SORONG, SUARAPAPUA.com — Hari Mangrove tahun 2023 diperingati pegiat lingkungan di kota Jayapura dengan menggelar aksi demonstrasi damai di lokasi kawasan konservasi Taman Wisata Alam (TWA) hutan bakau Pantai Hamadi, Jayapura Selatan, yang pada 11 Juli lalu sempat digerebek dan dilakukan penegakan hukum.
Mangrove memiliki peran yang penting untuk mencegah abrasi pantai. Selain itu, Mangrove juga menghasilkan berbagai komoditas perikanan dan kehutanan, menyaring limbah secara alami, menjaga habitat, dan tempat pemijahan beberapa jenis satwa, dan mencegah intrusi air laut.
“Lainnya adalah ekosistem Mangrove berpotensi besar dalam menyerap dan menyimpan karbon yang mengancam terjadinya perubahan iklim, sehingga menjaga ekosistem Mangrove sama artinya dengan mencegah terjadinya bencana alam yang dapat disebabkan oleh perubahan iklim,” tutur Emma Hamadi, salah satu orator, sebagaimana siaran pers ke suarapapua.com, Kamis (27/7/2023).
Sebagai orang yang peduli, kata Emma, pihaknya tidak mau lagi hutan Mangrove ini dijadikan sebagai lahan kepentingan.
“Tolak semua pembangunan sebab ini adalah hutan perempuan. Hutan yang tidak boleh lagi ada aktivitas di tempat ini, apalagi dilakukan penimbunan. Kami tidak bicara siapa pemilik tanah dan siapa pemilik sertifikat, namun yang diminta adalah lokasi hutan Mangrove harus steril dan tetap seperti ini untuk anak cucu nanti,” ujarnya.
Emma meminta proses hukum harus ditegakan sebagai cermin keseriusan aparat penegak hukum itu sendiri.
“Kalau tidak diproses, kami tidak akan percaya dengan pemerintah dan aparat hukum maupun kepolisian. Tolong catat itu.”
Sementara itu, Vhian Sada, koordinator aksi, menyatakan, kelompok peduli yang tergabung dari sejumlah komunitas lingkungan di Jayapura mendesak agar kawasan Mangrove tetap ada dan tidak beralihfungsi.
Vhian memastikan, para pegiat lingkungan akan terus memantau perkembangan proses hukum saat ini.
“Hutan Mangrove not for sale, sebab ini ‘dapur’, bukan tempat batu kapur. Kami tidak mau menyoroti satu pihak yang sedang berperkara karena kami yakin kejadian 11 Juli itu hanya satu sampel dan masih banyak sampel lainnya, sehingga ini perlu diungkap dan dibuka secara terang benderang. Sekali lagi, hutan bakau ini pelindung bukan justru ditimbun,” tegas Vhian.
Bertepatan hari Mangrove Sedunia 2023, para pegiat lingkungan menyampaikan pernyataan sikap sebagai berikut:
Pertama, meminta penyidik Dinas Kehutanan, Balai Gakkum dibantu aparat kepolisian mengusut tuntas para pelaku yang terlibat dalam pengrusakan kawasan konservasi Teluk Youtefa dan menjadikan kasus penimbunan di kawasan konservasi yang melibatkan SR sebagai pintu masuk untuk merunut peta kawasan karena disinyalir telah muncul sertifikat di area konservasi.
Kedua, meminta pemerintah kota tegas dalam pemetaan rencana tata ruang wilayah dan memastikan kawasan konservasi tidak beralihfungsi. Selain itu, DPRD Kota Jayapura perlu lebih peka dengan mengambil peran dalam melahirkan regulasi yang memproteksi kawasan konservasi. Status tanah lindung bisa menjadi alternatif atau terobosan baru yang artinya tidak hanya hutan yang dilindungi, tetapi juga tanah yang ada di kawasan konservasi harus bisa dipastikan tidak akan diperjualbelikan meski dilakukan oleh pemilik ulayat.
Ketiga, Dinas Kehutanan, BBKSDA maupun DPRD Kota Jayapura harus proaktif memberikan sosialisasi dan edukasi kepada warga terutama pemilik modal usaha untuk tidak lagi menjadikan kawasan konservasi sebagai tempat usaha.
Keempat, mengembalikan kondisi hutan Mangrove yang dirusak seperti semula atau revitalisasi lahan.
Hutan Mangrove di TWA Teluk Youtefa dibabat dan ditimbun karang sejak awal Juli 2023. Pembabatan hutan bakau dan penimbunan secara masif dilakukan tepatnya di belakang Pantai Hamadi. Kawasan hutan bakau tersebut seharusnya dilindungi oleh negara berdasarkan undang-undangan, tetapi kini terancam hilang.
Papan larangan yang dipasang di sana bertuliskan “KAWASAN KONSERVASI TWA TELUK YOUTEFA DILARANG MENGUBAH BENTANG ALAM di KAWASAN INI” lengkap dengan Undang-undang dan pasal yang mengaturnya (UU Nomor 5 tahun 1999 pasal 33 ayat 3 dan sanksinya di Pasal 40 ayat 2) seolah hanya simbol saja.
Kenyataannya, hutan bakau di kawasan tersebut tetap dibabat dan ditimbun juga tanpa hiraukan adanya larangan yang berlogo Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, logo pemerintah dan logo Polri.
Teluk Youtefa ditetapkan sebagai TWA berdasarkan surat keputusan Menteri Pertanian nomor 372/Kpts/Um/1978 tanggal 9 Juni 1978 dengan luas areal 1.650 hektar.
Setelah 18 tahun berlalu, luas TWA Teluk Youtefa bertambah menjadi 25 ha, sehingga pada 1996 ditetapkan lagi dengan surat keputusan Menteri Kehutanan nomor 714/Kpts-II/1996 tanggal 11 November 1996 dengan luas areal 1.675 ha.
Tahun 2017, luasan hutan mangrove di TWA Teluk Youtefa seluas 233,12 ha.
Dalam kurun waktu 23 tahun, TWA Teluk Youtefa telah kehilangan seluas 159,34 ha ekosistem Mangrove. []