ENAGOTADI, SUARAPAPUA.com — Membangun rumah adat suku Mee atau Yameewaa pada zaman modern merupakan satu keharusan untuk memproteksi pelbagai pengaruh buruk akibat gencarnya arus budaya luar yang berdampak pada kehancuran nilai-nilai kearifan budaya suku Mee.
Menase Pigai telah memulainya sejak beberapa waktu lalu, dianggap sebagai satu cara terbaik untuk mempertahankan jati diri atau identitas suku Mee. Sebuah rumah adat khusus laki-laki dia bangun di kampungnya, Mogeya, distrik Paniai Barat, kabupaten Paniai.
Pdt. Dominggus Y. Pigay, S.Ip, M.Mis, M.Th, direktur Pasca Sarjana Theologi STT Walter Post Jayapura yang juga dan sekretaris umum Sinode Gereja Kemah Injil (Kingmi) Tanah Papua, mengakui perjuangan Menase Pigai dalam mempertahankan identitas suku Mee di tengah perubahan modern dewasa ini.
Menurut Dominggus, Menase Pigai salah satu tokoh intelektual muda yang cukup prihatin dengan hal itu. Buktinya, selain bangun rumah adat di kampung Mogeya, ia juga mencintai budaya luhur yakni mengenakan busana tradisional di beberapa kesempatan penting.
“Menase Pigai berjuang keras untuk mempertahankan jati diri suku Mee dengan beberapa cara yang memang patut diapresiasi,” ujarnya.
Perjuangan panjang dengan segala suka dan dukanya berusaha dikisahkan dalam buku biografi Menase Pigai berjudul “Meraih Kehidupan Baru” terbitan Tollelegi, Desember 2021.
Dominggus Pigai memberi kata pengantar di buku ini.
“Menase Pigai berjuang mempertahankan nilai-nilai kearifan budaya lokal yang diturunkan secara turun temurun. Menase Pigai sebagai generasi muda dengan kapasitas intelektual berjuang meneruskan tradisi Yame Owaa/Ema Owaa untuk mempertahankan eksistensi budaya suku Mee sebagai jati dirinya,” tulis Dominggus dalam kata pengantar di halaman xxiv.
Dalam testimoninya Menase Pigai menyatakan Yameewaa/Emaawaa adalah cara dia mempertahankan identitas suku Mee di tengah perkembangan modern.
Tidak dapat dipungkiri bahwa orang Mee seperti halnya suku-suku lain menghadapi kegoncangan sosial yang sangat terasa dalam berbagai aspek kehidupan. Menurut Dominggus, kekuatan globalisasi, pembangunan, percampuran budaya, kehadiran agama-agama modern dan kaum pendatang, cenderung menghapus kearifan budaya lokal di Meeuwodide.
“Dalam pembangunan martabat manusia, upaya melestarikan budaya lokal yang diperjuangkan Menase Pigai berpangkal dari tujuan untuk menatap masa depan yang berpijak dari nilai-nilai luhur suku bangsa Mee sebagai suatu peradaban sejarah orang Mee yang panjang,” lanjut Dominggus menulisnya.
Menase Pigai bersepaham dalam mengembalikan orang Mee dari segi antropologis adalah suatu jembatan untuk memulihkan diri dari masyarakat Mee menuju hakikat manusia Mee yang sejati.
“Dengan melihat realitas historis antropologis suku Mee yang memiliki hukum-hukum lisan yang diturunkan secara turun temurun dapat menjadi pijakan kesadaran baru dalam membangun supremasi budaya,” urai Dominggus.
Menase Pigai, buah hati pasangan Yusak Pigai dan Paulina Tekege, lahir di Uwamani, 28 Maret 1977.
Sejak kecil Menase kehilangan ayahnya, sang guru, yang hingga kini tidak pernah diketahui rimbanya. Hanya mama seorang diri, terpaksa merangkap sebagai bapak bagi anak-anaknya.
Mengejar impian masa depan meski tanpa ayah di saat baru berusia enam tahun, terus menerus berkecamuk dalam dirinya. Masa-masa pertumbuhan harus dilalui dibawah asuhan mama seorang diri.
Menase Pigai menyelesaikan pendidikan dasar bahkan hingga kuliah, dengan bersandarkan pada kerja keras ibundanya dan tentu atas kemurahan Tuhan.
Dalam kesederhanaan dan serba kekurangan, pendidikan urutan pertama bagi Menase Pigai. Terbukti kemudian, tidak berhenti sampai titel Sarjana Ilmu Pemerintahan (S.IP), Menase Pigai bahkan tahun 2021 terhasil tuntaskan program pasca sarjana pada Magister Kebijakan Publik (MKP) di Universitas Cenderawasih (Uncen) Jayapura.
Pdt. Benny Pito Pigai membingkai beragam kisah pilu Man Pigai —sapaan akrab Menase Pigai— sejak masa kecil juga dinamika lain selama beberapa tahun dalam tulisan biografi yang cukup baik dicermati pembaca.
Buku biografi “Meraih Kehidupan Baru” itu sendiri diluncurkan ke publik pada saat peresmian Yameewaa di kampung Mogeya, Jumat (8/4/2022) lalu.
Dalam diri Menase Pigai di mata Dominggus, punya semangat kerja tinggi yang dibuktikan selama berkecimpung di dalam berbagai organisasi, baik organisasi kepemudaan (KNPI) maupun Gereja.
“Mengandalkan Tuhan, kunci utamanya. Meskipun menghadapi penderitaan dan pergolakan batin bersama ibunya Paulina Tekege, Menase Pigai terus memperjuangkan visi hidupnya sepeninggal ayahnya Yusak Pigai, sang pejuang keadilan dan perdamaian di Tanah Papua pada tahun 1982,” tulis Dominggus.
Tidak pasrah dengan kehidupan yang penuh misteri dan berbagai rintangan, Man Pigai menurut Dominggus memiliki daya juang yang tinggi. Perjuangannya kini mempertahankan jati diri suku Mee, adalah bagian dari pergumulan panjang demi memuliakan Tuhan sekaligus mau memberi contoh bagi sesama lain untuk bangkit memproteksi arus budaya dunia luar.
Banyak pihak kemudian kagum dengan perjuangan Menase Pigai. Selain dari akademisi, tokoh pemuda, dan hamba Tuhan, tokoh masyarakat adat pun turut simpati terhadap motivasi positif yang ditebarkan Man Pigai demi eksistensi manusia dan nilai-nilai kemanusiaan di atas negerinya sendiri.
Seperti dituturkan Piet Utii, tokoh adat di distrik Paniai Barat.
Piet mengaku ia bersama masyarakat Paniai Barat sangat senang melihat semangat dari Menase Pigai yang tiada henti memotivasi warga kampung hingga akhirnya diwujudkan dengan membangun Yameewaa demi mempertahankan jati diri di tengah gencarnya budaya modern.
Bukan saja saat kegiatan keagamaan, kata Piet, Man Pigai selalu menyemangati masyarakat termasuk kaum muda dalam kehidupan sehari-hari.
Man Pigai diakuinya sosok motivator bagi masyarakat dan kaum muda untuk hidup seturut Firman Tuhan yang terejawantahkan dalam nilai-nilai kebenaraan budaya suku Mee sejak turun temurun.
Pewarta: Markus You