JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Petisi Rakyat Papua (PRP) sebagai penanggung jawab aksi serentak dengan agenda utama menolak Otsus jilid dua, mencabut rencana pembentukan DOB dan gelar referendum di West Papua, membacakan pernyataan sikapnya pada hari ini, Kamis (14/7/2022).
Pernyataan sikap dengan isi yang sama dibacakan di semua tempat diadakan aksi serentak pada hari ini.
Jefry Wenda, juru bicara nasional PRP, sebelum akhiri aksi massa di halaman kantor DPRP, Kamis (14/7/2022) sore, membacakan langsung sejumlah poin pernyataan sikap kepada pemerintah Republik Indonesia.
Berikut ini isi pernyataan sikap PRP dalam aksi serentak hari ini.
Pernyataan Sikap
Pada 30 Juni 2022, pengesahan tiga Rancangan Undang-Undang (RUU) daerah otonomi baru (DOB) provinsi Papua telah disahkan melalui Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI di Jakarta.
Proses pembahasan dan pengesahan RUU tentang DOB tersebut tanpa melibatkan rakyat Papua, juga Majelis Rakyat Papua (MRP) dan dilakukan secara sepihak oleh pembuat Undang-undang. Tiga provinsi yang akan dimekarkan adalah Provinsi Papua Tengah ibukotanya di Nabire, Provinsi Papua Selatan ibukotanya di Merauke, dan Provinsi Papua Pegunungan dengan ibukotanya di Jayawiyaja.
Pembahasan itu atas dasar pasal 76 Undang-Undang nomor 21 tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi provinsi Papua. Lantas, rakyat Papua meresponsnya dengan aksi demonstrasi dalam rangka penolakan rencana pemekaran provinsi baru (DOB): Di Jayapura, Jakarta, Wamena, Paniai, Yahukimo. Tidak menutupi kemungkinan akan ada aksi-aksi penolakan yang berlanjut di Papua, Indonesia dan di Internasional.
Rakyat Papua menyadari bahwa pemekaran tiga provinsi baur di provinsi Papua sudah direncanakan sebelum jauh berdasarkan Undang-Undang nomor 21 tahun 2001 (yang kini sudah diubah menjadi pasal 76 Undang-Undang nomor 2 tahun 2021). Bahwa produk Undang-Undang tersebut merupakan bagian dari produk penjajahan bagi orang Papua. Oleh karena itu, mengapa pembahasan RUU tentang DOB dan Otsus sebelumnya disepakati secara sepihak. Manfaatnya untuk mempertahankan kekuasaan penjajahan Indonesia di West Papua.
Lantas, rakyat Papua dengan sadar menolak Otsus. Sebab, Pertama, Otsus diberikan oleh Jakarta untuk meredam gerakan rakyat Papua menuntut kemerdekaan bagi bangsa West Papua saat itu.
Kedua, berdasarkan Undang-Undang Otsus, Jakarta mempermudah proses pemekaran provinsi Papua Barat, serta perluas kota/kabupaten, distrik, dan seterusnya. Akibatnya, banyak terjadi polarisasi. Akibat dari praktek pemekaran provinsi, kabupaten, hingga desa yang sangat tak berdasar, dinamika demokrasi dalam kehidupan masyarakat Papua sudah sangat jauh bergeser ke politik identitas berdasarkan warna kulit, gunung pantai, suku, marga, hingga kelompok berdasarkan kepentingan. Maka dengan adanya tiga daerah pemekaraan (DOB), justru persaingan akan masif dari kondisi sebelumnya. Lantas, nasib orang Papua yang jumlah populasinya sangat sedikit dari warga non Papua di Tanah Papua akan dihadapkan dengan konflik justru mengalami perpecahan.
Ketiga, di sisi lain, realita keberadaan orang Papua sangat jauh dari kata sejahtera. Kondisi rakyat Papua di sektor kesehatan dan gizi buruk terus meningkat; lalu buta huruf dan buta aksara paling tinggi di wilayah penghasil emas dan Migas paling banyak di Indonesia itu. Kemudian kemiskinan juga paling tinggi. Ironisnya, kabupaten Mimika merupakan contoh salah satu kota termiskin di Papua. Padahal PT Freeport berada di kabupaten Mimika. Dan masih banyak lagi persoalan-persoalan di berbagai sektor.
Empat, realita keberadaan sosial masyarakat di provinsi Papua dan Papua Barat, marginalisasi merupakan salah satu bentuk penjajahan di West Papua. Dari jumlah orang Papua yang sedikit menemukan problem ketersediaan tenaga produktif manusia Papua yang mengisi di semua lini kehidupan suatu daerah pemekaran. Kondisi penjajahan ini berakibat pada lambatnya perkembangan sumber daya manusia Papua. Dan justru perpecahan yang sangat masif akibat politik pecah belah antara orang Papua berdasarkan provinsi, kabupaten, distrik, sampai dengan desa.
