BeritaSaksi TNI Bilang Tidak Aniaya Anak-anak di Tragedi Paniai Berdarah

Saksi TNI Bilang Tidak Aniaya Anak-anak di Tragedi Paniai Berdarah

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com —- Kesaksian aneh kembali menghiasi jalannya sidang perkara pelanggaran HAM Berat Paniai 2014 di Pengadilan Negeri Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (12/10/2022) siang. Keanehan diperlihatkan oleh saksi dari TNI yakni Mayor Infanteri Prasenta Emanuel.

Saksi menyampaikan keterangan yang sama sekali bertolak belakang dengan laporan hasil investigasi Komnas HAM RI dan juga termuat dalam keterangan kronologi singkat yang dibuat oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam Surat Dakwaan kasus pelanggaran HAM Berat Paniai 2014 Nomor PDS-01/PEL.HAM.BERAT/PANIAI/05/2022.

Dalam sidang yang dipimpin Hakim Ketua Sutisna Sawati, dan Hakim Anggota Abd. Rahman Karim dan tiga dari Hakim Ad Hoc Robert Pasaribu, Siti Noor Laila dan Sofi R. Dewi, Saksi mengaku bahwa dia bersama rekan-rekannya tidak tahu karena terlibat dalam dugaan kasus penganiayaan terhadap belasan anak di Pondok Natal yang terletak di Gunung Merah Togokotu, Kampung Ipakiye, Distrik Paniai Timur, pada tanggal 7 Desember 2014 malam.

Keterangan tersebut didengar juga Erryl Prima Putera Agoes, Ketua Tim JPU Kasus HAM Berat Paniai, yang juga dihadiri Jaksa Dody W. L. Silalahi, Sudardi, S. Yunior Ayatullah, Melly S. Ginting, N. Rahmat, dan Reinhart Marbun.

Terdakwa tunggal Mayor Inf (Purn) Isak Sattu pun hadir didampingi lima kuasa hukumnya yang diketuai Syahrir Cakkari.

Baca Juga:  Pengurus Baru LMA Malamoi Diminta Merangkul Semua Pihak

Seharusnya sidang ini digelar hari Senin (10/10/2022), tetapi sempat ditunda akibat tujuh saksi yang diundang tim JPU tidak satupun bersedia hadir dengan berbagai alasan sebagaimana disampaikan Jaksa menjawab majelis hakim.

Dalam sidang lanjutan hari ini, saksi yang juga Anggota TNI aktif itu memberikan keterangan berbeda.

Saksi dengan tegas di hadapan majelis hakim membantah dugaan prajurit TNI menganiaya anak-anak di Pondok Natal Togokotu.

Saksi juga menyatakan saat diperiksa terkait dugaan penganiayaan terhadap anak-anak, semua Anggota TNI yang bertugas saat itu mengatakan bahwa tidak sempat keluar dari markas mereka.

“Kami diperiksa dan ditanyai soal itu, apakah ada anggota kami yang lakukan pemukulan atau tidak. Dan kami katakan tidak keluar untuk melakukan pemukulan,” jawabnya.

Kesaksian tersebut berbeda dengan pengakuan saksi lain yang sudah diperiksa di sidang-sidang sebelumnya sehubungan dengan kejadian penganiayaan terhadap sejumlah anak di Pondok Natal pada tanggal 7 Desember 2014 malam. Saksi sebelumnya mengatakan bahwa pada malam itu ada beberapa Anggota TNI yang diduga melakukan penganiayaan.

Tindakan penganiayaan tersebut mengundang emosi keluarga bersama masyarakat hingga pada pagi hari jalan raya Enarotali-Madi dipalang dan lanjut pawai ke lapangan Karel Gobay untuk meminta pertanggungjawaban dari oknum pelaku.

Kehadiran warga ketika itu disertai “waita” langsung disambut dengan rentetan tembakan hingga memakan korban. Empat pelajar tewas di tempat dan puluhan orang luka-luka.

