Siswa-siswi kelas XII SMA Negeri 2 Dogiyai merayakan kelulusannya dengan aksi coret baju seragam sekolah dengan piloks menyerupai warna bendera Bintang Kejora sembari mengarak kepala sekolahnya menggunakan kursi keliling kota Moanemani, kabupaten Dogiyai, Papua Tengah. (Ist)
adv
loading...

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Euforia perayaan kelulusan pelajar di Tanah Papua yang diekspresikan dengan mencoret baju seragam sekolah bermotif bendera Bintang Kejora yang ditangani aparat keamanan terjadi sejak tahun 2022 di Polresta Jayapura, Polres Jayapura dan Polres Nabire tahun 2023 dan kini tahun 2024 di Polres Nabire, menyisakan pertanyaan tersendiri terkait apa dasar hukum pihak kepolisian membatasinya.

Karena menurut Emanuel Gobay, direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya sebagaimana diatur pada Pasal 28e ayat (2) UUD 1945.

Dikemukakan, hingga kini belum ada satupun pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) maupun Undang-undang lainnya yang menegaskan bahwa “apabila ada warga negara yang menggunakan pakaian atau gelang ataupun noken ataupun benda-benda apapun yang bermotif Bintang Kejora dihukum dengan pidana”. Jika yang dijadikan dasar adalah Pasal 6 ayat (4) Peraturan Pemerintah nomor 77 tahun 2007 tentang Lambang Daerah yaitu desain logo dan bendera daerah tidak boleh mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan desain logo dan bendera organisasi terlarang atau organisasi/perkumpulan/ lembaga/gerakan separatis dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dimana dalam penjelasannya disebutkan bahwa yang dimaksud dengan desain logo dan bendera organisasi terlarang atau organisasi/perkumpulan/lembaga/gerakan separatis dalam ketentuan ini misalnya logo dan bendera Bulan Sabit yang digunakan oleh gerakan separatis di provinsi Aceh, logo Burung Mambruk dan Bintang Kejora yang digunakan oleh gerakan separatis di provinsi Papua, serta bendera Benang Raja yang digunakan oleh gerakan separatis di provinsi Maluku sebagaimana pada penjelasan Pasal 6 ayat (4) Peraturan Pemerintah nomor 77 tahun 2007, maka tidak ada ketentuan pidananya.

Selain itu, kata Emanuel, tentunya aneh sebab di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam bendera Bulan Sabit dijadikan lambang Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dijadikan lambang Partai Aceh dan sampai saat ini ketika bendera tersebut dinaikan oleh kader atau pengurus Partai Aceh tidak ada satupun yang ditangkap. Anehnya di Papua ketika pelajar mencoret baju seragam sekolah bermotif bendera Bintang Kejora ditahan dan bahkan ditembak dan mendapatkan tindakan kekerasan. Ini adalah fakta tindakan diskriminasi dalam penegakan Pasal 6 ayat (4) Peraturan Pemerintah nomor 77 tahun 2007.

Baca Juga:  Gugatan Keaslian OAP Bacalon Gubernur PBD Abdul Faris Umlati Dihentikan PTUN Jayapura

Untuk diketahui, bendera Bintang Kejora adalah bagian langsung dari sejarah politik Papua dimana dalam peraturan perundang-undangan terdapat pengakuan atas sejarah politik Papua yang harus diluruskan dengan cara membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) sebagaimana diatur pada pasal 46 ayat (1) dan ayat (2) huruf a Undang-undang nomor 2 tahun 2021 tentang Perubahan Undang-undang nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua yang sejak tahun 2001 sampai saat ini tahun 2024 belum dilakukan oleh pemerintah Republik Indonesia.

ads

Dengan demikian, kata Emanuel, sudah dapat disimpulkan bahwa tindakan penangkapan terhadap 1 mahasiswa dan 14 pelajar Nabire yang ditahan Polres saat konvoi kelulusan dari Kalibobo menuju Bumi Wonorejo yang kemudian dibebaskan pada Selasa (7/5/2024) malam serta aksi para pelajar SMA Negeri 2 Dogiyai yang merayakan kelulusan menggunakan busana bergambar bendera Bintang Kejora dan Kepsek bersama 4 guru SMAN 2 Dogiyai diperiksa terkait kejadian tersebut merupakan tindakan yang tidak berdasarkan karena tidak ada pasal dalam KUHP maupun Undang-undang lainnya yang mengatur tentang apabila ada warga negara yang menggunakan pakaian atau gelang ataupun noken ataupun benda-benda apapun yang bermotif bendera Bintang Kejora dihukum dengan pidana.

Berdasarkan fakta yuridis tersebut, LBH Papua dalam siaran persnya (9/5/5/2024) menyimpulkan bahwa fakta penangkapan dan klarifikasi yang dilakukan secara sewenang-wenang karena persoalan yang menjadi dasar penangkapan dan klarifikasi bukan merupakan tindak pidana dan dilakukan tanpa menggunakan mekanisme penangkapan dan pemanggilan sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1) UU nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Atas dasar tindakan penangkapan dan klarifikasi yang tidak prosedural karena bukan sebagai tindak pidana, maka jelas-jelas melaluinya menunjukkan fakta penyalahgunaan kewenangan yang merupakan tindakan pelanggaran kode etik karena bertentangan dengan ketentuan “Dalam pelaksanaan tugas, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dilarang menyalahgunakan wewenang” sebagaimana diatur pada Pasal 6 huruf q Peraturan Pemerintah nomor 2 tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Dalam fakta tindakan penangkapan dan klarifikasi yang tidak prosedural, anehnya adalah ada penyalahgunaan senjata api maupun tindakan kekerasan saat melakukan tindak penangkapan sewenang-wenang terhadap 14 pelajar di Nabire sesuai dengan pengakuan bahwa pihak Polri saat membubarkan paksa pelajar yang konvoi merayakan kelulusan Ujian Nasional SMK/SMA sederajat di Nabire melakukan penembakan terhadap pelajar menggunakan gas air mata, dan diduga melakukan penembakan peluru tajam. Dalam kejadian penangkapan itu dikabarkan ada yang mengalami luka. Pihak kepolisian juga memeriksa 14 pelajar dengan cara meminta para pelajar membuka baju, dimintai Handphone milik pelajar serta aksesoris lainnya.

