BeritaKesehatanTragis! Empat Kampung di Tambrauw Berubah Wujud

Tragis! Empat Kampung di Tambrauw Berubah Wujud

SORONG, SUARAPAPUA.com — Maraknya aktivitas pendulangan emas ilegal di empat kampung: Kwoor, Esmambo, Barar, dan Orwen, distrik Kwoor, kabupaten Tambrauw, Papua Barat Daya, berdampak terhadap semua aspek hingga kondisinya sudah tak berbentuk kampung yang asri dan damai seperti sebelumnya.

Ottow Yenggren dan Tinus Yewen, tokoh masyarakat adat distrik Kwoor, mengungkapkan fakta miris belakangan ini di empat kampung sudah penuh dengan kolam dan lubang di berbagai sudut akibat kegiatan pendulangan. Telinga bahkan tersumbat gara-gara bisingnya mesin alkon setiap hari.

Keduanya prihatin melihat kondisi lingkungan di empat kampung yang sudah tak asri lagi. Banyak lubang dan kolam di mana-mana dengan genangan air. Tumbuhan jangka panjang seperti pisang, mangga, rambutan, dan lainnya rusak. Lima rumah pemukiman terdampak akibat pendulangan ilegal tersebut.

Baca Juga:  ALJARA Desak Cabut Izin Pertambangan Nikel di Raja Ampat, Bupati: Kewenangan Pemkab Dibatasi

“Ini kitong punya kampung sudah tidak berbentuk kampung. Lubang dan kolam penuh air ada di berbagai tempat. Tiga rumah sudah rusak. Termasuk dua rumah yang dibangun dengan swadaya. Pasar tempat transaksi jual beli juga sama nasib. Buah-buahan, tumbuhan jangka panjang rusak semua. Kampung sudah hancur. Sekarang tra indah dan damai lagi,” tutur Ottow.

Ia mencatat situasi itu berlangsung cukup lama. Bahkan dalam beberapa waktu terakhir sejak 2022,

“Pendulangan emas ilegal ini harus ditutup,” ujarnya.

Kondisi tersebut dibenarkan Tinus Yewen melihat lingkungan empat kampung sudah tak elok. Belum lagi konflik antar marga pemilik ulayat mulai muncul. Ada yang pro, tetapi banyak lagi kontra dengan kegiatan pendulangan itu.

“Ah, sekarang tra baik semuanya. Saya tetap menolak orang-orang dulang emas di distrik Kwoor,” ujar Tinus.

Baca Juga:  Raja Ampat Dikepung Enam Perusahaan Tambang Nikel

Ottow dan Tinus mencatat aktivitas pendulangan yang awalnya hanya masyarakat Abun, makin ke sini sudah bukan masyarakat setempat saja. Orang-orang pendatang dari Buton, Ternate, dan lainnya didatangkan oknum yang terlibat di dalam, tiap hari kian bertambah.

Dampak negatif yang terlihat dari kegiatan pendulangan adalah kondisi kesehatan perempuan dan anak-anak. Penyakit kulit seperti kudis, kulit terlepas, gatal, dan lainnya. Ini akibat masyarakat empat kampung rata-rata mengkonsumsi air dari sumur, mengakibatkan mereka akan mengalami berbagai penyakit.

Tak cuma itu, aktivitas belajar anak-anak sekolah dasar (SD) dan TK sedikit terganggu dengan deru mesin alkon. Repotnya lagi, kata Tinus, anak-anak turut mendulang. Tiap hari tak betah di ruang kelas. Tiap hari rasanya ingin cepat pulang.

“Soal kesehatan, terus anak-anak juga tidak belajar baik. Pokoknya banyak. Semua ini pengaruh dari orang-orang dulang emas,” ujar Yewen.

Baca Juga:  Kekayaan Tanah Papua dan Masyarakatnya Selalu Dieksploitasi

Kondisi tersebut menurutnya tak bisa dibiarkan. Ia berharap, semua mahasiswa, LSM, dan pemerintah daerah harus serius menangani masalah tersebut. Jika tak diatasi dari sekarang, tentu akan banyak korban yang berjatuhan karena serangan penyakit dan saling membunuh.

“Ada banyak perempuan yang tangan luka, kudis. Anak sekolah tra belajar baik karena bunyi mesin. Tiap hari dorang gelisah cepat keluar untuk mau dulang emas. Mama-mama juga mulai kasih tinggal kebun,” bebernya.

Tinus berharap, “LSM, mahasiswa dan pemerintah Tambrauw jangan biarkan ini semakin melebar di tengah-tengah masyarakat. Masalah ini harus diseriusi. Jangan biarkan alam dan masyarakat hancur.”

Pewarta: Maria Baru
Editor: Markus You

Terkini

Populer Minggu Ini:

Pemda Jayawijaya Dukung Musyawarah Pembentukan Jaringan Perempuan

0
“Yang diharapkan juga dalam musyawarah ini adalah dapat meningkatkan kesadaran dan peran serta perempuan lembah Balim, dan mengajak sebanyak mungkin perempuan Balim untuk ikut terlibat secara langsung dalam proses pembangunan Jayawijaya” ucapnya.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.