Baca Juga:  Akhir Pekan Bersama “Perempuan Penyembah Malaikat”

Penembakan membabi-buta inilah yang kemudian dikenal dengan nama “Tragedi Paniai Berdarah”. Pemicu awalnya adalah kasus penganiayaan oleh oknum TNI kepada anak-anak yang sedang ada di Pondok Natal Togokotu.

Hasil investigasi Komnas HAM menyebutkan adanya fakta yang sama bahwa kejadian tanggal 7 Desember 2014 adalah awal pemicu warga masyarakat Paniai berunjukrasa ke lapangan Karel Gobay Enarotali, 8 Desember 2014. Lapangan sepak bola yang jadi tempat pertumpahan darah itu berada tepat di depan Markas Koramil 1705/Enarotali, bersebelahan dengan Kantor Distrik dan Polsek Paniai Timur.

Meskipun telah diketahui seperti demikian, Saksi Emanuel menyatakan bahwa pada malam itu tidak ada dari pihaknya yang melakukan patroli di sekitar Gunung Merah Ipakiye.

Pengakuan tersebut tidak dapat diterima hingga Hakim harus angkat bicara. Hakim ragukan kesaksiannya karena sangat jauh dari laporan berbagai pihak termasuk keterangan yang disampaikan beberapa saksi dalam sidang sebelumnya.

“Saudara Saksi kan sebagai komandan (saat itu, Komandan Kompi) itu, tadi saudara saksi juga mengatakan peristiwa tanggal 7 tidak tahu. Padahal saudara saksi itu melakukan patroli yang basisnya diacak, artinya ada kan pertimbangan-pertimbangan tertentu, ya kan. Apakah saudara merasa tidak penting soal peristiwa tanggal 7 yang diduga mengarah ke Anggota TNI melakukan penganiayaan di gunung merah terhadap kurang lebih 11 anak yang semuanya dibawah umur itu, paling tua datanya 15 tahun,” tanya Hakim.

Baca Juga:  Media Sangat Penting, Beginilah Tembakan Pertama Asosiasi Wartawan Papua

Menanggapi Majelis Hakim, Emanuel lagi-lagi menyatakan tidak tahu dengan kejadian penganiayaan tersebut.

“Mohon ijin menjawab, jadi jawaban kami pada tanggal 7 itu kami tidak tahu kejadian itu. Jadi makanya kami tidak melaksanakan patroli ke situ (Tanah Merah),” kata Saksi.

Majelis Hakim tidak puas mendapat jawaban seperti itu. Bahkan lanjut tegaskan tentang pentingnya peran komandan dalam mengontrol kontrol anggota-anggotanya.

Saksi diingatkan bahwa harapan semua pihak kepada pasukan elit TNI yang ditugaskan di daerah tertentu harus mampu melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya. Termasuk mengontrol bawahan, dan setiap prajurit taat aturan dengan tidak bertindak leluasa yang menyebabkan berubah situasi hingga menelan korban.

“Apalagi saudara saksi sebagai komandannya, ini menjadi penting karena dalam konteks pertanggungjawaban terkait pelanggaran HAM, maka posisi komandan menjadi penting dalam melakukan kontrol terhadap anggotanya, ya,” tegas Hakim.

Selain Mayor Inf. Prasenta Emanuel, rencana dihadirkan dua saksi lain dalam sidang lanjutan ini. Kedua saksi tersebut sama-sama Anggota TNI yakni Letnan Dua Gatot Wahyu Sugeng Riyanto dan Sersan Mayor Sugiantoro.

REDAKSI

Terkini

Populer Minggu Ini:

Kapendam Cenderawasih: Potongan Video Masih Ditelusuri

0
"Apabila benar itu pelakunya prajurit TNI, maka prajurit tersebut akan ditindak tegas dan diproses secara hukum untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, karena TNI seperti lembaga atau institusi lainnya yang juga menjunjung tinggi Hukum dan HAM," tegasnya.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.