JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua menyatakan, pembayaran denda tidak dapat menghapuskan kewenangan penuntutan secara pidana.
Hal itu ditegaskan Emanuel Gobay, direktur LBH Papua, menanggapi kasus kerusuhan yang terjadi Kamis 23 Februari 2023 di Wamena, kabupaten Jayawijaya, Papua Pegunungan.
LBH Papua meminta Kapolda Papua dan Komnas HAM Republik Indonesia segera proses hukum pelaku pembunuhan dan penyalahgunaan senjata api serta dugaan pelanggaran HAM Berat terhadap masyarakat sipil dalam kerusuhan di Wamena.
Kejadian tersebut berawal dari merebaknya isu dugaan penculikan anak yang berujung terjadinya konflik atau kerusuhan. Saling serang antara warga masyarakat dengan aparat keamanan di kota Wamena.
“Terjadi konflik atau kerusuhan yang menelan korban jiwa dan korban raga serta korban harta benda di Wamena merupakan salah satu kasus yang telah mengusik nilai kemanusiaan. Terusiknya nilai kemanusiaan tersebut terlihat melalui fakta adanya 10 orang warga sipil yang meninggal dunia dan 23 orang warga sipil terluka serta ada 18 anggota Polri dan TNI yang terluka. Terlepas dari itu, ada pula 13 rumah dan dua ruko dibakar massa,” bebernya sembari menyertakan link berita CNN Indonesia.
Jika dikaji secara hukum, kata Gobay, dalam kasus tersebut ditemukan beberapa fakta pelanggaran hukum.
Pertama, kasus dugaan penculikan anak sebagaimana diatur pada Pasal 76F Undang-undang nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Kedua, kasus dugaan penyalahgunaan senjata api sebagaimana diatur dalam Undang-undang Darurat nomor 12 tahun 1951.
Ketiga, kasus dugaan tindak pidana pembunuhan berencana sebagaimana diatur pada Pasal 340 KUHP.
Keempat, kasus dugaan tindak pidana pembunuhan sebagaimana diatur pada Pasal 338 KUHP.
Kelima, kasus dugaan tindak pidana pengeroyokan dan pengrusakan sebagaimana diatur pada Pasal 170 KUHP.
Keenam, kasus dugaan tindak pidana lainnya, dan bahkan ada indikasi dugaan pelanggaran HAM Berat dalam bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana diatur pada Pasal 9 Undang-undang nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Dikemukakan, berdasarkan fakta pelanggaran hukum yang terjadi dalam kasus konflik tersebut menunjukan beberapa objek korban baik korban jiwa, korban raga dan benda benda. Dari fakta objek korban tentunya tidak dapat disamakan, karena semua objek memiliki kualitas yang berbeda-beda.
“Atas dasar itu, sangat tidak logis jika objek korban benda disamakan dengan objek korban raga (badan). Begitu pula objek korban harta benda dan objek korban raga disamakan dengan objek korban jiwa. Dengan demikian dalam penyelesaian fakta pelanggaran hukum yang terjadi dalam kasus konflik atau kerusuhan pada tanggal 23 Februari 2023 itu tidak dibenarkan secara hukum untuk menyelesaikannya menggunakan satu metode penyelesaian perkara, sebab akan melanggar hak atas keadilan bagi korban.”
Hal itu dijamin dalam ketentuan “Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang obyektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar”, sebagaimana diatur pada Pasal 17 Undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang melindungi korban.
Secara khusus berkaitan dengan kasus penyalahgunaan senjata api dan tindak pidana pembunuhan atau dugaan pelanggatan HAM Berat dalam bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi pada fakta adanya 10 orang warga sipil yang meninggal dunia dalam kerusuhan di Wamena pada tanggal 23 Februari 2023, beber Emanuel, secara hukum tidak dibenarkan jika diselesaikan menggunakan mekanisme kekeluargaan atau mediasi atau Restorative Justice.
Kasus penyalahgunaan senjata api dan tindak pidana pembunuhan atau dugaan pelanggaran HAM Berat dalam bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan yang dialami oleh 10 orang warga sipil yang meninggal dunia, diakuinya sebagai tindakan kesalahan pelaku yang sangat berat.
“Hal itu jelas-jelas bertentangan dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 3 huruf a angka 4, huruf a, angka 1 Surat Edaran Kapolri nomor SE/8/VII/2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) dalam penyelesaian perkara pidana, yaitu tindakan kesalahan pelaku relatif tidak berat, yakni kesalahan (Schuld) atau Mensrea dalam bentuk kesengajaan (Dolus atau Opzet) terutama kesengajaan sebagai maksud atau tujuan (Opzet all oogmerk).”
Selain itu, pembayaran denda terhadap 10 warga sipil korban kerusuhan di Wamena juga secara hukum tidak dapat menghapus kewenangan penuntutan pidana.
