JAYAPURA, SUARAPAPUA.com —“Otonomi Khusus (Otsus) Papua sudah dikebiri oleh pemerintahan Joko Widodo. Otsus terbukti gagal diimplementasikan, memaksa negara melanjutkan Otsus jilid 2 tanpa melibatkan rakyat Papua dalam rapat dengar pendapat (RDP) di setiap wilayah adat.”
Pernyataan ini ditegaskan Ambrosius Mulait, sekretaris jenderal Aliansi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua Indonesia (AMPTPI) melalui press release yang diterima suarapapua.com, Rabu (9/3/2022).
Ambrosius menyatakan, otoritarianisme rezim Jokowi terlihat melalui Pansus Otsus yang gagal menghadirkan solusi bagi rakyat Papua.
“Merespons itu, tidak hanya dengan berbagai kritik dari orang Papua, tetapi juga ribuan orang turun jalan di Yahukimo, Deiyai, dan berbagai daerah lainnya. Rakyat benar-benar sangat marah dengan segala tindakan negara,” ujarnya.
Ia juga mengungkapkan pemerintahan Jokowi melalui ketua Pansus Otsus memainkan peranan premanisme di parlemen (DPR RI) untuk melangengkan niat busuknya, orang Papua dijadikan objek atas kepentingan nasionalisme. Kelompok tidak mampu hadirkan solusi bagi rakyat Papua, apalagi anggota DPR RI dan MPR RI yang mewakili Papua dan Papua Barat terlihat ompong meski sadar tentang sejarah Otsus dan situasi Papua yang kian memburuk.
“Mereka terlihat bodoh karena tidak mampu mengakomodir penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat, misalnya Wamena berdarah, Biak berdarah, Wasior berdarah, Abepura berdarah, Paniai berdarah dan lain-lain, akibat dari pemberlakuan Otsus. Sedangkan rakyat Papua menginginkan dialog untuk menghentikan kejahatan negara,” kata Mulait.
Jika ada yang tanya mengapa kasus pelanggaran HAM di Papua tidak bisa diselesaikan, jawabannya menurut Mulait, presiden sudah amankan para pelaku pelanggaran HAM di lingkungan sistem pemerintahannya. Karena itulah sangat sulit untuk selesaikan.
“Bahkan, pemerintah turut hadir memperpanjang penderitaan orang Papua dan menjadi aktor konflik melalui kebijakan negara di daerah.”
Mulait membeberkan, kegagalan Otsus selama 20 tahun di Tanah Papua, pemerintah mencuci tangan dengan isu rasis, menstigma rakyat Papua tidak bisa buat apa-apa di sistem pemerintahan Indonesia.
“Otsus disulap menjadikan aspirasi pemekaran, selagi para penjahat bisa kendalikan kekuasaan. Setelah Otsus dilanjutkan, Mendagri ngotot dengan pemekaran Papua. Pemekaran dipaksakan dengan dalil kesejahteraan atau karena isu Papua merdeka.”
“Mungkin Jokowi bisa memeriksa Mendagri Tito Karnavian dan Paulus Waterpauw, apakah isu pemekaran untuk mendorong pengamanan investasi kelapa sawit di Boven Digoel atau apa?. Jokowi juga mesti periksa Luhut Binsar Pandjaitan dan anggota BIN lainnya dalam keterlibatan menteri dan mantan jenderal aktif di BIN atas pengamanan investasi di Blok Wabu Intan Jaya,” bebernya.
Selain itu, kata Mulait, perlu periksa wakil menteri PUPR atas kematian rakyat Papua di Korowai lantaran pencemaran limbah merkuri akibat penambangan emas ilegal.
“Periksa, siapa pemilik dari lapangan terbang di Korowai yang tiap hari didarati untuk angkut kepingan emas ketimbang bantu orang sakit di sana.”
AMPTPI juga mendesak presiden Jokowi periksa anggota DPD RI perwakilan Papua pemilik perusaan kayu di Papua Barat yang telah merusak habitat hutan.
“Semua harus periksa supaya terang benderang siapa yang kerja atas nama negara untuk amankan investasi agar dapat diketahui oleh rakyat Papua dan Indonesia. Sebab negara terus menutupi kepentingan elit-elit dibungkus dengan wacana kesejahteraan. Hal ini dimanipulasi melalui hama demokrasi buserRp. Bukti tiadanya niat baik Indonesia untuk orang Papua,” paparnya.