Lima, kemudian juga pemekaran akan membuka penambahan markas militer (TNI/Polri) di Tanah Papua. Sebab pemerintah Indonesia masih menggunakan pendekatan militeristik terhadap Papua sampai saat ini. Sepanjang tahun 1962-2004, paling sedikit 500 ribu jiwa rakyat Papua yang meninggal dalam 15 kali rentetan operasi militer dalam skala besar. Kemudian dalam 4 tahun terakhir operasi militer terjadi di beberapa daerah. Selama 2019-2020 operasi militer pecah di Nduga. Selanjutnya di Puncak Jaya, Intan Jaya, Yahukimo, Kiriwok, dan di Aifat, Sorong. Operasi militer tersebut berdampak banyak kerugian dan kehilangan bagi warga sipil: Pengungsian, teror, pelanggaran HAM, kehilangan rumah dan harta benda. Kondisi ini mengakibatkan sulit mendapatkan akses pendidikan dan kesehatan, bahkan akses jurnalis. Sementara keamanan dan kenyamanan orang Papua sangat diragukan di kota-kota besar lainnya. Papua merupakan pulau angka kematiannya paling tinggi. Salah satu penyebabnya adalah mati karena dibunuh oleh orang tak dikenal. Kematian dalam jumlah yang banyak juga diakibatkan karena selain gizi buruk dan rentetan musim kelaparan, adalah operasi militer.
Enam, pemekaran DOB hanya akan untungkan bagi pemodal. Sebab pemekaran berpotensi untuk menyiapkan syarat-syarat aset modal di Papua. Misalnya, pembangunan jalan, infrastruktur kota serta aset vital lainnya seperti pembangunan pelabuhan, bandara, jalan trans, membuka dusun-dusun yang dianggap daerah terisolasi. Syarat-syarat ini sangat dibutuhkan guna mendukung percepatannya proses angkut barang mentah di Papua untuk memajukan proses produksi barang jadi di Eropa, dan negara-negara kapitalis lainnya. Sebab akses modal menjadi semangat pencaplokan Papua ke dalam NKRI secara paksa. Peristiwa pemaksaan ini menjadi akar masalah sejarah masa lalu bagi bangsa West Papua. Akar masalah ini yang mesti diselesaikan. Perpanjang Otsus dan membuka daerah pemekaran baru tidak akan pernah menyelesaikan seluruh persoalan bangsa West Papua.
Tujuh, energi perlawanan rakyat Papua tidak akan terhenti hanya karena telah disepakati tiga RUU tentang DOB dan telah memperpanjang Otsus jilid 2. Sebab nafas perjuangan rakyat Papua ada di realitas penindasan. Sepanjang praktek -praktek penjajahan Indonesia masih ada di West Papua, sepanjang itu pula rakyat Papua akan memberontak, berjuang hingga titik darah penghabisan. Sebab penjajahan telah menjadi guru bagi rakyat Papua menyadari, memahami, dan mengerti arti tentang berjuang untuk kebebasan yang seutuhnya.
Oleh karena itu, kami yang tergabung dalam Petisi Rakyat Papua menyatakan sikap:
- Cabut Undang-Undang Otonomi Khusus Jilid II.
- Segera hentikan upaya pemekaran provinsi baru di wilayah West Papua.
- Elit Papua stop mengatasnamakan rakyat Papua untuk kepentingan kekuasaan.
- Buka akses jurnalis seluas-luasnya di West Papua.
- Tarik militer organik dan non-organik dari West Papua.
- Stop Killing Papuans People.
- Hentikan segala bentuk diskriminasi dan intimidasi terhadap kawan Nyamuk Karunggu dan mahasiswa Papua di seluruh Indonesia.
- Stop perampasan tanah adat serta stop kriminalisasi masyarakat adat di West Papua.
- Indonesia stop ekosida dan genosida di West Papua.
- Tutup bandara Antariksa di Biak West Papua.
- Bebaskan tahanan politik West Papua tanpa syarat.
- Tolak pengembangan Blok Wabu dan tutup semua perusahaan nasional juga multinasional di seluruh wilayah West Papua.
- Usut tuntas pelaku penembakan dua anak di Intan Jaya.
- Tangkap, adili, dan penjarakan jenderal-jenderal pelanggar HAM.
- Hentikan rasisme dan tangkap pelaku politik rasial.
- Hentikan operasi militer di Nduga, Intan Jaya, Puncak Jaya, Pegunungan Bintang, Maybrat, dan seluruh wilayah West Papua lainnya.
- PBB harus bertanggung jawab serta terlibat aktif secara adil dan demokratis dalam proses menentukan nasib sendiri, pelurusan sejarah, dan penyelesaian pelanggaran HAM yang terjadi terhadap bangsa West Papua.
- Mendesak pemerintah RI untuk memberikan akses seluas-luasnya kepada Komisi HAM PBB untuk meninjau situasi HAM di West Papua secara langsung.
- Jaminan kebebasan informasi, berekspresi, berorganisasi dan berpendapat bagi bangsa West Papua.
- Berikan hak menentukan nasib sendiri sebagai solusi demokratis bagi bangsa West Papua.
- Kami mendukung perjuangan rakyat Wadas dan Jomboran melawan tambang yang merugikan.
- Kami mendukung perjuangan rakyat Indonesia menolak Omnibus Law dan sahkan RUU PKS tanpa dipreteli.
Demikian pernyataan sikap ini. Kami menyerukan kepada seluruh rakyat West Papua untuk bersatu dan berjuang merebut cita-cita pembebasan sejati rakyat West Papua.
Atas perhatian dan dukungan seluruh rakyat Indonesia dan West Papua, kami ucapkan terima kasih.
Salam Pembebasan Nasional West Papua!
Port Numbay, 14 Juli 2022
Petisi Rakyat Papua (PRP)
a.n. 122 Organisasi dan 718.179 Suara Rakyat Papua Tolak Otonomi Khusus Jilid II
Jefry Wenda