ArtikelTanah Surga Menjadi Lahan Pembantaian Massal

Tanah Surga Menjadi Lahan Pembantaian Massal

Oleh: Dr. A. G. Socratez Yoman)*
)* Presiden Persekutuan Gereja-Gereja Baptis West Papua, Pendiri, Pengurus dan Anggota Dewan Gereja Papua Barat (WPCC), Anggota Konferensi Gereja-Gereja Pasifik (PCC), dan Anggota Aliansi Baptis Dunia (BWA)

“Ia bangga dan puas dengan keberadaannya dan tidak mudah mengemis” (Pastor Frans Lieshout, OFM, 2019 : 87).

Almarhum Pastor Frans Lieshout dalam buku berjudul “Kebudayaan Suku Hubula Lembah Balim Papua: Sebuah Refleksi Pribadi” telah menggambarkan kehidupan penduduk Orang Asli Papua (OAP) yang sesungguhnya.

Ada beberapa kata kunci dan penting Pastor Lieshout tekankan dan gambarkan siapa OAP itu sebenarnya. Selama ini dari waktu ke waktu penilaian dan pandangan orang asing Indonesia dan orang asing dari dunia barat, bahwa OAP yang terbelakang, termiskin, terbodoh, tertinggal, ukurannya ada di Pegunungan Papua, dimana suku saya dilahirkan dan dibesarkan.

Semua pandangan (perspektif) dan penilaian (assesment) negatif terhadap OAP di Pegunungan Papua itu dipatahkan atau dihancurkan dengan beberapa kata kunci yang disampaikan oleh Pastor Lieshout, seperti saya kutip tadi.

Ada kata-kata: “Bangga, puas dan tidak mudah mengemis.” Dari tiga kata yang paling utama dan kata kuncinya yakni: “Tidak mudah mengemis”. Ini adalah deskripsi atau penggambaran siapa sebenarnya atau sesungguhnya OAP dari Sorong sampai Merauke.

Artinya, OAP adalah orang-orang merdeka dan berdaulat penuh atas hidup sebelum orang-orang asing Indonesia dan dunia barat datang menduduki dan menjajah, menindas dan memusnahkan kami secara sistematis, masif, meluas dan kolektif dengan undang-undang, ideologi dan sejarah yang asing dan palsu dibawa dan dipaksakan kepada OAP.

“Tidak mudah mengemis” merupakan pernyataan yang benar, sesuai fakta, sejarah, dan nilai peradaban serta kebudayaan OAP.

Pastor Lieshout mengatakan, “Saya sendiripun belajar banyak dari manusia Balim yang begitu manusiawi. Saya masih mengingat masyarakat Balim seperti kami alami waktu pertama datang di daerah ini. Kami diterima dengan baik dan ramah, tetapi mereka tidak memerlukan sesuatu dari kami, karena mereka sudah memiliki segala sesuatu yang mereka butuhkan itu. Mereka nampaknya sehat dan bahagia, … Kami menjadi kagum waktu melihat bagaimana masyarakat Balim hidup dalam harmoni … dan semangat kebersamaan dan persatuan, saling bersalaman dalam acara suka dan duka…” (Kebudayaan Suku Hubula Lembah Balim, 2019, hal. 85-86).

Ada beberapa kalimat kunci dalam pernyataan ini yang diabadikan oleh Pastor Frans Lieshout:

  1. Saya sendiripun belajar banyak dari manusia Balim yang begitu manusiawi.
  2. Saya masih mengingat masyarakat Balim seperti kami alami waktu pertama datang di daerah ini.
  3. Kami diterima dengan baik dan ramah.
  4. Mereka tidak memerlukan sesuatu dari kami, karena mereka sudah memiliki segala sesuatu yang mereka butuhkan.
  5. Mereka nampaknya sehat dan bahagia.
  6. Kami menjadi kagum waktu melihat bagaimana masyarakat Balim hidup dalam harmoni.
  7. Dan semangat kebersamaan dan persatuan, saling bersalaman dalam acara suka dan duka.
Baca Juga:  Apakah Kemerdekaan Republik Indonesia Berdampak Bagi Kehidupan Orang Asli Papua?

Lebih lanjut lagi: “Para pemimpin tradisional mengatur dengan penuh wibawa kepentingan masyarakat mereka dan tidak ada orang yang menentang atau mendemo mereka. Maka, profil asli orang Balim adalah kurang lebih sebagai berikut: Orang Balim biasanya tampil dengan gagah, ia suka mandiri dan hidup dengan harmoni dengan alam sekitarnya. Ia menjunjung tinggi kehidupan bersama dan bersatu dengan orang lain, ia mempunyai rasa harga diri tinggi. Ia terampil sebagai petani dan rajin bekerja. Ia bangga dan puas dengan keberadaannya dan tidak mudah mengemis. Ia mempertahankan nilai-nilai hidup baik dengan kontrol sosial yang kuat. Para pemimpin berpihak pada kepentingan masyarakat.” (Lieshout, 2019 : 87).

