BeritaAktivis HAM Soroti Negara Lindungi Pelaku Tragedi Paniai Berdarah

Aktivis HAM Soroti Negara Lindungi Pelaku Tragedi Paniai Berdarah

NABIRE, SUARAPAPUA.com — Proses pengungkapan kasus dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat kasus Paniai Berdarah 8 Desember 2014 dianggap gagal menjangkau para petinggi militer yang diduga memberikan komando penembakan terhadap warga masyarakat hingga memakan banyak korban: lima orang meninggal dunia dan 11 orang luka-luka.

Yones Douw, aktivis HAM Papua yang juga pendamping keluarga korban tragedi Paniai Berdarah, menyatakan, penetapan satu tersangka saja menunjukkan itikad negara melindungi para pelaku pelanggar HAM.

Penetapan satu tersangka oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia itu bertolakbelakang dengan penuturan saksi yang mengungkapkan adanya keterlibatan petinggi militer dalam tragedi berdarah di lapangan Karel Gobai Enagotadi.

Dari pengakuan saksi, penembakan dilakukan setelah ada perintah tembak.

“Saksi mengungkapkan bahwa di depan masyarakat, pejabat militer yang bertugas saat itu memberi perintah tembak karena menduga bahwa kelompok masyarakat yang long march itu ada penyusupan pihak ketiga. Sudah ada komando dari atasan, tersangkanya cuma satu orang saja. Itu tidak logis. Pelaku yang lain mau disembunyikan? Negara harus jujur dan terbuka ungkap kasus Paniai Berdarah,” ujar Yones kepada suarapapua.com di Nabire, Jumat (26/8/2022).

Baca Juga:  Akhir Pekan Bersama “Perempuan Penyembah Malaikat”

Yones Douw menyatakan, IS, seorang purnawirawan yang ditetapkan sebagai tersangka tunggal perkara dugaan pelanggaran HAM berat Paniai Berdarah justru tidak dikenali oleh berbagai pihak yang melakukan investigasi kasus tersebut di kabupaten Paniai.

“Tersangka IS ditetapkan sebagai terdakwa dalam kasus Paniai itu titipan dari siapa? Karena kami tidak temukan namanya dalam kasus Paniai Berdarah. Penetapan tersangka itu tidak sesuai fakta lapangan,” bebernya.

IS merupakan pensiunan anggota TNI. Saat kejadian, IS menjabat sebagai perwira penghubung Kodim Paniai.

Yones menilai sejak awal proses hukum kasus Paniai Berdarah menunjukkan ketidakadilan, ketidakbenaran, dan ketidakjujuran aparat penegak hukum. Karena itulah, keluarga korban, korban, maupun saksi tragedi Paniai Berdarah menolak menghadiri persidangan di Pengadilan HAM Makassar.

Baca Juga:  Pemuda Katolik Papua Tengah Mendukung Aspirasi Umat Keuskupan Jayapura

“Penetapan hanya satu orang tersangka itu tidak sesuai fakta lapangan. Keluarga korban kesal sekali,” ujarnya lagi.

Karena itu, persidangan kasus Paniai Berdarah dituding sebagai sandiwara dan pencitraan semata yang justru tidak akan memberikan rasa keadilan bagi para korban dan keluarga korban.

“Kami sebagai keluarga korban menilai bahwa proses persidangan kasus Paniai murni untuk mencari nama baik di mata dunia Internasional, karena tidak sesuai fakta lapangan,” kata Yones.

Sementara itu, Laurenzus Kadepa, Anggota Komisi I DPRP, menyatakan, sikap korban dan keluarga korban kasus Paniai Berdarah tak akan menghadiri persidangan mesti dipahami sebagai bentuk kekecewaan terhadap negara yang selain terlalu lama waktunya, juga karena hanya satu saja tersangka dalam kasus Paniai Berdarah tersebut.

Dalam pernyataan pers yang diterima suarapapua.com, Kadepa minta agar sikap mereka untuk tidak menghadiri persidangan yang diagendakan akan digelar pada bulan ini jangan dihiraukan.

“Bagaimanapun suara korban dan keluarga korban mesti didengar oleh negara dalam hal ini Kejaksaan Agung Republik Indonesia,” ujar Kadepa.

Baca Juga:  Akomodir Aspirasi OAP Melalui John NR Gobai, Jokowi Revisi PP 96/2021

Laporan Amnesty Internasional Indonesia berjudul “Suda, Kasih Tinggal Dia Mati – Pembunuhan dan Impunitas di Papua” yang dipublikasikan 2018 menyatakan peristiwa tragedi Paniai Berdarah terjadi ketika ratusan warga berunjukrasa di dekat markas polisi dan tentara setempat, untuk merespons tindakan personil militer memukul 11 anak Papua sehari sebelumnya, 7 Desember 2014, di kampung Ipakiye, jaraknya sekira satu kilo dari kantor DPRD Paniai.

Keesokan harinya, ratusan orang berunjuk rasa disertai pelemparan batu dan kayu ke arah kantor Polsek dan Koramil. Pasukan keamanan langsung sambut dengan melepaskan tembakan peluru ke arah kerumunan massa. Empat orang tewas seketika. 11 lainnya luka-luka.

Kepada tim Komnas HAM RI, sejumlah warga mengaku melihat polisi menembak seorang demonstran dari jarak dekat, bahkan setelah korban jatuh ke tanah.

Pewarta: Markus You

 

Terkini

Populer Minggu Ini:

ULMWP Mengutuk Tindakan TNI Tak Berperikemanusiaan di Puncak Papua

0
“Mengutuk keras tindakan militer Indonesia terhadap warga sipil seperti ini di West Papua. Tindakan macam ini telah melanggar nilai kemanusiaan. Hukum manapun tidak membenarkan tindakan penyiksaan keji seperti terlihat dalam dua cuplikan video yang sedang viral,” ujar Menase Tabuni, presiden eksekutif ULMWP.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.