Baca Juga:  Dewan Gereja Dunia Minta Pemerintah Indonesia Buka Akses Kemanusiaan Internasional Masuk Tanah Papua

Dalam konteks penangkapan terhadap 14 pelajar dan 1 mahasiswa yang dilakukan tanpa mekanisme sebagaimana diatur pada Pasal 18 ayat (1) UU nomor 8 tahun 1981, sehingga menjadi fakta tindakan penyalahgunaan kewenangan sebagaimana dilarang sesuai Pasal 6 huruf q Peraturan Pemerintah nomor 2 tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Kata Emanuel, tindakan penembakan terhadap pelajar menggunakan gas air mata dan diduga melakukan penembakan peluru tajam merupakan fakta tindakan pelanggaran “Barang siapa, yang tanpa hak memasukkan ke Indonesia membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan, atau mengeluarkan dari Indonesia sesuatu senjata api, munisi atau sesuatu bahan peledak, dihukum dengan hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman penjara sementara setinggi-tingginya dua-puluh tahun” sebagaimana diatur pada Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Darurat nomor 12 tahun 1951.

Sementara tindakan kekerasan terhadap pelajar merupakan tindakan yang masuk dalam kategori tindak pidana penganiayaan jika dilakukan oleh satu orang terhadap pelajar sesuai dengan ketentuan “Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah dan Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun” sebagaimana diatur pada Pasal 351 ayat (1) dan ayat (2) KUHP. Namun jika tindakan kekerasan terhadap pelajar dilakukan oleh lebih dari satu orang, maka masuk dalam kategori tindak pidana pengeroyokan sesuai ketentuan “Barang siapa dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun 6 bulan” sebagaimana diatur pada Pasal 170 KUHP.

Berdasarkan uraian tersebut, LBH Papua menyimpulkan bahwa peristiwa penangkapan terhadap 14 pelajar dan 1 mahasiswa di Nabire dan klarifikasi terhadap 4 orang guru di kabupaten Dogiyai semuanya dilakukan tanpa alasan yang jelas sebab tidak aturan pidana terkait “apabila ada warga negara yang menggunakan pakaian atau gelang ataupun noken ataupun benda-benda apapun yang bermotif Bintang Kejora dihukum dengan pidana”. Justru melalui tindakan penangkapan dan klarifikasi yang dilakukan secara sewenang-wenang menunjukan fakta tindakan pelanggaran kode etik Kepolisian. Dan anehnya ada oknum anggota Polisi di Resort Nabire yang melakukan tindakan pidana penyalahgunaan senjata api serta tindak pidana penganiayaan atau tindak pidana pengeroyokan terhadap pelajar di Nabire.

Baca Juga:  HRM Melaporkan, Sebanyak 79.867 Warga Sipil Papua Masih Menjadi Pengungsi Internal

Dengan demikian, semua oknum pelaku pelanggaran kode etik Kepolisian dan tindak pidana wajib diproses hukum demi memenuhi hak atas keadilan bagi para korban sembari mewujudkan prinsip “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil” sebagaimana diatur pada Pasal 28d ayat (1) UUD 1945 serta perlakuan yang sama di hadapan hukum agar tidak terjadi kriminalisasi dan tindakan pelanggaran hukum hanya karena bendera Bintang Kejora di kemudian hari.

Oleh karena itu, LBH Papua menggunakan kewenangan yang diberikan sesuai ketentuan “Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan lainnya, berhak berpartisipasi dalam perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia” sebagaimana diatur pada Pasal 100 Undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menegaskan:

1. Presiden Republik Indonesia segera membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) untuk melakukan pelurusan sejara politik Papua sesuai perintah Pasal 46 ayat (1) dan ayat (2) huruf a UU nomor 2 tahun 2021 agar tidak ada praktek kriminalisasi dan pelanggaran hukum terhadap masyarakat Papua menggunakan bendera Bintang Kejora;

2. Kapolri segera perintahkan Kapolda Papua mendidik anak buahnya untuk tidak menggunakan stigma bendera Bintang Kejora sebagai dasar tindak kriminalisasi maupun melegalkan tindakan pelanggaran hukum terhadap pelajar maupun warga Papua;

3. Kapolda Papua segera perintahkan Kapolres Nabire dan Kapolres Dogiyai untuk proses hukum oknum polisi pelaku pelanggaran kode etik terhadap guru di Polres Dogiyai serta 14 pelajar dan 1 mahasiswa di Nabire;

4. Kapolres Nabire segera proses hukum oknum polisi pelaku tindak pidana penyalahgunaan senjata api, tindak pidana pengeroyokan, dan tindakan penganiayaan terhadap para pelajar di Nabire.

Demikian siaran pers ini dibuat, semoga dapat dipergunakan sebagaimana mestinya. Atas perhatiannya disampaikan terima kasih. []

Artikel sebelumnyaMama-Mama Pedagang Papua di PBD Tuntut Keadilan dan Bangun Pasar Khusus
Artikel berikutnyaRencana Pemindahan Makam Ondofolo Dortheys Hiyo Eluay, Melanggar Hukum Pidana dan Asas Administrasi Pemerintahan