SORONG, SUARAPAPUA.com — Pemerintah kabupaten (Pemkab) Tambrauw, Papua Barat Daya, bersama sejumlah mitra menggelar focus group discussion (FGD) di Hotel Vega, kota Sorong, Sabtu (16/9/2023), membahas implementasi peraturan daerah (Perda) nomor 5 dan 6 tentang kabupaten konservasi serta pengakuan masyarakat hukum adat Tambrauw.
Dalam FGD itu dilakukan juga penandatanganan kerja sama dengan sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Sepus Fatem, staf ahli bupati Tambrauw bidang sumber daya alam dan masyarakat hukum adat, mengatakan, masih banyak tugas yang belum dikerjakan terutama mengidentifikasi sebaran marga di kabupaten Tambrauw.
“Tugas kita berkaitan dengan identifikasi, verifikasi dan penetapan wilayah adat marga hingga suku,” kata Sepus Fatem di sela-sela kegiatan FGD.
Langkah ini juga dilakukan berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri dan beberapa aturan turunan lainnya. Kata Fatem, adanya Perda nomor 5 dan 6 memberi ruang bagi pemerintah dan mitra agar memberikan pelayanan kepada masyarakat adat.
“Identifikasi penting bagi kemaslahatan masyarakat hukum adat di Tambrauw. Masyarakat adat punya kekayaan sumber daya alam yang harus dikelola agar menjamin masa depan mereka,” ujarnya.
Mousche Woria, kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) kabupaten Tambrauw, mengatakan, Pemkab Tambrauw menyambut baik kehadiran LSM atau Non-Governmental Organization (NGO). Menurutnya, banyak program pemerintah yang bisa dibantu oleh LSM.
“Pemerintah daerah hanya perlu menyampaikan apa yang harus dikerjakan. Nanti teman-teman LSM atau NGO yang laksanakan, karena kapabilitas mereka tidak diragukan lagi,” kata Woria.
Woria berharap dengan adanya kerjasama antara Pemkab Tambrauw dan LSM dalam mitra pembangunan bisa bersinergi dengan baik untuk pengembangan kabupaten Tambrauw lebih baik kedepan.
“Sehingga diharapkan lewat kerjasama yang telah ditandatangani, LSM atau NGO dapat membantu pemerintah kabupaten Tambrauw dalam setiap pembangunan.”

Sementara itu, Vincentius Paulinus Baru, ketua Lembaga Masyarakat Adat Tambrauw (LEMATA), menyampaikan harapan agar hasil pertemuan di Sorong harus direalisasikan hingga menyentuh masyarakat adat di kabupaten Tambrauw.
“Kita dukung masyarakat hukum adat, namun harus turun hingga ke akar rumput. Terutama empat suku besar di Tambrauw,” ujarnya.
Di kabupaten Tambrauw, jelas Paulinus, didiami empat suku besar, yakni Abun, Miyah, Mpur, dan Ireres. Empat suku besar inilah yang memiliki otoritas tanah adat ada di marga atau keret di wilayah Tambrauw.
“Kami minta agar pemerintah daerah dan para mitra pembangunan harus bisa mendorong pemetaan sebaran marga,” pintanya.
Pada kesempatan yang sama, Paulinus juga meminta agar pemerintah bisa berkontribusi anggaran ke setiap suku agar mendorong musyawarah adat. Diakuinya, pemerintah selama ini berbicara soal konservasi, namun di level bawah masyarakat tidak merasakan dampak.
“Jangan salahkan masyarakat bila ada muncul tambang-tambang di Tambrauw. Kalau di atas kenyang dan masyarakat adat lapar, otomatis kita tidak bisa hindari hutan adat di Tambrauw akan dibuka menjadi areal tambang,” lanjut Paul.
Sekretaris Komda Pemuda Katolik Papua Barat itu juga menyarankan agar LSM atau NGO tidak melakukan penumpukan kerja. Katanya, dari hasil prensentasi, rupanya ada beberapa LSM atau NGO yang bekerja di wilayah ataupun kelompok yang sama, namun hasilnya belum maksimal.
“Banyak wilayah dan kelompok masyarakat yang membutuhkan pendampingan. Saya berharap kedepannya nanti kerja-kerja LSM atau NGO ini dapat menyebar di setiap wilayah. Yang perlu kami tekankan adalah utamakan program kerja yang memihak dan tidak merugikan masyarakat adat di Tambrauw,” tegasnya. []