“Sebab berdasarkan teori hukum pidana, hapusnya kewenangan menuntut pidana apabila pertama: perkara yang sudah diproses dan diproses kembali (Pasal 76 KUHP), kedua: pelakunya meninggal dunia (Pasal 77 KUH), dan ketiga: daluarsa atau masa penuntutannya berakhir (Pasal 78 KUHP),” kata Gobay.
Dengan fakta pembayaran denda dalam kasus kerusuhan di Wamena pada tanggal 23 Februari 2023, tidak membenarkan memberlakukan Surat Edaran Kapolri nomor SE/8/VII/2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) dalam penyelesaian perkara pidana karena “tindak kesalahan pelaku relatif tidak berat dan tidak menjadi syarat hapusnya kewenangan menuntut pidana” atas kasus penembakan dan atau pembunuhan atau dugaan pelanggaran HAM Berat terhadap 10 orang warga sipil yang meninggal dunia dalam kerusuhan tersebut.
Menurut hukum pidana, kata Gobay, perdamaian tidak menghapus tindak pidana yang terjadi, perdamaian hanyalah akan memberikan keringanan bagi putusan yang akan dijatukan oleh hakim di pengadilan”. Dengan demikian, tidak ada seorangpun, selain hakim dengan alasan apapun dapat menjadikan perdamaian ataupun pembayaran denda sebagai dasar pijakan untuk menghentikan proses penegakan hukum atas kasus penembakan dan atau pembunuhan atau dugaan pelanggaran HAM Berat terhadap 10 orang warga sipil yang meninggal dunia dalam kerusuhan di Wamena, 23 Februari 2023.
Atas dasar itu, ditegaskan kepada siapapun untuk tidak menyalahgunakan mekanisme penyelesaian adat sebagai media untuk membungkam penegakan hukum menggunakan mekanisme yang telah diatur dalam Undang-undang nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan atau Undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia junto Undang-undang nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang berlaku di Indonesia dan bahkan berusaha untuk melindungi pelaku dari jeratan hukum yang justru akan menambah deretan panjang fakta impunitas di wilayah Papua khususnya di Wamena.
Untuk diketahui, Emanuel menyebutkan tujuan penegakan hukum pidana sebagaimana diuraik Barda Nawawi Arief dalam Tujuan dan Pedoman Pemidanaan, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2009, hal, 45-46:
Pertama, mencegah dan menanggulangi kejahatan.
Kedua, memperbaiki si pelaku kejahatan untuk kembali patuh pada hukum dan menjadi warga masyarakat yang baik dan berguna.
Ketiga, mencegah terjadinya perlakuan atau tindakan sewenang-wenang di luar hukum (tidak manusiawi).
Keempat, menyelesaikan konflik serta memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.
“Dengan demikian, melalui mekanisme pembayaran denda tidak mungkin akan mencapai empat tujuan penegakan hukum pidana tersebut,” ujarnya.
Dengan berdasarkan pada ketentuan “Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang obyektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar” sebagaimana diatur pada Pasal 17 Undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang HAM, LBH Papua menggunakan kewenangan sesuai Pasal 100 UU nomor 39 tahun 1999, menegaskan kepada:
Pertama, Kapolri segera perintahkan Kapolda Papua lakukan penegakan hukum atas kasus dugaan pembunuhan dan penyalahgunaan sejata api yang menewaskan 10 orang masyarakat sipil di Wamena dengan prinsip pembayaran denda tidak menghapus kewenangan menuntut secara pidana.
Kedua, Kapolda Papua segera melakukan penegakan hukum atas kasus dugaan tindak pidana pembunuhan dan penyalahgunaan sejata api yang menewaskan 10 orang masyarakat sipil di Wamena.
Ketiga, Ketua Komnas HAM Republik Indonesia segera membentuk Tim Investigas untuk melakukan penyelidikan atas dugaan tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam kasus kerusuhan di Wamena sesuai perintah Pasal 89 ayat (3) huruf b UU nomor 39 tahun 1999.
Keempat, Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) segera melakukan perlindungan terhadap saksi dan korban atas kasus dugaan tindak pidana pembunuhan dan penyalahgunaan sejata api yang menewaskan 10 orang masyarakat sipil di Wamena.
Kelima, Ketua DPRD Jayawijaya segera bentuk Panitia Khusus Kemanusiaan untuk mendorong penegakan hukum atas kasus dugaan tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam kasus kerusuhan di Wamena sesuai perintah Pasal 89 ayat (3) huruf b UU nomor 39 tahun 1999.
Siaran pers dengan nomor 003/SP-LBH-Papua/III/2023 ini diterbitkan oleh LBH Papua di Kota Jayapura, 3 Maret 2023.
REDAKSI