Terungkap Indikasi Kepentingan Ekonomi dalam Serangkaian Operasi Militer Ilegal di Intan Jaya

0
1457

SIARAN PERS

Tiga tahun terakhir pengerahan kekuatan militer Indonesia secara ilegal di kawasan pegunungan tengah Provinsi Papua telah memicu eskalasi konflik bersenjata antara TNI-POLRI dan TPNPB, serta kekerasan dan teror terhadap masyarakat sipil terutama di Kabupaten Intan Jaya. Analisis spasial mengungkapkan bagaimana letak pos militer dan kepolisian berada di sekitar konsesi tambang yang teridentifikasi terhubung baik secara langsung maupun tidak langsung dengan para jenderal.

Hal itu terungkap dalam laporan “Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua: Kasus Intan Jaya” yang diluncurkan hari ini oleh YLBHI, WALHI Eksekutif Nasional, Pusaka Bentala Rakyat, WALHI Papua, LBH Papua, KontraS, JATAM, Greenpeace Indonesia, Trend Asia, bersama #BersihkanIndonesia (Baca laporan di sini: https://s.id/SiaranPersKajianIntanJaya).

Para peneliti melakukan kajian cepat terkait operasi militer ilegal di Papua dengan menggunakan kacamata ekonomi-politik. Kajian ini juga memperlihatkan indikasi relasi antara konsesi perusahaan dengan penempatan dan penerjunan militer di Papua dengan mengambil satu kasus di Kabupaten Intan Jaya.

Namun operasi ilegal itu, justru memantik eskalasi konflik bersenjata, memperparah teror bagi masyarakat sipil, dan menambah deretan kekerasan negara di Papua. Sedikitnya 10% penduduk Sugapa, ibukota Kabupaten Intan Jaya mengungsi, termasuk 331 perempuan dan anak-anak di awal tahun 2021. April lalu, Pemerintah Republik Indonesia resmi melabeli kelompok bersenjata yang berafiliasi dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM) sebagai teroris. Pelabelan tersebut menjadi pintu masuk legalisasi operasi militer dan penambahan pasukan.

ads

“Ketidakjelasan status akan situasi keamanan di Papua terus memberi celah bagi negara utk melakukan sekuritisasi, seperti membangun pos-pos atau markas/kantor militer dan penurunan pasukan baik Polri maupun TNI. Padahal, berbagai pengalaman menunjukkan pendekatan keamanan tidak menjawab permasalahan sistemik di Papua yang mengalami kesenjangan akses kebutuhan primer, kerusakan sumber daya alam, dan masalah kebebasan sipil,” kata Rivanlee Anandar dari KontraS.

Intan Jaya merupakan satu dari empat kabupaten di pegunungan tengah Papua yang menjadi lokasi pembentukan Komando Distrik Militer (Kodim) baru. Kodim baru Intan Jaya terletak di ibukota kabupaten yaitu Distrik Sugapa. Tidak diketahui berapa jumlah aparat militer, baik organik dan non-organik yang berada di Papua, khususnya di wilayah Pegunungan Tengah. DPR Papua sendiri sempat menyampaikan bahwa mereka kesulitan mendapatkan data dan informasi terkait jumlah pasukan non organik yang dikirim ke Papua setiap tahun, bahkan menurut DPR Papua, Gubernur Papua, Lukas Enembe juga tidak mengetahui jumlahnya.

Baca Juga:  Pertamina Tambah 40 Titik BBM Satu Harga, Termasuk Maluku dan Papua

Asfinawati dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI) mengatakan masalah transparansi pengerahan pasukan berakar dari operasi militer ilegal. Pasal 7 (2) b dan (3) UU 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia mewajibkan operasi militer selain perang  dilaksanakan berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara. Termasuk di dalam operasi militer selain perang ini antara lain adalah mengatasi gerakan separatisme bersenjata, mengatasi pemberontakan bersenjata, mengamankan wilayah perbatasan atau mengamankan objek vital nasional yang bersifat strategis. Hingga saat ini tidak terdengar adanya keputusan politik negara ini.

Made Supriatma dalam risetnya menyebut bahwa rasio penduduk dan personel keamanan per kapita adalah 97:1. Artinya, ada satu polisi atau tentara untuk setiap sembilan puluh tujuh orang Papua. Rasio ini menunjukkan bahwa konsentrasi pasukan keamanan di Papua jauh lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lainnya dengan rasio 296:1, artinya 1 personel keamanan untuk setiap 296 warga negara.

“Pengerahan pasukan menyebabkan eskalasi konflik  senjata semakin tinggi, akibatnya masyarakat di beberapa kabupaten Puncak Jaya, Nduga, Intan Jaya mengungsi meninggalkan tanah leluhur, tindakan bantuan pemerintah kepada pengungsi sangat minim bahkan  cenderung mengabaikan kondisi pengungsi,” ujar Tigor Hutapea dari Yayasan Pusaka Bentala Rakyat.

Sementara itu, ada empat perusahaan di Intan Jaya yang teridentifikasi dalam laporan ini yakni PT Freeport Indonesia (IU Pertambangan), PT Madinah Qurrata’Ain (IU Pertambangan), PT Nusapati Satria (IU Penambangan), dan PT Kotabara Miratama (IU Pertambangan). Dua dari empat perusahaan itu yakni PT Freeport Indonesia (PTFI) dan PT Madinah Qurrata’Ain (PTMQ) adalah konsesi tambang emas yang teridentifikasi terhubung dengan militer/polisi termasuk bahkan dengan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Pandjaitan.

Setidaknya ada tiga nama aparat yang terhubung dengan PTMQ. Mereka adalah Purnawirawan Polisi Rudiard Tampubolon, Purnawirawan TNI Paulus Prananto, dan Purnawirawan TNI Luhut Binsar Panjaitan (LBP). Rudiard Tampubolon merupakan komisaris PTMQ, bahkan West Wits Mining (pemegang saham MQ) menganggap bahwa kepemimpinan dan pengalaman Rudiard cukup berhasil menavigasi jalur menuju dimulainya operasi pertambangan. Selain duduk sebagai komisaris, perusahaan yang dipimpin Rudiard yakni PT Intan Angkasa Aviation juga mendapat 20% kepemilikan saham di PT Madinah Qurrata’ain.

Baca Juga:  ULMWP Menyerukan Rakyat Papua Gelar Doa dan Puasa Peringati HUT Kemerdekaan West Papua

Dalam Darewo River Gold Project, West Wits Mining juga membagi sejumlah 30% saham kepada PT Tobacom Del Mandiri (TDM). Presiden direktur TDM ialah Purnawirawan TNI Paulus Prananto. Di sebuah terbitannya, West Wits Mining jelas menyebut bahwa TDM bertanggung jawab terkait izin kehutanan dan terkait keamanan akses ke lokasi proyek. TDM merupakan bagian dari PT Toba Sejahtera Group, dimana pemilik saham minoritasnya adalah Luhut Binsar Panjaitan. Dua purnawirawan TNI yang terkait dengan perusahaan MQ, Paulus Prananto dan Luhut Binsar Panjaitan, merupakan anggota tim relawan (Bravo Lima) pemenangan Presiden Joko Widodo pada 2014 dan 2019.

Nur Hidayati dari WALHI Eknas mengatakan, sebagaimana disebut oleh LIPI ada empat akar masalah konflik kekerasan di Papua dan itu seharusnya bisa diselesaikan oleh negara (Lihat  LIPI-Temukan-Empat-Akar-Masalah-di-Papua) . Pertama, pengakuan atas masyarakat Papua itu sendiri. Ketiadaan pengakuan sendiri berujung pada diskriminasi, ini terlihat dari proyek-proyek ekstraktif yang masuk ke Papua tanpa konsultasi dan meminta persetujuan masyarakat Papua. Kedua, pendekatan proyek pembangunan mercusuar yang telah gagal memenuhi kebutuhan mendasar yang dibutuhkan masyarakat Papua, yaitu pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat.

“Proyek-proyek infrastruktur yang ada sekarang ini, sebetulnya melayani siapa? Kami mengidentifikasi, berdasarkan salah satu laporan WALHI, justru terdapat 39 perusahaan yang mendapatkan keuntungan secara langsung dari pembukaan proyek Trans Papua. (Baca:  analisis-pengaruh-rencana-pembangunan-proyek-prioritas-jalan-trans-papua). Sementara akar masalah yang ketiga adalah kontradiksi sejarah dan konstruksi identitas politik, serta tidak belajarnya rezim sekarang dengan kegagalan pendekatan kekerasan yang dilakukan oleh rezim sebelumnya,” ujar Nur Hidayati.

Dalam kasus rencana tambang emas di Blok Wabu, kajian cepat ini mencatat terdapat lima aparat militer (TNI/POLRI). Kelima nama tersebut berasal dari tiga nama entitas perusahaan yang berbeda, tetapi masih satu naungan di bawah holding perusahaan tambang Indonesia yaitu MIND ID. Dalam entitas PTFI sebagai perusahaan pemilik konsesi sebelumnya di Blok Wabu, ada nama Purnawirawan TNI Hinsa Siburian (HS) sebagai komisaris PTFI. Pada 2015-2017, HS pernah menjabat sebagai Pangdam XVII/Cenderawasih Papua. HS juga tercatat tergabung dalam tim relawan (Cakra 19) pemenangan Presiden Jokowi pada 2019.

Baca Juga:  Media, Advokat dan Masyarakat Sipil Mendeklarasikan Koalisi Keadilan Keselamatan Jurnalis di Tanah Papua

Perusahaan yang ditunjuk untuk menggarap lahan konsesi PTFI (Blok Wabu) yang dikembalikan ke Pemerintah Indonesia adalah PT ANTAM. Kajian cepat ini mencatat ada dua nama aparat militer di ANTAM yakni Purnawirawan TNI Agus Surya Bakti dan Komisaris Jenderal Polisi Bambang Sunarwibowo. Di ANTAM, Agus Surya Bakti menjabat sebagai Komisaris Utama, sementara Bambang Sunarwibowo merupakan Komisaris. Di samping itu, Bambang Sunarwibowo juga tercatat masih aktif menjabat sebagai Sekretaris Utama Badan Intelijen Nasional. Sementara di tubuh MIND ID ada nama Purnawirawan TNI Doni Monardo sebagai Komisaris Utama dan Purnawirawan Muhammad Munir sebagai Komisaris Independen. Sampai saat ini, Muhammad Munir juga tercatat berkiprah sebagai Ketua Dewan Analisa Strategis Badan Intelijen Negara.

Temuan tersebut menjadi indikasi terdapatnya kepentingan ekonomi di balik serangkaian operasi militer ilegal di Intan Jaya. Nama-nama aparat militer yang muncul pun tidak sembarangan. Beberapa terdidik di kesatuan Kopassus yang terkenal cukup elit di tubuh TNI. Beberapa punya latar belakang atau pengalaman di Badan Intelijen Negara. Ada pula yang setelah purna tugas berkiprah di dunia politik dengan menjadi tim pemenangan presiden yang berkuasa saat ini, Joko Widodo.

“Berdasarkan Peraturan Kepolisian 3/2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2017 Tentang Pemberian Bantuan Pengamanan Pada Objek Vital Nasional dan Objek Tertentu, pemberian bantuan pengamanan sebagaimana  dilaksanakan berdasarkan pada permintaan pengelola Obvitnas dan/atau Objek Tertentu.  Oleh karena itu keterlibatan tersebut memperkuat indikasi adanya konflik kepentingan,” kata Asfinawati.

“Penguasaan wilayah konsesi industri pertambangan yang dilakukan oleh berbagai perusahaan di wilayah konflik telah melanggar hak-hak orang asli Papua sebagai pemilik tanah adat. Penguasaan tanpa mendapat persetujuan masyarakat Adat untuk menentukan pilihan terbaik, dalam berbagai kasus masyarakat adat yang tidak setuju mendapatkan stigmatisasi dan labelisasi anti pembangunan hingga pelaku separatis. Pengerahan kekuatan militer bertujuan menciptakan ketakutan bagi masyarakat adat untuk meninggalkan tanah adatnya,” tambah Tigor dari Yayasan Pusaka Bentala Rakyat.

Jakarta 12 Agustus 2021

SUMBERPUSAKA.OR.ID
Artikel sebelumnyaUpdet: Aparat Sudah Tinggalkan Asrama Mahasiswa Yahukimo
Artikel berikutnyaPRP: Bebaskan Victor Yeimo dan Berikan Hak Penentuan Nasib Sendiri Bagi Bangsa Papua