Almarhum Pastor Frans Lieshout memeteraikan nilai-nilai kehidupan OAP dengan tinta imannya, sebagai berikut:

  1. Para pemimpin tradisional mengatur dengan penuh wibawa kepentingan masyarakat mereka.
  2. Dan tidak ada orang yang menentang atau mendemo mereka.
  3. Orang Balim biasanya tampil dengan gagah.
  4. Suka mandiri dan hidup dengan harmoni dengan alam sekitarnya.
  5. Ia menjunjung tinggi kehidupan bersama dan bersatu dengan orang lain.
  6. Ia mempunyai rasa harga diri tinggi.
  7. Ia terampil sebagai petani dan rajin bekerja.
  8. Ia bangga dan puas dengan keberadaannya.
  9. Dan ia tidak mudah mengemis.
  10. Ia mempertahankan nilai-nilai hidup baik dengan kontrol sosial yang kuat.
  11. Para pemimpin berpihak pada kepentingan masyarakat.

Pernyataan OAP tidak mudah mengemis itu diperkuat dengan kenyataan dalam kehidupan masyarakat suku saya, orang Lani.

Dalam buku “Kita Meminum Air Dari Sumur Kita Sendiri” (Yoman, 2010, hal. 92) penulis menjelaskan sebagai berikut:

“Kata Ap Lani, artinya: orang-orang independen, orang-orang yang memiliki otonomi luas, orang-orang yang merdeka, yang tidak diatur oleh siapapun. Mereka adalah orang-orang yang selalu hidup dalam kesadaran tinggi bahwa mereka memiliki kehidupan, mereka mempunyai bahasa, mereka mempunyai sejarah, mereka mempunyai tanah, mereka mempunyai gunung, mereka mempunyai hutan, mereka mempunyai sungai, mereka mempunyai dusun yang jelas, mereka mempunyai garis keturunan yang jelas, mereka mempunyai kepercayaan yang jelas, mereka mempunyai kemampuan untuk mengatur, dan mengurus apa saja. Mereka tidak pernah pindah-pindah tempat, mereka hidup tertib dan teratur, mereka mempunyai segala-galanya.”

Baca Juga:  Ilegalitas Perjanjian New York Melahirkan Pepera Ilegal

Dari tatanan peradaban nilai budaya OAP ini juga terlihat dari kehidupan orang Lani dalam budaya perang. Dalam perang, orang Lani punya norma-norma yang harus ditaati oleh kedua kelompok yang bertikai atau berperang.

Nilai-nilai kemanusiaan itu sebagai berikut:

  1. Dilarang membunuh anak-anak.
  2. Dilarang membunuh perempuan.
  3. Dilarang membunuh orang tua dan juga orang lumpuh.
  4. Dilarang membunuh pemimpin.
  5. Dilarang mengambil barang-barang di medan perang sebagai barang jarahan.
  6. Dilarang memperkosa perempuan di medan perang.
  7. Membunuh musuh harus dengan alasan yang jelas.
  8. Jangan membunuh orang tanpa dasar dan alasan yang jelas kuat.
  9. Pada saat membunuh musuh, jangan hancurkan muka, kepala, jangan potong leher, potong kaki dan tangan manusia yang dibunuh.
  10. Jangan keluarkan isi perut orang yang dibunuh.
  11. Jangan membunuh orang dari bagian belakang.
  12. Manusia dibunuh di bagian dada/lambung.
  13. Setelah manusia dibunuh, mayatnya dilarang keras dibuang di jurang.
  14. Dilarang sembunyikan di tempat tersembunyi.
  15. Orang yang dibunuh dilarang dibuat telanjang.
  16. Dilarang meletakkan mayatnya terlentang.
  17. Mayat orang yang dibunuh diatur posisi tidur menyamping kanan atau kiri, tetapi dilarang biarkan terlentang muka ke arah langit atau muka ke arah tanah.
  18. Setelah dibunuh, pihak pembunuh berkewajiban sampaikan informasi kepada keluarga korban. Supaya keluarga korban datang mengambil jenazah dan berkabung dan mengaburkannya (membakarnya).
  19. Dilarang membunuh dan wajib lindungi pemimpin kedua pihak yang sedang berperang dan bermusuhan karena pemimpin adalah simbol pelindung dan perdamaian. Kalau pemimpin dibunuh berarti kehancuran dan malapetaka bagi rakyat kedua belah pihak yang sedang berperang.

