Koalisi Masyarakat Sipil Laporkan 3.121 Orang Masih Mengungsi di Maybrat

0
1324

SORONG, SUARAPAPUA.com — Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Penggungsi Maybrat (KMSPPM) mencatat dan melaporkan bahwa sebanyak 3121 orang masih mengungsi akibat kontak tembak antara TPNPB dan TNI yang menyebabkan 4 anggota TNI tewas dan dua anggota TNI lainnya luka-luka.

Yohanes Mambrasar, advokat dan tim penyusun laporan KMSPPM membeberkan, 3121 orang yang masih mengungsi tersebut adalah 1342 orang laki-laki, 1328 orang perempuan  dan 575 orang merupakan anak usia sekolah dengan umur 7 – 18 tahun.

“3121 orang ini sekarang menghadapi kondisi yang rumit karena  kekurang bahan makanan, maupun tempat tingal. Sulit untuk memenuhi kebutuhan ekonomi juga sangat susah,” ungkap dalam konferensi pers yang digelar secara virtual, Jumat (26/11/2021).

Berdasarkan data yang himpun KMSPPM, lanjut Mambrasar, sejak terjadi penyerangan Pos TNI Koramil Persiapan Kisor  pada 2 September 2021 hingga kini  ribuan warga masih bertahan di tempat pengungsiannya.

Serta mengungsi ke berbagai kampung di Maybrat seperti Ayawasi, Kumurkek, Fategomi dan yang mengungsi di Kabupaten tetanga lainnya seperti Kabupaten Sorong, Kota Sorong, Kabupaten Sorong Selatan, dan Kabupaten Bintuni, serta sebagiannya lagi hingga kini masih mengungsi di Hutan belantara Maybrat.

ads
Baca Juga:  Tragedi Penembakan Massa Aksi di Dekai 15 Maret 2022 Diminta Diungkap

“Saat ini ribuan warga tersebut juga kekurangan bahan makanan,pakian dan tempat tingal, serta kehilangan ternak peliharaan dan kebun mereka,” lanjutnya.

Dikatakan, ribuan para pengungsi Maybrat ini berasal dari 50 Kampung pada  5 distrik yaitu Aifat Selatan, Aifat Timur, Aifat Timur Jauh, Aifat Timur Tengah dan Aifat Timur Selatan. Mereka kehilangan hak hidup,hak berpendidikan, ibadah  dan sebagainya.

“Dari 55 orang mengalami kekerasan langsung dalam bentuk penganiayaan, penyiksaan, intimidasi hingga penangkapan tak sesuai prosedur. 8 orang warga kini masih ditahan dan menjalani proses hukum, 4 orang merupakan anak dengan status sebagai pelajar. Satu orang hilang hingga saat ini belum ditemukan,” ungkapnya.

Lebih lanjut, advokat Perkumpulan Pengacara HAM (PAHAM) Papua itu menjelaskan, 55 orang mengalami kekerasan langsung dalam bentuk penganiayaan, penyiksaan, intimidasi, penembakan dan Penangkapan.

Dari total warga yang ditangkap, 8 orang warga kini masih ditahan dan menjalani proses hukum, 4 orang merupakan anak dengan status sebagai pelajar. Salah satu warga atas nama Manfret Tamunete juga dinyatakan hilang. Kelurga Manfret Tamunete mengatakan Manfret Tamunete ditembak dan ditangkap oleh aparat TNI saat penyisiran di Kampung Fuog pada tanggal 25 Oktober 2021.

Baca Juga:  Vince Tebay, Perempuan Mee Pertama Raih Gelar Profesor

“Tetapi TNI Polri telah mengkonfirmasih bahwa mereka tidak tahu keberadaan Manfret Tamunete. 8 orang warga telah meninggal di tempat pengungsian akibat sakit, tenggelam di sungai dan tertimpa pohon,” katanya.

Sementara itu, pihak gereja mendesak kepada Pemerintah  Kabupaten Maybrat dan Pemprov Papua Barat untuk lebih proaktif menangani pengungsi (warga sipil) akibat penyirisan yang di lakukan pihak TNI/Polri saat mengejar pelaku penyerangan pos Koramil Kisor sebulan yang lalu. Sebenarnya pemerintah memiliki tanggung jawab moral, sosial, dan tanggung jawab politik, untuk memperhatikan para pengungsi akibat konflik bersenjata

“Pemerintah hanya tunggu Komnas HAM dari Jakarta baru ada pergerakan temu wicara. Tapi konkritnya tidak ada. Kelihatannya pemerintah acuh tak acuh, ada apa di balik itu?” kata Pater Baru, OSA selaku Koordinator Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil Pembela HAM dan Lingkungan.

Dia mengatakan, Gereja melihat beberapa motif di balik konflik bersenjata di daerah tersebut, memilik motif seperti  politik, ekonomi dan militerisme. Konflik di tanah Papua terjadi karena motif ekonomi (investasi) dan militerisme.

Baca Juga:  Peringatan IWD Menjadi Alarm Pergerakan Perempuan Kawal Segala Bentuk Diskriminasi Gender

“Militerisme memboncengi kepentingan investasi hingga menimbulkan konflik bersenjata. Pembangunan pos-pos militer juga dianggap memicu perlawanan bersenjata dan trauma bagi masyarakat sipil. . Dalam konteks politik, konflik terjadi karena permainan kepentingan politik kekuasaan, baik pusat, maupun dan lokal.”

“Rakyat justru menjadi korban, ada warga sipil yang meninggal di tempat penggungsian. Motif-motif ini membuat konflik di Tanah Papua terus terjadi dan tidak diselesaikan dengan baik,” kata Pater Bernard.

Pater Bernard Baru, mengakui, gereja melalui keuskupan Manokwari-Sorong bahkan sudah menyurati Danrem setempat beberapa minggu lalu. Surat itu dimaksudkan agar para pengungsi segera dikembalikan ke kampung-kampung halamannya. Namun hingga kini belum ada respons dari Danrem setempat.

“keuskupuan telah menyurati pihak TNI namun hingga saat ini belum ada respon balik. Gereja meminta agar para pengungsi segera dipulangkan ke kampung halamannya, agar dapat merayakan natal dan tahun baru, serta dapat bekerja dan hidup seperti sedia kala,” tungkas Pater Baru.

 

Pewarta: Reiner Brabar

Editor: Arnold Belau

Artikel sebelumnyaLiga 3 Papua Diikuti 9 Tim, Kick Off Sore Ini di SBY
Artikel berikutnyaPernyataan KSAD Merangkul KKB, Warinusi: Harapan Tersebut Tidak Hanya Retorika Belaka