JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Setelah proses panjang selama 8 tahun, sidang pengadilan HAM Paniai tahun 2014 digelar mulai 21 September 2022 di Pengadilan Negeri (PN) Makassar, Sulawesi Utara, dengan terdakwa tunggal yakni Mayor Inf (Purn) Isak Sattu. Terdakwa dituntut penjara 10 tahun, hukuman paling minimal yang dibacakan pada sidang 14 November 2022.
Proses persidangan turut dikawal Koalisi Masyarakat Sipil Pemantau Paniai 2014. Banyak hal dicatat sejak sidang perdana hingga sidang pembacaan tuntutan dakwaan pada Senin (14/11/2022).
Mayor Inf (Purn) Isak Sattu, saat kejadian menjabat sebagai Perwira Penghubung (Pabung) Kodim di Paniai.
Surat dakwaan disusun secara kumulatif yakni Dakwaan Kesatu: Pasal 42 ayat (1) huruf a dan huruf b Jis Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf a, Pasal 37 Undang-undang nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM), serta Dakwaan Kedua: Pasal 42 ayat (1) huruf a dan huruf b Jis Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf h, Pasal 40 Undang-undang nomor 26 tahun 2000.
Ancaman pidana maksimal adalah hukuman mati dan pidana minimal 10 tahun.
Rangkaian sidang dipimpin Majelis Hakim terdiri dari Sutisna Sawati (ketua) dengan anggota Abdul Rahman Yusuf Karim, Siti Noor Laila, Sofi Rahma Dewi, dan Robert Pasaribu.
Pada saat persidangan, JPU mengagendakan pemeriksaan 52 saksi dan ahli. Saksi yang diperiksa sebanyak 29 orang, terdiri dari Polisi (10 orang), TNI (11 orang), 1 saksi masyarakat, 1 saksi Dewan Adat Paniai, dan 6 saksi ahli. Empat saksi korban yang diagendakan memberikan kesaksian, tidak hadir, tetapi berita acara pemeriksaan (BAP) dari tiga diantaranya yakni Naftali Gobay, Yeremias Kayame, dan Marselina Gobay, dibacakan.
Adapun terdakwa tidak menghadirkan saksi meringankan.
Saksi-saksi yang disebutkan dengan jelas dalam Surat Dakwaan JPU sebanyak 13 orang, dimana 5 diantaranya merupakan saksi korban. Ada 14 saksi diluar Surat Dakwaan. Selain itu, Surat Dakwaan juga menyebut institusi tanpa menyebut secara individu, yakni TNI Rider/Timsus 753/Yon/AVT/Nabire sekitar 7-8 orang, dan anggota Yonif 753/AVT yang datang berikutnya menggunakan kendaraan roda empat Toyota Hilux, tidak disebut berapa jumlah mereka. Saat kejadian mereka dipimpin Kapten (Pas) Hengky Hermawan.
Dalam rangkaian persidangan, JPU menghadirkan 6 ahli. Masing-masing dr. Agus (dokter RSUD Paniai), Dr. Wahyu Wibowo (dosen Hukum Universitas Ahmad Yani Cimahi Bandung, spesifikasi Hukum Militer), Dr. Dwi Ajeng Wulan Kristianti (dosen Universitas Padjajaran, ahli bidang Hukum Internasional), Imam Tri Handono (Dosen), Kombes Maruli Simanjuntak (Pusat Laboratorium Forensik Mabes Polri), dan Dr. K Sulaiman(Ahli Forensik).
Pokok Pendapat Ahli
Pertama, hanya dilakukan visum luar terhadap 4 korban yakni 1 dilakukan di rumah sakit (8 Desember 2014) dan 3 korban meninggal dunia di lapangan Karel Gobay pada saat akan dimakamkan (11 Desember 2014).
Kedua, pada prinsip penggunaan senjata ada batasannya, dalam hukum humaniter, prajurit tidak boleh sembarang menembak. Pabung sebagai komandan de facto mempunyai kewenangan untuk mencegah atau menghentikan tindakan penembakan tergantung eskalasi taktis.
Ketiga, di dalam Undang-undang TNI nomor 34 tahun 2004 Pasal 7, TNI bertugas membantu aparat mengatasi masalah keamanan ketertiban masyarakat, komando seharusnya ada di Kepolisian. TNI seharusnya berkoordinasi dengan polisi dan mengikuti prosedur penggunaan senjata. Prajurit yang berada di wilayah rawan, langsung dilengkapi senjata, seperti di Paniai.
Keempat, Kepolisian melakukan pelanggaran ‘by omission’ karena tidak melaksanakan tugas kewajibannya sebagai aparat keamanan dan juga merupakan culpa (kelalaian) yang berat.
