SORONG, SUARAPAPUA.com — Sungguh tragis nasib puluhan petugas kebersihan kota Sorong, Papua Barat Daya. Haknya dicabut tanpa alasan. Selama sembilan bulan tidak diberi upah layak sesuai kontrak kerja, sebelum diberhentikan secara sepihak. Pemberhentian dilakukan vendor begitu saja tanpa ada kejelasan.
Pemecatan sepihak pengelola sampah basah kota Sorong meninggalkan seribu satu cerita pahit nan memilukan hati para buruh.
Setidaknya ada sepuluh kisah pilu dari puluhan buruh kebersihan kota Sorong setelah hak-haknya dicabut tanpa alasan jelas dan tiada kunjung tiba keadilan dari pemerintah kota (Pemkot) Sorong melalui vendor.
Puluhan buruh, mayoritas lanjut usia (lansia) berkumpul di depan kantor Walikota Sorong pada pagi hingga sore, Senin (4/9/2023). Mereka bertekad kuat memperjuangkan hak-hak yang dihilangkan tanpa alasan jelas setelah dipecat sepihak.
Berdasarkan data dari sejumlah sumber, sejak tahun 2022 tercatat 12 orang diberhentikan sepihak. Lalu, 12 orang lainnya diberhentikan lagi sejak ganti vendor baru tanpa pembayaran.
Sedangkan, 90-an orang lainnya, upah mereka telah dibayar atas inisiatif internal Pemkot dan organisasi perangkat daerah (OPD) teknis melalui Dinas Lingkungan Hidup kota Sorong. Tetapi, nilainya tidak sesuai jumlah bulan yang mereka kerja.
Sayang sekali nasib para buruh itu. Mereka dari berbagai latar belakang. Ada yang lansia, single mother, duda, dan perempuan muda.
Suara Papua berhasil menemui sepuluh orang korban ketidakadilan yang saban hari bekerja membersihkan kota Sorong.
Kepada media ini, mereka berbagi cerita bagaimana awal direkrut, selama bertahun-tahun bekerja hingga diberhentikan tanpa alasan dan pesangon.
Para buruh memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Rata-rata berijazah SD, SMP, dan SMA. Beberapa lainnya putus sekolah.
Semenjak pertama kali diterima dan masuk bekerja hingga tahun 2023, para buruh bekerja tanpa kontrak kerja yang jelas. Awalnya mereka hanya kumpulkan kartu keluarga (KK) dan kartu tanda penduduk (KTP) sebagai syarat untuk bisa bekerja.
Pemkot Sorong melalui satu perusahaan yang dipercayakan, rupanya kurang ada keterbukaan informasi kepada para buruh. Mereka dibuat tidak paham tentang kondisi kerja dan hak-haknya. Karena itulah dengan mudah diperlakukan tidak adil dan diskriminatif.
Mereka bekerja bertahun-tahun tanpa alat keamanan kerja yang lengkap. Tidak diberi alat pelidung diri (APD). Juga tanpa BPJS Ketenagakerjaan ataupun BPJS Kesehatan. Selama bekerja, beberapa buruh mengalami kecelakaan dan atau sakit, terpaksa keluarkan uang saku pribadinya.
Upah buruh bukan lagi ditangani Dinas Kebersihan, tetapi masuk rana Dinas Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Untuk tahun ini, pelelangan paket dengan nama “Pengangkutan Sampah Basah Kota Sorong”, dimenangkan oleh PT Hendrian dengan pagu anggaran Rp8.164.000.000,00 (delapan miliar seratus enam puluh empat juta rupiah) dan harga perkiraan sendiri (HPS) Rp8.125.427.000,00 (delapan miliar seratus dua puluh lima juta empat ratus dua puluh tujuh ribu rupiah).
Konon, menang tender dengan harga Rp8.107.000.000,00 (delapan miliar seratus tujuh juta rupiah). Kode tender 1073730, sumber dana dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) kota Sorong.
PT Hendrian merupakan salah satu kontraktor yang telah mengerjakan proyek nasional sejak 2014. Proyek-proyek tersebut dengan berbagai kualifikas dan sub klasifikasi. Kontraktor ini beralamat di Jl. Basuki Rahmat KM 8,5 kota Sorong.
Berbagi Kisah Pilu
Arent Nauw (65), salah satu buruh kebersihan kota Sorong, baru saja diistirahatkan Juli lalu. Ia dan beberapa temannya telah bekerja enam bulan, namun diberhentikan sepihak tanpa alasan. Bekerja enam bulan, honornya baru dibayar empat bulan.
Arent Nauw bekerja sebagai tukang bersih kota Sorong sejak 2009.
“Kami kerja enam bulan. Dua bulan belum dibayar. Belum bayar baru kasih istirahat kami. Tidak ada pemberitahuan, tiba-tiba istirahatkan begitu saja tanpa alasan dan kejelasan. Musyawarah bersama juga trada,” ujar Nauw sambil berjalan ke kantor Walikota untuk audiensi dengan penjabat walikota Sorong yang ditunggu berjam-jam, namun akhirnya ditunda tanpa ada keterangan.
