jadi jangan khawatir dengan keberadaan dia di sini,” ucapnya.

Sebagai tahanan Polda Papua, Victor Yeimo menurut Soeroso, makan dan minum ditanggung Polda melalui Direktorat Reserse Kriminal.

Yeimo mengaku keberatan dengan makanan yang biasa diantar penyidik Polda Papua. Menurutnya, makanan tak layak dikonsumsi.

“Biasa dibawa dari Polda, tetapi tidak layak saya makan. Nasinya keras dan dicampur dengan sambal yang pedas. Saya ada riwayat penyakit maag, kalau saya makan itu rasa sakit sekali.”

Victor juga merasa sepi lantaran ditahan seorang diri di Rutan Brimob Papua. Situasi itu nyaris bikin stress, apalagi tak ada teman cerita.

Irjen Pol Mathius D Fakhiri, Kapolda Papua, mengaku telah memerintahkan penyidik agar percepat proses pemeriksaan Victor Yeimo.

“Itu di tangan penyidik, mereka yang ahli. Saya sudah perintahkan supaya proses pemeriksaannya dipercepat,” kata Kapolda.

Kapolda Papua sebelumnya menyebut tersangka Victor Yeimo tersandung sejumlah perkara, termasuk makar.

Polda Papua menurut Mathius saat jumpa pers (10/5/2021), mengatakan, Victor Yeimo dijerat pasal berlapis antara lain Pasal 106 junto Pasal 82 KUHP dan Pasal 110 KUHP (delik makar), Undang-undang nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara, dan Lagu Kebangsaan, serta Pasal 160 KUHP (penghasutan untuk melawan penguasa).

Juga, Pasal 187 KUHP (pembakaran), Pasal 365 KUHP (pencurian), Pasal 170 ayat (1) KUHP (penggunaan tenaga bersama untuk melakukan kekerasan), serta Pasal 2 Undang-undang Darurat nomor 12 tahun 1961 (kepemilikan senjata pemukul atau penikam).

“Kami sedang menggali semua laporan polisi yang ada, nanti proses tetap berjalan sesuai masing-masing LP, biar saja dia sampai tua di penjara,” ujar Kapolda.

Victor Yeimo menurut catatan kepolisian, bertindak sebagai orator sekaligus koordinator dalam sejumlah aksi massa yang diduga sebagai tindak pidana makar atau menyiarkan berita atau mengeluarkan pemberitahuan yang dapat menimbulkan keonaran di masyarakat dan memicu ricuh di Papua pada Agustus 2019.

Tudingan tersebut terkait aksi protes rasisme pada tanggal 19 Agustus 2019 ataukah 29 Agustus 2019? Sebab, Victor Yeimo mengaku tak pernah terlibat dalam aksi lanjutan (29/8/2019), kecuali aksi pertama (19/8/2019) di kantor Gubernur Papua Dok II, Kota Jayapura. Aksi diadakan merespons insiden ujaran kebencian rasis di Surabaya, Jawa Timur.

Pewarta: Markus You

Terkini

Populer Minggu Ini:

Suku Abun Gelar RDP Siap Bertarung Dalam Pilkada 2024

0
“Masyarakat harus tetap konsisten dengan apa yang disampaikan dalam kegiatan ini. Yang terlebih penting masyarakat harus menjaga keamanan di Tambrauw sehingga semua kegiatan berjalan dengan aman dan damai mulai dari tahapan hingga selesai Pilkada 2024 nantinya,” pesannya.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.