Kelima, tindakan yang dilakukan masyarakat sipil seperti lemparan batu dan panah, tidak bisa disebut ‘combatan’, kecuali kalau melibatkan diri secara langsung dalam ‘hostilities’.
Keenam, unsur ‘perpanjangan tangan negara’ membuat adanya tanggung jawab komando dimana komandan bertanggung jawab secara pidana dan perdata mengenai kejahatan yang dilakukan oleh bawahannya. Pimpinan diatas Pabung harus diminta pertanggungjawaban terkait ‘pelanggaran dalam operasi’. Jika tidak, maka terjadi impunitas. Meskipun institusi yang terlibat pada tanggal 7 dan 8 Desember berbeda, harus ada pertanggungjawab dari masing-masing komando.
Ketujuh, pada peristiwa Paniai 2014, unsur sistematis dapat dibuktikan dengan adanya hubungan subordinasi atasan dan bawahan dari institusi TNI dan polisi, dimana korban tertembak peluru senjata tajam dari Koramil dan Polsek, oleh karenanya komandan de jure dari kedua kesatuan ini harus bertanggungjawab dan memiliki kewajiban menyerahkan anak buahnya yang terlibat untuk tanggal 7 Desember 2014 dan 8 Desember 2014.
Kedelapan, pelanggaran HAM Berat tidak bisa dilakukan perorangan karena dilakukan secara terstruktur dan terorganisir.
Tanggal 14 November 2022, JPU menuntut terdakwa pidana penjara 10 tahun, sebagaimana diatur dalam Pasal 42 ayat (1) huruf a dan b juncto Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf a, serta Pasal 37 Undang-undang nomor 26 tahun 2000. Terdakwa dikatakan tidak mampu mengendalikan pasukan Koramil 1705/Enarotali dalam peristiwa 8 Desember 2014 yang menyebabkan empat orang meninggal dunia dan 10 orang luka-luka. Tuntutan 10 tahun adalah ancaman pidana paling singkat dari ancaman pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 25 tahun.
Pembuktian Unsur Pelanggaran HAM
Pertama, Unsur Sistematis: Adanya kebijakan yang menempatkan Paniai sebagai daerah merah/rawan ditindaklanjuti dengan adanya operasi dan penempatan pasukan dari kesatuan khusus, sehingga pendekatan penanganan masalah keamanan direspons dengan pola serupa/represif/melampaui batas kewajaran. Istilah “sistematis” mencerminkan “suatu pola atau metode tertentu” yang diorganisir secara menyeluruh dan menggunakan pola yang tetap.
Kedua, Unsur Meluas: Ada pola keterkaitan dari rangkaian peristiwa serangan di tanggal 7 Desember 2014 dan 8 Desember 2014 yang menyebabkan terjadinya korban dalam satu lingkup kebijakan yang sama. Peristiwa ini berupa serangan yang ditargetkan kepada masyarakat sipil (penyiksaan dan pembunuhan). “Meluas juga dapat diartikan sebagai tindakan yang sering/berulang-ulang, tindakan dalam skala yang besar, dilaksanakan secara kolektif dan berakibat yang serius”.
Pendapat
Pertama, dalam konstruksi dakwaan kasus Paniai 2014 merupakan kejahatan kemanusiaan melalui ‘serangan yang meluas atau sistematik yang diketahui bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil’. Hukum dan standar internasional yang berlaku untuk kejahatan terhadap kemanusiaan dengan jelas menyatakan bahwa mereka yang memiliki tanggungjawab komando maupun mereka yang secara langsung melakukan kejahatan harus dimintai tanggungjawab pidana. Contoh pada peradilan HAM Timor Leste mengadili 5 orang, kasus Abepura 2 orang, dan Tanjung Priok 12 orang.
Kedua, meski terdakwa Mayor Inf (Purn) Isak Sattu sebagai Pabung yang tidak memiliki pasukan, namun terdakwa merupakan pemilik pangkat tertinggi yang ada di lokasi kejadian, sehingga menjadi pemilik komando efektif dan komando de facto. Seharusnya mampu memberikan perintah penghentian penembakan setelah massa membubarkan diri. Adapun Komandan de jure yakni yang bertanggungjawab untuk menindak bawahannya yang melakukan penembakan.
Ketiga, pertanggungjawaban komando tidaklah terhenti pada orang yang memberikan perintah saja, tetapi juga termasuk pertanggungjawaban atasan yang tidak mencegah atau menghentikan tindakan pelanggaran HAM berat atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sebagaimana Pasal 42 Undang-undang nomor 26 tahun 2000. Karena itu, sudah sepatutnya dakwaan tidak hanya menyasar Mayor Inf (Purn) Isak Sattu sebagai Pabung, tetapi juga dikenakan pada atasan yang dalam hal ini telah diduga tidak mencegah atau menghentikan dan menyerahkan pelaku kepada pihak berwajib.