Mama Since Bumere (65), seorang buruh lainnya, juga mengaku mengalami perlakuan sama.
Ia telah bekerja selama sebelas tahun sebagai tukang sapu di ruas jalan dari kantor Walikota hingga Aspen. Tetapi, ia diberhentikan tahun 2022.
Hingga saat ini, mama Since kesulitan mencari pekerjaan baru. Maklum, usianya sudah tak muda lagi.
“Katanya karena umur, jadi saya diberhentikan. Ya, harusnya dong bicara baik-baik supaya kitong tahu dan suruh anak yang ganti.”
Sebelum diberhentikan, kata Bumere, mereka biasa kerja tiap hari. Kerja dimulai jam lima pagi.
“Dua jam lebih kami kerja, dari jam lima pagi sampe jam setengah tujuh selesai. Biasa anak-anak kami bantu kerja. Setelah itu, dong mandi dan berangkat ke sekolah. Sekarang su diberhentikan, mau cari uang susah sekali. Terpaksa di rumah saja jual pinang, ikan goreng, kasbi goreng. Anak dan cucu banyak. Kebutuhannya banyak, untuk sekolah, atau kalo sakit, butuh biaya besar. Mau cari uang di mana? Susah sekali ini,” tuturnya sambil kunyah pinang di jalan trotoar kantor Walikota.
“Dulu waktu masih kerja, mama biasa ke bos minta panjar. Nanti bos potong di honor setiap bulan. Tetapi tiba-tiba bos berhentikan dan hanya kasih uang satu juta saja. Ya, mau bicara apa? Tolong ya, kedepan jangan begini lagi. Harus bicara baik-baik. Kasih tahu alasannya,” sambung mama Since.
Kisah nyaris sama dialami Yohana Bowaire (69).
Mama Yohana Bowaire bekerja sejak tahun 2006 dengan upah awal Rp600 ribu. Ia bertahan kerja hingga upahnya naik Rp1.600.000.
Sayangnya, Bowaire diberhentikan secara tiba-tiba. Tidak ada alasan yang disampaikan kepadanya.
Selepas kehilangan sumber penghasilan, ia pun sudah kesulitan mencari pekerjaan untuk mencukupi banyak kebutuhan. Tidak cuma kebutuhan rumah tangga, namun juga kebutuhan anak dan cucu.
“Bos tra bicara A, B, langsung kasih surat pemberhentian. Saya kaget. Kami sudah tuntut masa kerja kami. Urus di departemen tenaga kerja (Depnaker). Datang lagi ke kantor walikota. Berkali-kali. Tapi susah, kitong diputar ke sana kemari saja,” kesal mama Yohana.
Dominggas Kareth (64), bekerja sejak tahun 2013. Ia terima upah awal Rp800 ribu. Ia pun menuntut upahnya yang belum dibayar dari Agustus hingga September.
Katanya, ada 170 buruh kebersihan yang dikeluarkan dan hanya 26 orang yang dibayar upah kerjanya.
Selama ini Dominggas bekerja dari Batalyon hingga Surya.
“Gaji bulan Agustus sampe September belum dibayar. 170 orang buruh dikeluarkan dan yang dibayar hanya 26 orang,” katanya.
Markus Sabir (65), bekerja sejak 2011. Ia diberhentikan tahun lalu, 2022. Biasa menyapu dari Tanjung Mas hingga di kantor Walikota.
“Diberhentikan langsung, kitong disuruh tra usah kerja. Dia (pimpinan vendor) yang ambil kebijakan begitu. Jumlah 12 orang. Pas lagi kerja baru dikasih keluar. Ya, pasti marah,” ujar Sabir.
Perlu Kebijakan
Nasib buruk yang menimpa para buruh kebersihan itu belakangan menjadi buah bibir di tengah masyarakat. Tak pelak pula datang simpati berbagai pihak. Apalagi hak-hak mereka makin hari makin tidak jelas.
Masalah ini mesti segera dibijaki pemerintah daerah.
Nova Sroyer, aktivis perempuan yang setia mendampingi para buruh, meminta agar upah tenaga kebersihan kota Sorong segera dikembalikan ke dinas untuk akhiri permasalahan.
“Para buruh ada masalah dengan pihak vendor, terutama upah kerja. Pemerintah daerah harus tarik kembali saja karena sedang bermasalah. Nanti kalo masalahnya semua sudah diselesaikan barulah ditender lagi,” ujarnya menjawab sejumlah wartawan di depan kantor Walikota.
Sroyer akui, upah bagi puluhan petugas kebersihan yang diberhentikan sepihak sangat tidak layak. Tidak sesuai kontrak awal.
Diharapkan, mereka bisa kembali bekerja demi menopang ekonomi keluarganya. Apalagi, anak-anaknya masih duduk di bangku sekolah.
Setelah rentetan pemecatan sepihak puluhan buruh kebersihan itu, ia sebutkan kini hanya tinggal beberapa orang saja. Akibatnya, beban kerja mereka bertambah berat lantaran kurang tenaga.
Pemkot Sorong harus mengambil kebijakan tepat mengatasi persoalan. Panggil dan evaluasi kembali vendor yang bertindak tidak manusiawi itu. []