SORONG, SUARAPAPUA.com — Sekolah Menengah Pertama (SMP) Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Kota Sorong sudah puluhan tahun menjadi sekolah bengkel dengan menampung siswa pindahan bahkan karena dikeluarkan dari sekolah lain lantaran tidak lancar membaca, banyak alpa, dan anak-anak yang sulit diatur atau dikatakan nakal.
Gassing, salah satu guru di SMP PGRI yang telah mengabdi kurang lebih 20 tahun, menolak anggapan masyarakat bahwa SMP PGRI adalah sekolah buangan. Menurutnya, SMP PGRI adalah sekolah bagus karena selalu menampung anak-anak yang dibuang dari sekolah lain akibat belum lancar baca-tulis, tidak naik kelas, dan yang nakal hingga dikeluarkan pihak sekolah yang menurut masyarakat berstandar dan terkenal.
“Orang bilang sekolah buangan, tetapi kami bilang bengkel. SMP PGRI bukan sekolah pembuangan. Justru PGRI sekolah yang paling bagus. Saya anggap ini sama dengan sekolah lain. Anak-anak yang sudah dibuang, ditelantarkan, dihiraukan sekolah yang dianggap bagus malah tidak dibina. Anak-anak yang dibuang ke SMP PGRI, kami para guru di sini seperti las. Kami bina anak-anak dan usahakan yang terbaik bagi mereka hingga tamat. Kalua ada anak sulit diatur dan sering malas sekolah, kami cari alternatif lain. Kami tidak bisa langsung keluarkan anak itu karena nasipnya masih panjang,” tutur Gassing saat dijumpai suarapapua.com di kantin SMP PGRI, Kamis (11/1/2024).
Senada dikemukakan Kalasina Talutu, seorang guru asal Ambon yang telah mengabdi sebagai guru Aparatur Sipil Negara (ASN) sejak tahun 1990 di Sorong.
Ia menyebut SMP PGRI adalah sekolah swasta di pinggiran kota Sorong yang sering menyelamatkan anak-anak Papua dan non Papua yang dibuang sekolah-sekolah terkenal.
Anak-anak yang nakal, malas sekolah, dan yang tidak naik kelas, kata Kalasina, mereka dibuang ke SMP PGRI. Di sekolah inilah meski dengan keterbatasan tenaga guru dan fasilitas, para guru dengan sabar membimbing anak-anak hingga tamat SMP.
“Kami terima anak-anak Papua dan non Papua yang dibuang dari sekolah-sekolah terkenal di kota Sorong. Kami sayang semua anak. Kita bina mereka dengan sabar. Kita ajak orang tua mereka bercerita apabila ada masalah di lingkungan sekolah, kasih nasehat anak-anak, dan ditutup dengan doa. Biasanya kami tidak pakai kata-kata kasar, apalagi tindakan fisik. Itu justru akan menambah masalah pada anak didik,” tuturnya.

Semuel Y. Sembay, kepala SMP PGRI kota Sorong, berharap, pemerintah daerah dalam hal ini Dinas Pendidikan tidak menganaktirikan para guru dan siswa-siswi, termasuk fasilitas di SMP PGRI karena setiap anak didik hadapi pelajaran dan kurikulum yang sama serta tujuannya tidak beda yakni membangun sumber daya generasi penerus Papua.
“Kami kurang tenaga guru. Guru matematika, dan mata pelajaran lainnya. Kami sudah menyurat ke dinas juga belum ada respons. Orang dinas pernah kasih kita format permintaan guru. Kami isi guru-guru apa saja yang kita butuhkan. Cuma sampai sekarang belum ada informasi,” kata Sembay.
“Harapannya, dinas perhatikan sekolah-sekolah yang ada di pinggiran kota karena semua hadapi pelajaran dan kurikulum yang sama dan semua mau membangun anak-anak bangsa. Kalau ada pelatihan tertentu, semua sekolah harus ikutkan. Jangan hanya dari sekolah itu-itu saja yang selalu diikutkan dalam kegiatan pengembangan kapasitas guru,” tandasnya.

Diketahui, SMP PGRI Kota Sorong didirikan 1 Desember 1981. Gedung sekolah dibangun di atas tanah seluas 4,400 m². Hingga kini terdapat 8 ruang kelas dan satu gedung perpustakaan. []