JAYAPURA, SUARAAPAPUA.com— Pemerintah dan Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (HAM RI) dinilai turut melanggar hak asasi 8.300 buruh mogok kerja PT Freeport Indonesia (PTFI).
Hal itu disampaikan Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua Emanuel Gobay dalam pernyataannya yang diterima suarapapua.com belum lama ini.
“Pemerintah Republik Indonesia telah mendapatkan 61 persen saham atas PT. Freeport Indonesia, mendapatkan sebagian wilayah kerja PT. Freeport Indonesia dan mendirikan Smelter di Gersik Jawa Timur, namun masih mengabaikan persoalan 8.300 buruh mogok Kerja PT. Freeport Indonesia,” kata Gobay.
Kata Gobay, perjuangan 8.300 buruh mogok kerja PT. Freeport Indonesia telah memasuki 7 7 tahun terhitung sejak 1 Mei 2017 hingga 1 Mei 2024. Namun manajemen PT. Freeport Indonesia maupun Pemerintah Indonesia terus mengabaikannya.
“Padahal 8.300 Buruh PTFI melakukan mogok kerja akibat gagalnya perundingan terkait impelementasi kebijakan fourlok atau merumahkan yang diberlakukan oleh manajemen PTFI secara sepihak disaat berusaha menentang ambisi Pemerintah Indonesia untuk mendapatkan 61 persen saham atas PTFI dan sebagian wilayah areal kerja PTFI hingga pendirian Smelter di Indonesia pada tahun 2017.”
LBH menilai pemerintah Negara Republik Indonesia mendapatkan 61 persen Saham atas PT. Freeport Indonesia dan sebagian wilayah areal kerja PTFI pada 2018 hingga Pendirian Smelter di Gersik Jawa Timur, namun sampai saat Pemerintah masih mengabaikan nasib 8.300 Buruh Mogok Kerja PTFI telah memasuki 7 tahun ini.
“Akibat dari pengabaiannya telah terjadi berbagai pelanggaran hak msasi manusia yang menimpa para Buruh PTFI yang melakukan perjuangan mogok kerja yang sah sesuai dengan Pasal 137 dan Pasal 140, UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan seperti adanya fakta 200an buruh mogok kerja meninggal dunia karena sakit namun tidak diobati akibat BPJS Ketenagakerjaan dicabut secara sepihak oleh Manajemen PTFI.”
“Selain itu, hak atas pendidikan bagi anak buruh mogok kerja juga terancam putus akibat dicabutnya upah dari para buruh mogok kerja secara sepihak oleh manajemen PTFI. Di atas itu, kesejahteraan para buruh mogok kerja juga terancam sehingga banyak hal buruh yang menimpa keluarga mereka yang sah,” terangnya.
Sikap manajemen PTFI mencabut upah dan BPJS para buruh mogok kerja PTFI tersebut jelas-jelas melanggar ketentuan “Dalam hal pekerja/buruh yang melakukan mogok kerja secara sah dalam melakukan tuntutan hak normatif yang sungguh-sungguh dilanggar oleh pengusaha, pekerja/buruh berhak mendapatkan upah” sebagaimana diatur pada Pasal 145, UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Namun hanya disaksikan begitu saja oleh Pemerintah Indonesia di Pusat, Propinsi Papua, Propinsi Papua Tengah maupun Kabupaten Mimika.
“Sikap Pemerintah Republik Indonesia di Pusat, Propinsi Papua, Propinsi Papua Tengah maupun Kabupaten Mimika di atas tentunya bertolak belakang dengan ketentuan, “Pembangunan ketenagakerjaan bertujuan: a. memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi; b. mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional daerah; c. memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan; dan d. meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya” sebagaimana diatur pada Pasal 4, UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,” jelasnya.
Oleh sebab itu perlunya Komnas HAM RI memberi perhatian untuk melindungi 8.300 para pekerja yang hak mereka telah diabaikan selama 7 tahun ini.
Ia mengatakan, sesuai amanat UU pasal 75 huruf b No.39 Tahun 1999 tentang HAM, Komnas HAM harus mempunyai peran yang besar. Apalagi kata dia ketika buruh di PHK sepihak pada 2017, 2018 dan 2020, mereka telah mengadukan persoalan mereka kepada Komnas HAM RI di Jakarta maupun Komnas HAM RI Perwakilan Papua di Jayapura, namun sejauh ini belum ada perkembangan apapun.
“Oleh karena itu bisa dibilang Pemerintah Republik Indonesia di Jakarta, Pemerintah Propinsi Papua, Papua Tengah dan Kabupaten Mimika serta Komnas HAM RI turut melakukan Pelanggaran HAM atas upah hak atas kesehatan (BPJS), hak atas pendidikan anak-anak, hat atas kesejahteraan dan hak 8.300 buruh Mogok selama 7 Tahun lamanya.”
Dengan demikian, dalam rangka menuntut pemenuhan hak 8.300 buruh PTFI maka LBH Papua selaku kuasa hukum para buruh menegaskan kepada :
- Presiden Republik Indonesia segera menyelesaikan persoalan 8.300 buruh PTFI sebagai bentuk implementasi tujuan pembangunan ketenagakerjaan yang diatur pada Pasal 4, UU No.13 Tahun 2003;
- Gubernur Papua dan Gubernur Papua Tengah segera berkoordinasi dengan Presieden RI untuk menyelesaikan persoalan 8.300 buruh pihak dengan manajemen PTFI sebagai bentuk implementasi tujuan pembangunan ketenagakerjaan Pasal 4, UU No13 Tahun 2003;
- Komnas HAM Republik Indonesia segera memediasikan persoalan antara 8.300 buruh dengan manajemen PTFI sesuai ketentuan Pasal 89 ayat (4), UU No. 39 Tahun 1999;
- Manajemen PTFI segera aktifkan BPJS dan ipah 8.300 buruh sesuai perintah Pasal 145, UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.