BeritaLokasi Ibu Kota PBD di KM 18 Seluas 50 Hektar Bermasalah

Lokasi Ibu Kota PBD di KM 18 Seluas 50 Hektar Bermasalah

SORONG, SUARAPAPUA.com — Pemerintah Papua Barat dan Papua Barat Daya bersama para tokoh pemekaran dan tokoh adat suku Moi diminta segera tinjau kembali pelepasan tanah adat seluas 50 hektar yang diklaim telah dihibahkan untuk pembangunan perkantoran provinsi Papua Barat Daya (PBD) di Kilo Meter 18, perbatasan antara kota dan kabupaten Sorong.

Paulus Syufan, ketua Generasi Muda Moi (GMM), mengatakan, pelepasan tanah adat seluas 50 hektar yang diberikan oleh marga Osok Klablim kepada Yosafat Kambu dan tim pemekaran PBD perlu dilakukan peninjauan kembali karena dinilai tak sesuai prosedur adat suku Moi.

Sebab setelah ditelusuri, kata Paulus, tanah adat tersebut hanya ditandatangani oleh salah satu marga tanpa melibatkan marga-marga lain yang juga memiliki hak atas tanah adat tersebut.

Baca Juga:  Masyarakat Sayosa Timur Tolak Tambang Rakyat Berkedok Koperasi

“Lokasi tanah perlu ditinjau kembali berkaitan dengan legalitas hukum dan tata cara pelepasannya sesuai mekanisme adat suku Moi,” ujarnya saat dijumpai suarapapua.com usai pertemuan pembentukan panitia penjemputan Pj Gubernur PBD di gedung Keik Malamoi, Senin (12/12/2022).

Ditegaskan, tanah adat tersebut tak hanya dimiliki marga Osok Klablim, tetapi ada beberapa marga lainnya juga. Karena itu, jika tidak segera dilakukan peninjauan kembali tanah tersebut akan menjadi sengketa antara masyarakat adat suku Moi.

“Konflik antara marga pasti terjadi, sehingga sangat penting semua pihak yang berkaitan harus duduk bersama dan membicarakan hal ini. Tanah adat tersebut telah dibayar Rp30.000.000 (Tiga puluh juta rupiah) bersama kain adat dan piring,” kata Syufan.

Baca Juga:  Dalam Dua Bulan 55 Orang Meninggal Dunia di Nipsan, Perlu Ada Tim Tanggap Darurat

Pemuda asal distrik Kalabra itu menegaskan, GMM mendukung penolakan ibu kota provinsi PBD yang diwacanakan akan ditetapkan di kabupaten Sorong, baik di distrik Sayosa, Klabra maupun distrik Moi Sigin.

“Kami generasi masa depan. Baik dan buruk, kami yang akan merasakan dampaknya. GMM menolak tegas wacana pembangunan ibu kota Papua Barat Daya di kabupaten Sorong,” ujar Syufan .

Senada, Paulus Sapisa, ketua dewan adat suku Moi, mempertanyakan pelepasan tanah adat secara sepihak itu.

Kata Sapisa, tanah seluas 50 hektar tersebut bukan milik satu marga saja.

Sebelum terjadi gesekan di tingkat akar rumput, ia ingatkan kepada para pihak terkait untuk segera tuntaskan legalitas tanah adat sesuai adat suku Moi.

Baca Juga:  Tujuh Poin Pernyataan Sikap Masyarakat Distrik Tangma dan Ukha Pasca Kejadian Beruntun

“Jangan satu dua orang korbankan masyarakat Moi. Tanah itu milik banyak marga. Tolong segera bicarakan soal tanah adat itu,” tegasnya.

Sapisa juga akui, sejauh ini suku besar Moi belum ambil kesepakatan bersama terkait letak ibu kota provinsi PBD.

“Suku Moi belum sepakat mengenai letak ibu kota ini akan ditempatkan dimana. Kita berbicara soal hutan adat, tanah adat dan juga manusia, maka semua pihak harus duduk bersama untuk bicarakan. Ini sangat penting supaya tidak ada suku yang menjadi korban dengan hadirnya provinsi baru itu,” tandasnya.

Pewarta: Reiner Brabar
Editor: Markus You

Terkini

Populer Minggu Ini:

Ketua DPRK Tolikara Mengimbau Masyarakat Tetap Kerja Kebun

0
“Kita harus kembali ke kebun karena hasil usaha kami berkebun itu yang kami bisa menikmati. Makanan yang dijual di toko banyak zat kimia dan berdampak kolesterol dan asam urat, maka saya mengajak kita harus berkebun karena kaki tangan bergerak baru kita makan,” ujar Meinus Wenda.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.