JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Peraturan perundang-undangan tentang partai politik (Parpol) terdapat hal yang menarik untuk dikaji dalam pelaksanaannya di Tanah Papua tentu harus merujuk ke Pasal 28 ayat 3 dan 4 Undang-undang nomor 2 tahun 2021 yakni dalam pasal yang mengatur tentang Parpol khususnya fungsi rekrutmen politik bagi kepentingan hak politik orang asli Papua (OAP).
Keberadaan Parpol juga diatur dalam Pasal 28 UU Otsus Papua, yang meliputi, pertama, penduduk Papua dapat membentuk partai politik. Kedua, tata cara pembentukan partai politik dan keikutsertaan dalam Pemilu sesuai dengan aturan perundang-undangan. Ketiga, rekrutmen politik oleh partai politik di Papua dilakukan dengan memprioritaskan masyarakat asli Papua. Keempat, partai politik wajib meminta pertimbangan kepada MRP dalam seleksi dan rekrutmen politik partainya masing-masing.
Hal itu mengemuka dalam diskusi bertema “Rekrutmen Politik di Tanah Papua” dengan narasumber John Gluba Gebze, John NR Gobai dan Frans Maniagasi, di Bakoel Cafe, Cikini Jakarta, Sabtu (11/5/2024).
Frans Maniagasi, pengamat politik lokal Papua, mengatakan, dalam Penjelasan Pasal 28 ayat 3 dan 4 disebutkan Ayat (3) Rekrutmen politik dengan memprioritaskan masyarakat asli Papua tidak dimaksudkan untuk mengurangi sifat terbuka partai politik bagi setiap warga negara Republik Indonesia. Ayat (4) Permintaan pertimbangan kepada MRP tidak berarti mengurangi kemandirian partai politik dalam hal seleksi dan rekrutmen politik.
Oleh karenanya, kata Maniagasi, diperlukan adanya PKPU Khusus Papua.
“Fakta yang kami ikuti selama ini ada banyak oknum merasa nyaman karena punya uang, bisa atur dengan penguasa daerah, atur dengan penyelenggara, sehingga lupa melihat ancaman di depan mata, dengan mengambil langkah antisipasi, membuat atau mendorong regulasi tentang rekruitmen politik sesuai Pasal 28 ayat 3 dan ayat 4, atau dengan menitipkan pasal atau ayat pada Undang-undang Parpol dan lainnya atau mendorong PKPU Khusus Papua, sehingga rekruitmen politik di Papua dapat mendasarkan diri pada pengaturan Pasal 28 ayat 3 dan ayat 4 Undang-undang nomor 21 tahun 2001 jo Undang-undang nomor 2 tahun 2021, dengan memberikan afirmasi kepada orang asli Papua pada pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan pemilihan kepala daerah di Tanah Papua. Partai politik harus memprioritaskan OAP,” tuturnya.
Terkait hal itu, lanjut Frans, dalam rekrutmen politik haruslah mendapatkan rekomendasi Majelis Rakyat Papua (MRP).
Bahkan menurutnya, tak hanya gubernur dan wakil gubernur saja, bupati dan wakil bupati serta walikota dan wakil walikota pun harus OAP.
“Sehingga harapannya partai politik tidak harus terbuka dan independen, tetapi untuk Papua mestinya menghormati hal mendasar disusunnya UU Otsus dan juga teori tadi,” ujar Maniagasi.
John Gluba Gebze, tokoh masyarakat Papua, menyatakan, perlu ada kebijakan dalam pemilihan legislatif untuk DPR RI dan DPD RI yakni adanya kuota dalam penentuan calon terpilih dengan skema 80% dan 20% sebagai bentuk afirmasi politik bagi orang asli Papua.
Begitupun kepala daerah, kata Gluba, bupati dan wakil bupati serta walikota dan wakil walikota di Tanah Papua wajib OAP.
“Ini sebagai bentuk integrasi bangsa. Dan untuk mewujudkan pikiran ini, maka diharapkan bapak Presiden Republik Indonesia dapat meninggalkan legacy dengan diatur dalam Perppu dan diharapkan KPU dapat membuat PKPU Khusus Papua,” kata Gebze.
Harapan tersebut ditegaskan kembali ketua Poksus DPR Papua dalam diskusi itu.
Gobai menekankan, perjuangan ini dilakukan bukan karena benci kepada sesama di Tanah Papua, tetapi agar ada pengakuan dan penghormatan hak politik yang lebih afirmatif bagi OAP.
“Selama ini kita hidup baik aman dan damai. Sebagian saudara non Papua di pemerintahan dan kontraktor juga ikut mengelola dan menikmati dana Otsus melalui kegiatan maupun proyek. Hanya perlu ada kesadaran saudara-saudari non Papua. Kita pasti tetap bersaudara.”
“Kami sadari, dalam Undang-undang Otsus 21 tahun 2001 dan perubahan kedua tahun 2021 itu jelas bahwa gubernur dan wakil gubernur orang asli Papua. Tidak ada pasal yang bilang bupati dan wakil bupati serta walikota dan wakil walikota adalah orang asli Papua, pasal itu dilakukan judisial review ke MKRI untuk mengoreksi atau menafsirkan dan menambahkan pasal dan ayat,” tandasnya.
Diskusi ini diadakan untuk mendukung perjuangan MRP se-Tanah Papua terkait perlunya afirmasi hak politik OAP. []