Keempat, negara belum sepenuhnya bersungguh-sungguh dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM Berat melalui mekanisme yudisial. Pengadilan HAM cenderung digunakan sebagai alat politik, tameng juga upaya pencitraan untuk merespon desakan dari berbagai pihak terkait berbagai permasalahan HAM yang terjadi di Papua. Akibatnya, pemenuhan hak korban untuk mendapatkan keadilan tetap terabaikan dan juga tidak mampu mengakhiri impunitas.
Tragedi Paniai Berdarah berawal kejadian 7 Desember 2014, terjadi pemukulan terhadap sekumpulan anak muda yang sedang berada di Pondok Natal. Pelaku diduga anggota Timsus 753/AVT Nabire.
Keesokan pagi, masyarakat melakukan aksi menuntut agar pelaku bertanggungjawab dengan memalang jalan raya Madi-Enarotali di Gunung Merah Ipakiye. Aksi diteruskan dengan long march hingga ke lapangan Karel Gobay. Setibanya di lapangan Karel Gobay, massa melakukan tarian waita. Sebagian melakukan pelemparan terhadap sejumlah kantor pelayanan publik di sekitar lapangan: Polsek Paniai Timur, Kantor Distrik Paniai Timur dan Kantor Koramil Paniai Timur.
Aparat merespons aksi massa dengan bertindak represif hingga 4 orang meninggal dunia, tiga tewas tertembak peluru ditambah satu tewas akibat luka tusuk (tikam), serta puluhan lainnya mengalami luka-luka.
Rekomendasi
Dalam konferensi pers, Jumat (25/11/2022) Koalisi LSM HAM dan Solidaritas Individu untuk Advokasi Kasus HAM Paniai 2014 menyampaikan empat rekomendasi.
Pertama, pada sidang putusan tanggal 5 Desember 2022, Majelis Hakim diharapkan memberikan putusan maksimal terhadap terdakwa serta menggunakan hukum yang progresif dalam hal memutuskan adanya pihak lain yang seharunya diminta pertanggungjawaban dengan memerintahkan kejaksaan Agung RI untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap pelaku dengan kategori: komando pembuat kebijakan, komando efektif di lapangan, pelaku lapangan, dan pelaku pembiaran. Mempertimbangkan asas “kepastian hukum” dan memperhatikan nilai-nilai keadilan yang terdapat di masyarakat secara khusus memberikan keadilan bagi korban dan mencegah terjadinya impunitas terhadap pelaku lainnya yang belum dimintai pertanggungjawabannya.
Kedua, pemerintah harus memiliki komitmen yang kuat dan konkrit dalam memenuhi hak korban dan mencegah impunitas melalui penyelesaian berbagai kasus dugaan pelanggaran HAM berat di Papua melalui mekanisme yudisial terutama pada kasus Wasior 2001 dan Wamena 2003 yang sudah pada tahap proses penyelidikan di Komnas HAM RI.
Ketiga, berbagai gerakan masyarakat sipil secara kelembagaan dan individu memperkuat advokasi dan bersolidaritas untuk mendesak pemerintahan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di Papua.
Keempat, kepada Majelis Hakim Pemeriksa Perkara nomor 01/Pid.Sus-HAM/2022/PN MKS bahwa Majelis Pemeriksa Perkara juga harus memperhatikan hak dari para korban tentang restitusi, kompensasi dan rehabilitasi sebagaimana amanat Pasal 35 ayat (3) Undang-undang nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dan juga ditegaskan dalam Peraturan Pelaksana nomor 3 tahun 2002 tentang kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi terhadap korban pelanggaran HAM yang berat.
Siaran pers ini dikeluarkan Koalisi LSM HAM dan Solidaritas Individu yang terdiri dari Aliansi Demokrasi untuk Papua (AlDP), Lembaga Studi dan Advokasi HAM (ElsHAM Papua), Perkumpulan Pengacara HAM (PAHAM) Papua, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, Yayasan Anak Dusun Papua (Yadupa), Dr. I Ngurah Suryawan (Universitas Papua/Universitas Indonesia), Bersatu untuk Keadilan (BUK), Perkumpulan Bantuan Hukum Cenderawasih (PBH-C), Jaringan Kerja HAM Perempuan Papua (TIKI), Make West Papua Safe (MWPS), Hamim Mustofa (Akademisi Universitas Muhammadiyah Papua), Unit Kegiatan Mahasiswa Demokrasi, HAM dan Lingkungan (UKM DEHALING) Universitas Cenderawasih. (*)