JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Sebanyak 40 Masa aksi Demonstrasi Tolak Otsus Jilid 2 di depan kantor DPR RI, diangkut paksa ke dalam dua truck Dalmas milik aparat kepolisian Indonesia menuju Polda Metro Jaya.
“Sesampainya di Direktorat Reserse Masa aksi dipaksa masuk dan juga dipaksa vaksin sambil mengintimidasi masa aksi,” kata Sekjen Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua, Indonesia (AMPTPI) Ambrosius Mulait kepada media suarapapua.com. Kamis, (15/7/2021).
Mulait mengatakan, meskipun aksi penolakan penerapan Otonomi Khusus (Otsus) Jilid 2 di depan kantor DPR RI, digelar secara damai. Namun aparat Kepolisian masih menunjukkan sikap diskriminatif terhadap masa aksi.
“Meski aksi yang kami lakukan secara damai dan sesuai protokol kesehatan. Untuk menyampaikan aspirasi yang mana menjadi point penting dalam pembahasan UU Otsus untuk orang Papua. Tapi Negara Indonesia melalui aparat Kepolisian membatasi kami, dengan cara memprovokasi dan membubarkan paksa dan menangkap masa aksi,” kata Mulait.
Kata Mulait, pembahasan Otsus sebelumnya pemerintah dengan gaya premanisme tetap memaksakan dan memberlakukan Otsus sepihak tanpa mengakomodir keinginan rakyat Papua.
“Kami pikir Otsus yang dibahas ini untuk nasib orang Papua kenapa tidak memfasilitasi orang Papua untuk bahas ini, tapi kenyataannya beda. Aparat menggunakan kekuatan mereka memaksa membubarkan kami,” katanya.
Mulait, membeberkan dalam aksi damai juga terjadi saling dorong saat angkut masa ke dalam mobil Dalmas salah satu oknum intel polisi dari Polda Metro Jaya sempat mengeluarkan kata-kata Rasis bilang Monyet.
“Artinya apa? memang Otsus inikan produk penjajah jadi apa yang dia jajah di anggap tidak punya harkat dan martabat, dan karena mendengar ucapan rasis tersebut teman-teman beradu mulut merespon kata monyet yang di sampaikan oknum intel tersebut,” tegasnya.
Otonomi Khusus (Otsus) Papua ini merupakan produk wajah rasis Indonesia terhadap orang asli Papua.
“Kami menolak produk Jakarta yang tidak menjamin keberhasilan orang Papua. DPR-RI stop membajak nasib orang Papua demi kepentingan segelintir elit pusat dan elit Papua,” katanya.
Pewarta: Agus Pabika
Editor: Arnold Belau