Akibat dari melanggar norma-norma perang tadi, para atau pihak pelaku mengalami musibah kutuk dan murka turun-temurun. Keturunan mereka tidak pernah selamat karena darah orang yang dibunuh itu menuntut balasan. Biasanya, musibah dan malapetaka itu berhenti ketika para pelaku kejahatan mengaku bersalah, minta maaf dan minta pengampunan dari keluarga korban.

Terlihat dengan jelas, penguasa pemerintah Indonesia yang menduduki dan menjajah kami mempunyai rencana untuk meniadakan dan memusnahkan kami dengan cara-cara yang pelan, tetapi pasti dari tanah leluhur kami.

Contoh terbaru pembantaian massal di depan mata kita terjadi pada 23 Februari 2023 di Wamena. 9 orang tewas di tangan aparat keamanan Indonesia. Dalam peristiwa itu dua orang pendatang juga ikut tewas. Peristiwa ini sangat bertentangan dengan nilai-nilai budaya OAP.

  1. Yan Murib, 45 tahun, laki-laki
  2. Vicky Kogoya, 22 tahun, laki-laki
  3. Fredy Elopore, 15 tahun, laki-laki
  4. Tinus Yelipele 30 tahun,laki-laki
  5. Mian Karunggu, 24 tahun, laki-laki
  6. Semias Yanengga, 16 tahun, laki-laki
  7. Stepanus Wenda, laki-laki
  8. Korowa Wanimbo, laki-laki
  9. Wais Aspalek, 15 tahun, laki-laki
  10. Alberth Sitorus, 26 tahun, laki-laki
  11. Ramot Siagian, 28 tahun, laki-laki
Baca Juga:  Ilegalitas Perjanjian New York Melahirkan Pepera Ilegal

Ini kejahatan negara. Ini kejahatan kemanusiaan. Ini kekerasan negara secara sistematis, masif dan kolektif.

Telah menjadi jelas dan terang bagi kami, bahwa pemerintah Indonesia berniat buruk dengan kami penduduk asli Papua ras Melanesia.

Pembunuhan OAP terus berlangsung karena ada perintah negara. Perintah itu disampaikan Presiden Republik Indonesia yang didukung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Perintah itu belum dicabut sampai saat ini. Perintah itu digunakan TNI-Polri di Tanah Papua.

  1. Ir. Joko Widodo mengeluarkan perintah Operasi Militer pada 5 Desember 2018, sebagai berikut:

“Tangkap seluruh pelaku penembakan di Papua. Tumpas hingga akar.” (Detik.com, 5-12-2018).

  1. Wakil Presiden (mantan) Jusuf Kalla mendukung operasi militer di Papua, sebagai berikut:

“Kasus ini, ya, polisi dan TNI operasi besar-besaran…” (Tribunnews.com, 6-12-2018).

  1. Ketua MRP RI Bambang Soesatyo mendukung operasi militer di Papua, sebagai berikut:

“MPR usul pemerintah tetapkan operasi militer, selain perang di Papua” (Kompas.com, 13-12-2018).

  1. Wiranto (mantan Menkopolhukam) mendukung operasi militer di Papua, sebagai berikut:

“Soal KKB di Nduga Papua, kita habisi mereka” (Kompas.com, 12-12-2018).

  1. Mahfud MD melabelkan dan menempatkan OAP dengan label teroris. Pernyataan primitifnya Mahfud MD pada 29 April 2021: “Pemerintah menganggap bahwa organisasi dan orang-orang di Papua yang melakukan kekerasan masif dikategorikan sebagai teroris.”

Tidak heran, militer dan kepolisian Indonesia diberikan legitimasi negara untuk operasi militer di Tanah Papua dan untuk orang-orang Papua dikategorikan sebagai teroris. Karena label teroris, maka mutilasi dan penyiksaan dan pembunuhan OAP dianggap sah, tidak bersalah, tidak berdosa, dan pelaku kejahatan dilindungi, ada impunitas dan dihargai sebagai pahlawan.

Natalius Pigai memastikan bahwa oknum TNI juga terlibat dalam kasus tersebut. Hal itu berdasarkan video yang memperlihatkan adanya anggota TNI menembakan senjata api ke arah warga. Dia pun menilai tragedi Wamena pada 23 Februari 2023 merupakan sebuah kejahatan aktor negara.

Mari, kita akhiri kejahatan negara dan kejahatan kemanusiaan di atas Tanah Papua.

“Biarkanlah keadilan bergulung-gulung seperti air dan kebenaran seperti sungai yang selalu mengalir di Tanah Papua dari Sorong sampai Merauke” (Amos 5: 24).

Doa dan harapan saya, tulisan ini bermanfaat bagi para pembaca.

Selamat membaca. Tuhan memberkati kita semua.

Ita Wakhu Purom, 2 Maret 2023

Terkini

Populer Minggu Ini:

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.