JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Koalisi Pengacara Perempuan dan Anak (KPPA) akan menyurati Komisi Pengawas Kejaksaan, Yudisial, LPSK, Komnas HAM, Komnas Perempuan dan Anak, serta Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) terkait vonis ringan terhadap pelaku pelecehan seksual yang tak sesuai Pasal 289 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Dalam proses persidangan perkara pelecehan seksual yang diperiksa dan diadili hakim diketuai Zaka Talapatty bersama hakim anggota Donald Everly Malubaya dan Wempy William James Duka, korban tak mendapatkan keadilan. Putusan hukum yang telah diputuskan Pengadilan Negeri Kelas 2A Jayapura, pelaku pelecehan seksual hanya divonis 8 bulan penjara.
Yustina Haluk, pengacara LBH Papua, menyatakan, putusan tersebut tak memberikan rasa keadilan bagi korban, karena hukumannya jauh lebih ringan dari ancaman hukuman maksimal kejahatan yaitu pidana penjara 9 tahun. Di persidangan, pelaku JM mengakui perbuatannya. Itu juga diperkuat keterangan saksi-saksi lainnya.
“MR, klien kami sebagai korban pelecehan seksual, dari fakta persidangan pelaku sendiri telah mengakui perbuatan sebagaimana yang telah didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dengan Pasal 289 KUHP tentang perbuatan cabul yang diancam hukuman maksimal pidana penjara 9 tahun, tetapi dalam tuntutan JPU yang dibacakan Selasa (21/3/2023), JM hanya dituntut delapan bulan penjara saja,” kata Haluk kepada suarapapua.com saat KPPA mengadakan konferensi pers di kantor AlDP, Rabu (5/4/2023) malam.
Dijelaskan, usai persidangan korban menangis dan berteriak histeris karena merasa JPU tak memihak dan memperjuangkan keadilan baginya. Karena itu, korban meminta kepada pengacaranya untuk mencari keadilan. Korban menilai vonis kepada pelaku tak sesuai Pasal 289 KUHP itu menunjukkan JPU tak memiliki perspektif gender.
“Dengan berlakunya Undang-undang nomor 12 tahun 2002 tentang tindak pidana pelecehan terhadap perempuan dan anak, harusnya JPU menggunakan Undang-undang ini untuk menuntut pelaku, sehingga ada rasa keadilan bagi korban,” ujarnya.
Haluk menjelaskan, KPPA yang terdiri dari AlDP, LBH Apik, LBH Papua, Elsham Papua, Peradin, serta beberapa lembaga yang bergerak di bidang pendampingan hukum bagi perempuan akan menindaklanjuti putusan tersebut dengan menyurati Komisi Pengawas Kejaksaan, Yudisial, LPSK, Komnas HAM, Komnas Perempuan dan Anak, serta Kemenkumham.
“Sebelumnya klien kami ini didampingi kawan-kawan dari AlDP. Kami baru menandatangani surat kuasa yang baru. Nah, kasus ini akan didampingi oleh koalisi. Nanti koalisi menyurati Komisi Yudisial, Kemenkumham dan lainnya untuk melaporkan kasus ini,” kata Yustina.
Selain vonis ringan tak sesuai dakwaan seharusnya, koalisi juga mengaku mendapat laporan dari korban diancam pelaku. Di ruang tahanan, pelaku bahkan bebas menggunakan telepon seluler.
“Kami menerima laporan bahwa korban mendapat ancaman dari pelaku, padahal status pelaku merupakan tahanan dan sedang mendekam di penjara masih bisa pakai telepon seluler. Pihak Lapas juga harus diperiksa,” tutur Haluk.
Sementara, Persila Heselo, advokat Elsham Papua yang juga anggota KPPA, menambahkan, banyak kasus pelecehan seksual yang didampingi KPPA, sebagian besar kasusnya berakhir dengan tuntutan hampir sama yakni terdakwa divonis lebih ringan dari perbuatannya.
“Kami dari koalisi pengacara perempuan merasa sekali hukum ini tidak ditegakan dengan benar. Kami minta, jangan lagi ada korban-korban seperti kasus yang kami tangani saat ini,” ujar Heselo.
Pewarta: Reiner Brabar
Editor: Markus You