Ambrosius menegaskan, pemekaran tidak bisa dipakai dengan jargon kesejahteraan.
“Mesti pahami substansi pasal demi pasal supaya orang Papua tidak dijadikan obyek atas kepentingan Jakarta dan elit politik Papua. Karena dalam isi Otsus ada gambaran tentang kerakusan kekuasaan yang hanya akan memperpanjang penderitaan rakyat Papua,” lanjut Mulait.
Dari aspek yuridis, mekanisme pemekaran provinsi Papua telah diatur dalam Pasal 76 Undang-undang nomor 21 tahun 2001 tentang Otsus yang menyatakan bahwa pemekaran provinsi dilakukan atas persetujuan Majelis Rakyat Papua (MRP) dan DPRP dengan memperhatikan sungguh-sungguh kesatuan sosial budaya, kesiapan sumber daya manusia dan kemampuan ekonomi dan perkembangan di masa mendatang.
Setelah UU Otsus direvisi, Pasal 76 ayat (2) berbunyi “Pemekaran dilakukan oleh pemerintah dan DPR tanpa melalui daerah persiapan, memperhatikan aspek politik, administratif, hukum, kesatuan sosial, budaya, kesiapan sumber daya manusia, infrastruktur dasar, kemampuan ekonomi, pengembangan di masa yang akan datang dan atau aspirasi masyarakat Papua”.
Sedangkan aspek sosiologis, pembentukan provinsi Papua Barat Daya (Domberai) diklaim ada surat keputusan Gubernur Papua Barat nomor 125/72/3/2020 tentang persetujuan pembentukan provinsi Papua Barat Daya sebagai pemekaran provinsi dari Papua Barat pada 12 Maret 2020.
Provinsi Papua Selatan (Ha Anim), 4 bupati (Merauke, Asmat, Mappi, Boven Digoel) resmi mendeklarasikan pembentukan provinsi Papua Selatan pada 15 Maret 2021 di Merauke.
Provinsi Papua Tengah (Meepago) deklarasi pada 4 Februari 2021 di Timika yang meliputi kabupaten Mimika, Nabire, Paniai, Dogiyai, Deiyai, Intan Jaya, dan Puncak.
Provinsi Pegunungan Tengah (Lapago), ketua Asosiasi Bupati Pegunungan Tengah Papua, Befa Yigibalom meminta presiden Joko Widodo untuk memberikan izin pemekaran wilayah Pegunungan Tengah Papua di Wamena pada 28 Oktober 2019.
“Terlihat jelas dari aspek yuridis dan sosiologis, tuntutan pemekaran itu justru karena kepentingan elit dan kekuasaan yang hanya mengatasnamakan rakyat. Sungguh mengganggu akal sehat ketika mendengarkan wacana pemerintah pusat untuk pemekaran. Rakyat Papua terus bertanya, pemekaran provinsi baru itu aspirasi siapa? Dari pesisir pantai hingga pegunungan sulit didapati aspirasi pemekaran. Tidak pernah ada aspirasi pemekaran,” tegas Ambrosius.
Penolakan pemekaran DOB di Tanah Papua kembali disuarakan Solidaritas Mahasiswa dan Rakyat Papua di Waena, Kota Jayapura, Selasa (8/3/2022). Aksi demonstrasi damai direpresif hingga dibubarkan paksa oleh aparat kepolisian dari Polda Papua dan Polresta Jayapura.
Massa aksi awalnya berkumpul di setiap titik kumpul. Mulai dari Waena dan Abepura.
Belum bergerak, massa aksi lebih dulu dibubarkan oleh aparat menggunakan semprotan water canon, bahkan tembakan peringatan. Seperti terjadi di asrama Nayak I, Abepura.
Massa aksi di gerbang kampus Uncen Waena juga dibubarkan aparat keamanan.
Sebelumnya, Agus Sumule, dosen Universitas Papua, menegaskan, tidak ada dasar ilmiah yang menunjukkan pemekaran perlu di Tanah Papua.
Agus menilai elit Papua yang memperjuangkan pemekaran sedang mengajak masyarakat Papua masuk dalam lorong kegelapan.
“Masyarakat dibuat tidak tahu bagaimana dampaknya. Kebijakan pemekaran ialah untuk non Papua, yaitu mendatangkan transmigrasi skala besar di seluruh Tanah Papua. Akan terjadi kesenjangan dan ketimpangan,” tandasnya.
Pewarta: Agus Pabika
Editor: Markus You