PolhukamHAMDAW Meepago: Bebaskan Masyarakat Adat dari Kekerasan Bersenjata dan Kekerasan Struktural

DAW Meepago: Bebaskan Masyarakat Adat dari Kekerasan Bersenjata dan Kekerasan Struktural

NABIRE, SUARAPAPUA.com — Konflik dan kekerasan menyasar warga sipil di Tanah Papua masih subur hingga kini. Masyarakat selalu diperhadapkan pada serangkaian kasus kekerasan dan kekerasan bersenjata. Dewan Adat Wilayah VII Meepago mencatat fakta mengerikan dialami masyarakat adat sebagai korban kekerasan baik kekerasan bersenjata maupun kekerasan struktural.

Oktovianus Pekei, ketua Dewan Adat Wilayah (DAW) Meepago, mengungkapkan, hingga hari ini konflik Papua belum selesai. Konflik dan kekerasan tersebut memakan korban di pihak masyarakat sipil. Dalam situasi demikian, pemerintah terkesan membiarkannya terus berlanjut tanpa ada upaya penyelesaian sebagai bentuk tanggung jawab negara.

Dalam siaran pers yang diterima suarapapua.com, Sabtu (15/4/2023), DAW Meepago menyatakan, konflik Papua belum selesai karena kenyataannya aksi-aksi kekerasan antar kelompok bersenjata bermotif politis dan ekonomi yang berakhir pada jatuhnya korban jiwa antar pihak sudah berlangsung lama tanpa ada jalan keluar dengan mengedepankan prinsip-prinsip kemanusiaan.

Di daerah-daerah konflik bersenjata, masyarakat adat menjadi korban dalam berbagai aspek kehidupan. Selain aspek ekonomi, kesehatan dan pendidikan, juga soal rasa aman dan nyaman dalam melangsungkan hidupnya di kampung halaman sendiri.

Baca Juga:  Calon DPRP dan DPRK Jalur Pengangkatan Tidak Gadaikan Tanah Adat

“Fakta yang terjadi di wilayah adat Meepago dapat kita simak di daerah Intan Jaya, daerah Puncak, daerah Puncak Jaya dan daerah Nduga yang kemudian warganya mengungsi dan menjadi korban di daerah Mimika,” sebutnya.

Fakta selama ini masyarakat adat wilayah Meepago pun menjadi korban dalam beberapa aspek hidup lain, yakni aspek ekonomi, aspek kesehatan dan aspek pendidikan.

“Hal ini dapat kita simak dari kenyataan yang ada. Misalnya dalam hal aspek ekonomi, tidak ada akses pasar bagi yang ditata dan diatur secara baik oleh pemerintah daerah, sehingga berdampak pada marginalisasi bagi mama-mama pasar di ruang publik, apalagi soal proteksi ekonomi kerakyatan berbasis OAP yang tidak ada selama ini,” urainya.

Dalam bidang kesehatan misalnya. Ibu hamil dan anak-anak di kampung tidak terlayani, sehingga ibu dan anak-anak menjadi korban, apalagi banyak anak menjadi korban akibat munculnya penyakit serampah. Hal ini disebabkan obat-obatan dan sarana prasarana serta kesiapan tenaga medis yang kurang diperhatikan.

“Begitu juga dalam bidang pendidikan. Kegiatan belajar mengajar (KBM) di sekolah-sekolah pinggiran kota dan di kampung-kampung yang notebene anak-anak OAP tidak diberikan prioritas oleh pemerintah daerah,” bebernya.

Baca Juga:  Aksi Ajudan Kapolri Meninju Wartawan Dikecam AJI dan PFI

Pekei menyebutkan fakta hidup OAP dalam bidang ekonomi, kesehatan dan pendidikan tidak pernah disadari selama ini, padahal kondisi itu merupakan bagian dari kekerasan struktural. Sementara, pemerintah daerah ada karena ada masyarakat.

“Lalu, sejauhmana perhatian pemerintah daerah kepada masyarakatnya? Ini yang selama ini menjadi pertanyaan yang relevan dari masa ke masa.”

Berdasarkan kenyataan tersebut, kenyataan berbicara sendiri bahwa masyarakat adat menjadi korban kekerasan baik kekerasan bersenjata maupun kekerasan struktural. Oleh karena itu, DAW Meepago menyampaikan beberapa hal sebagai berikut:

Pertama: Kekerasan bersenjata akibat adanya perbedaan ideologi harus diselesaikan melalui sebuah perundingan yang difasilitasi oleh pihak ketiga yang disetujui para pihak yang berkonflik. Dalam hal ini, pihak TPNPB OPM dan pemerintah Indonesia harus bersedia melakukan negosiasi pra perundingan yang tentu harus didahului dengan genjatan senjata. Apabila hal ini tidak dilakukan para pihak, maka kekerasan bersenjata tidak akan pernah berakhir, sebab TPNPB OPM dan TNI/Polri memiliki kekuatan yang akan selalu berkompetisi untuk menunjukkan gaya konflik masing-masing.

Baca Juga:  Argumen Minimnya SDM Dalam Seleksi Anggota DPR Papua Pegunungan Dinilai Diskriminatif

Kedua: Pemerintah kabupaten Intan Jaya, Puncak dan Puncak Jaya untuk memisahkan dan harus ungsikan masyarakat kampung yang menjadi sasaran konflik bersenjata demi keselamatan mereka agar tidak menjadi sasaran kekerasan bersenjata selama belum ada kepastian adanya kenyaman dan keamanan yang dapat menjamin mereka. Karena itu, diperlukan langkah serius dari pemerintah daerah untuk selamatkan masyarakat.

Ketiga: Pemerintah daerah di kabupaten lai²n di wilayah Meepago agar mohon prioritaskan perhatian kepada masyarakat setempat dalam bidang ekonomi, kesehatan dan pendidikan agar masyarakat tidak menjadi korban struktural berkepanjangan, sebab yang dialami bukan hanya marginalisasi dan matinya masa depan, tetapi juga korban nyawa yang tidak pernah dihentikan mata rantainya. Karena itu, pemerintah daerah tidak boleh menganggap biasa-biasa saja, tetapi harus memiliki kepedulian dan keberpihakan kepada masyarakat.

Hal tersebut disampaikan agar menjadi perhatian semua pihak di wilayah Meepago dan Papua umumnya demi selamatkan masyarakat kita yang tidak nyaman akibat berlanjutnya konflik dan kekeraan bersenjata.

REDAKSI

Terkini

Populer Minggu Ini:

Bagaimana Australia Melihat Rusia Menginginkan Pangkalan Militer di Biak?

0
Analis Evan Laksama dari International Institute of Strategic Studies mengatakan bahwa ia “skeptis” bahwa Indonesia akan setuju untuk menukar akses ke pangkalan militer dengan teknologi nuklir atau peralatan militer berteknologi tinggi dari Rusia.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.