Diskusi laporan dokumentasi Hutan Adat Gelek Malak Kalawilis Pasa dengan topik peran dan kontribusi masyarakat adat menjaga dan mengelola hutan adat Papua, Jumat (17/5/2024) di hotel City View, kota Sorong, Papua Barat Daya. (Maria Baru - Suara Papua)
adv
loading...

SORONG, SUARAPAPUA.com — