Indonesia Tidak Bisa Padamkan  Gerakan Kemerdekaan Papua Barat

Pendekatan Jokowi terhadap provinsi yang bergolak pada dasarnya cacat.

0
1959

Oleh: Olivia Tasevski)*
)* Penulis adalah adalah seorang pengajar hubungan internasional di Universitas Melbourne di Australia. Ia mengkhususkan diri pada isu-isu hak asasi manusia di Indonesia, selain politik dan sejarah Indonesia. Twitter: @OliviaTasevski

Ketika Joko Widodo, yang lebih dikenal sebagai Jokowi, menjadi presiden Indonesia pada tahun 2014, ia berjanji untuk meningkatkan layanan sosial di provinsi Indonesia yang bergolak, Papua Barat, dimana gerakan pro-kemerdekaan telah berlangsung sejak 1960-an. Pada saat itu, Jokowi  mengklaim bahwa begitu perbaikan ini terjadi, “ketegangan politik [di Papua Barat] akan berkurang.” 

Itu tidak terjadi. Pada kenyataannya, ketegangan hanya makin meningkat sejak Jokowi terpilih, terutama setelah pemilihannya kembali pada tahun 2019. Gerakan pro-kemerdekaan dan anti-rasisme Papua makin subur, memperdalam perpecahan antara pemerintah Indonesia dan orang Papua, juga dengan sekutu Indonesia mereka.

Jokowi telah mencoba untuk menjawab keluhan orang Papua melalui peningkatan pembangunan infrastruktur di provinsi itu dan, tidak seperti pendahulunya, dengan secara teratur mengunjungi Papua Barat. Awal bulan ini, misalnya, ia muncul  pada saat pembukaan Pekan Olahraga Nasional Indonesia, yang diadakan tahun ini di Papua Barat, di mana, dalam acara yang tidak diragukan lagi diatur secara hati-hati, ia bermain sepak bola dengan anak-anak Papua yang mengenakan pakaian merah-putih, warna bendera Indonesia. Tetapi tawaran ini tidak dapat menyembunyikan fakta bahwa pada masa jabatan kedua Jokowi telah ditandai dengan kebijakan yang semakin otoriter terhadap Papua Barat, yang kemungkinan akan meningkatkan gerakan pro-kemerdekaan yang sudah mendapatkan momentumnya.

Pada tahun 1949, ketika Indonesia secara resmi memperoleh kemerdekaan dari penjajahnya, Belanda, negara Eropa itu juga tidak melepaskan kendali atas wilayah kolonial terdekatnya, West New Guinea (sekarang dikenal sebagai Papua Barat). Tetapi presiden pertama Indonesia, Sukarno, menganggap West New Guinea bagian dari negaranya karena pengalaman bersama mereka tentang pemerintahan kolonial sebagai bagian dari Hindia Belanda. Pemerintahannya kemudian melancarkan kampanye untuk menguasai wilayah tersebut.

ads

Di bawah tekanan dari Amerika Serikat, pada tahun 1962, Belanda melakukan  negosiasi dengan Indonesia tanpa keterlibatan orang Papua. Dengan demikian Perjanjian New York lahir, di mana Belanda berjanji untuk mentransfer kendali West New Guinea ke PBB dan kemudian ke Indonesia.

Setelah Indonesia menguasai wilayah tersebut, pada tahun 1969, ia mengadakan referendum palsu untuk menentukan apakah orang Papua ingin Papua Barat diintegrasikan ke dalam Indonesia atau menjadi negara merdeka. Ironisnya bernama Act of Free Choice, referendum yang melibatkan  kurang dari 1 persen orang Papua, yang dipaksa untuk memilih mendukung integrasi.

Sejak itu, orang Papua terus berjuang untuk kemerdekaan melalui protes-protes damai dan perjuangan bersenjata, meskipun Indonesia sering sulit membuat perbedaan diantara keduanya. Orang Papua yang pro-kemerdekaan memandang pemerintahan Indonesia atas Papua Barat sebagai bentuk kolonialisme dan berpendapat bahwa Papua Barat harus merdeka karena perbedaan etnis dan agama: Sementara orang Indonesia mayoritas Muslim, Sebagian besar orang Papua beragama  kristen. Mereka juga  mengidentifikasi  dirinya sebagai orang Melanesia, tidak seperti kebanyakan orang Indonesia. Gerakan kemerdekaan juga  dimotivasi oleh pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh tentara Indonesia dan pasukan keamanan lainnya di Papua Barat sejak 1960-an, termasuk pembunuhan, penyiksaan, pemerkosaan, dan pemenjaraan. Banyak anggota tentara dan pasukan keamanan lainnya belum  diadili karena keterlibatan mereka dalam pelanggaran hak asasi manusia ini.

Baca Juga:  Kontradiksi Revitalisasi Pertumbuhan Ekonomi dan Peningkatan Kualitas Manusia

Masa jabatan pertama Jokowi sebagai presiden ditandai dengan beberapa perkembangan yang menjanjikan bagi Papua Barat. Pemerintahnya membebaskan setidaknya 32  tahanan politik Papua, termasuk aktivis kemerdekaan terkemuka, Filep Karma yang telah menjalani 10 dari 15 tahun hukuman penjaranya karena mengibarkan bendera Bintang Kejora, bendera gerakan kemerdekaan Papua yang dilarang. Selama masa jabatan pertamanya, Jokowi juga  berjanji untuk menghapus larangan berkepanjangan yang membatasi akses wartawan asing ke Papua Barat.

Namun setelah Jokowi terpilih Kembali pada Mei 2019, dengan gelagat yang mengganggu dari sikapnya yang tidak peduli terhadap hak asasi manusia di Papua Barat, ia menunjuk lawannya saat Pilpres, mantan Letnan Jenderal Prabowo Subianto, sebagai menteri pertahanan di Oktober – meskipun ada fakta bahwa Prabowo telah terlibat  dalam beberapa pelanggaran hak asasi manusia, termasuk membunuh warga sipil di Papua Barat pada tahun 1996.

Tiga bulan setelah Jokowi terpilih kembali, di kota Surabaya, Indonesia, kaum nasionalis Indonesia dan tentaranya seperti terekam kamera menyebut mahasiswa Papua di kota itu sebagai  monyet  (kata Indonesia untuk monkey), istilah rasis yang lama digunakan oleh orang Indonesia untuk membingkai orang Papua sebagai primitif dan terbelakang. Rekaman insiden ini menyebar luas di media sosial dan, sebagai tanggapan, terjadi protes besar-besaran anti-rasisme dan pro-kemerdekaan oleh orang Papua dan dihadiri oleh warga Indonesia di seluruh Papua Barat dan wilayah lainnya di Indonesia. Kebanyakan berlangsung damai, tetapi dalam beberapa kasus pengunjuk rasa  merusak  infrastruktur.

Pemerintahan Jokowi kemudian mengirim  6.000 tentara ke Papua Barat, memotong koneksi internet di provinsi itu, melarang warga negara asing, dan tidak menghiraukan permintaan oleh diplomat asing dan Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia untuk mengunjungi Papua Barat. Pemerintah mengklaim bahwa langkah-langkah ini diperlukan untuk memungkinkan Indonesia  memulihkan  “keamanan dan ketertiban” di Papua Barat dan untuk memastikan bahwa orang asing tidak  dirugikan  sebagai akibat dari “situasi keamanan” di provinsi tersebut.

Tindakan Jokowi, yang berusaha untuk meredam gerakan pro-kemerdekaan Papua, kemungkinan akan menjadi bumerang.

Baca Juga:  Mengerjakan Apa yang Dicari, Mencari Apa yang Diimpikan

Argumen ini menimbulkan tanda tanya. Tindakan pemerintah justru merupakan upaya untuk mencegah pengawasan internasional terhadap situasi hak asasi manusia dan untuk membenarkan pembatasan kebebasan berekspresi orang Papua dan pembatasan pers di Papua Barat.

Selain itu, Jaksa Agung Indonesia menonjolkan proses hukum terhadap tujuh orang Papua karena berpartisipasi dalam protes. Pemerintah meminta hukuman penjara hingga 17 tahun untuk setiap orang, beberapa di antaranya merupakan pemimpin gerakan damai dalam organisasi pro-kemerdekaan yang utama, Persatuan Gerakan Pembebasan Nasional untuk Papua Barat. Pada tahun 2020, pengadilan Indonesia  menghukum mereka hingga 11 bulan penjara karena dituduh mengkhianat.

Para pengunjuk rasa itu hanyalah segelintir dari 48 orang Papua yang pada Desember lalu, dipenjara  karena terlibat dalam perlawanan tanpa kekerasan terhadap negara Indonesia. Meskipun Jokowi  berjanji untuk membebaskan semua tahanan politik Papua pada tahun 2015, tampaknya semakin tidak mungkin bahwa ia akan melakukannya, karena pendekatannya terhadap Papua Barat semakin tanpa kompromi.

Demikian pula, janji Jokowi bahwa wartawan asing akan dapat bebas masuk ke Papua Barat belum juga terwujud. Wartawan masih mengalami kesulitan ketika hendak memasuki provinsi itu. Mereka yang berhasil masuk, gerak-gerik mereka dibatasi dan dipantau oleh aparat keamanan Indonesia yang membuat kemampuan mereka untuk melaporkan pelanggaran hak asasi manusia terbatas.

Yang mengkhawatirkan, awal tahun ini, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Indonesia, Mahfud MD, melabel semua separatis dan individu Papua yang berafiliasi dengan mereka sebagai teroris di bawah undang-undang kontra-terorisme Indonesia, yang  memungkinkan seseorang bisa dipenjara hingga tiga minggu tanpa proses hukum. Ketika dia membuat pernyataan ini, Mahfud  berpendapat bahwa menggunakan kekerasan yang menyebabkan “kerusakan atau kehancuran” juga merupakan terorisme. Penunjukan ini sangat signifikan. Ini kemungkinan akan digunakan untuk menahan orang Papua karena terlibat dalam perlawanan sipil secara damai – terutama penghancuran infrastruktur – atau bahkan terhadap mereka yang hanya mengadvokasi kemerdekaan secara damai. Ini juga membantu pasukan keamanan Indonesia dalam upaya mereka untuk membenarkan langkah-langkah luar biasa dan ekstrem yang mereka gunakan terhadap orang Papua yang pro-kemerdekaan dengan alasan bahwa mereka seolah-olah menimbulkan ancaman keamanan.

Selama masa jabatan keduanya, Jokowi telah melipatgandakan kebijakan keamanan, menanggapi perjuangan Papua dengan menambah militer ke Papua Barat dan terjadi pelanggaran yang makin meningkat terhadap hak-hak sipil dan politik orang Papua. Tindakan ini, yang bertujuan untuk meredam gerakan pro-kemerdekaan Papua, kemungkinan akan menjadi bumerang. Tindakan demikian hanya akan memperkuat gerakan perlawanan dan makin memperbesar permusuhan Papua terhadap pemerintah Indonesia.

Bahkan pendekatan non-keamanan Jokowi yang bertujuan menghilangkan sentimen pro-kemerdekaan tidak akan cukup untuk memadamkan gerakan tersebut. Misalnya, pemerintahannya berusaha mempercepat pembangunan ekonomi di wilayah itu – sebuah kebijakan yang juga pernah diusahakan oleh para pendahulunya – dengan membangun infrastruktur dan menyediakan keuangan mikro. Meskipun Papua Barat merupakan rumah bagi tambang emas terbesar di dunia dan tambang tembaga terbesar kedua – yang dijalankan oleh Freeport-McMoRan, sebuah perusahaan pertambangan AS dan pembayar pajak terbesar di Indonesia – Papua Barat adalah provinsi termiskin di Indonesia. Namun, fokus Jokowi pada pembangunan ekonomi di provinsi ini tidak mungkin bisa menghilangkan tuntutan kemerdekaan Papua, yang berada jauh lebih dalam daripada kebijakan ekonomi Indonesia terhadap wilayah tersebut.

Baca Juga:  Beri 'Kami' Pendidikan Gratis, Bukan Makan Siang Gratis

Di kancah internasional, pemerintahan Jokowi telah melakukan penyangkalan dalam menjawab tuduhan adanya kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia terhadap orang Papua Barat dan orang Indonesia yang mendukung rakyat Papua. Misalnya, pada tahun 2019, sebagai tanggapan atas kritik PBB terhadap penganiayaan pemerintah terhadap pengacara hak asasi manusia Indonesia Veronica Koman, misi permanen Indonesia di PBB berpendapat  bahwa informasi yang diposting Koman secara online tentang pelanggaran hak asasi manusia dan rasisme terhadap orang Papua adalah “berita palsu.” Demikian pula, pada sidang Majelis Umum PBB pada tahun 2020, setelah Vanuatu meminta agar Indonesia menangani dugaan pelanggaran hak asasi manusia di Papua Barat, perwakilan Indonesia untuk PBB, Silvany Austin Pasaribu,  mengecam Vanuatu karena membahas “masalah hak asasi manusia yang tidak faktual.”

Vanuatu, bagaimanapun, adalah salah satu dari sedikit negara yang mendukung gerakan kemerdekaan Papua. Amerika Serikat, Australia, negara-negara di Asia Tenggara, dan banyak negara lain mendukung  pemerintahan Indonesia atas Papua Barat dan ragu-ragu untuk  mengutuk pelanggaran hak asasi manusia ini, karena mereka memprioritaskan hubungan mereka dengan Indonesia sebagai negara terpadat keempat di dunia dan pasar terbesar di Asia Tenggara.

Pada awal masa kepresidenannya, Jokowi menyatakan bahwa dia ingin  “pendekatan di Papua berubah” dan tidak lagi menjalankan “pendekatan keamanan yang represif.” Terlepas dari retorika ini, Jokowi telah memilih jalan represif yang telah juga ditempuh dengan baik oleh sebagian besar pendahulunya – dan bahwa ia kemungkinan akan terus menjalankan pola pendekatan itu selama sisa masa kepresidenannya, kecuali ia memutuskan untuk akhirnya mematuhi janji yang pernah dibuatnya selama kunjungan ke Papua Barat pada tahun 2014 untuk “mendengarkan suara rakyat [Papua].”

Catatan: Artikel ini diterjemahkan Redaksi Suara Papua. Pertama kali diterbitkan dari situs berita foreignpolicy.com yang terbit pada 18 Oktober 2021. Artikel asli terbit dengan judul Indonesia Can’t Quell West Papua’s Growing Independence Movement

 

SUMBERforeignpolicy.com
Artikel sebelumnyaSindir Jokowi soal Freeport, Senator Papua: Kita Bisa di PON, tapi Tidak Bisa Bangun Smelter
Artikel berikutnyaSmelter Harus Dibangun di Papua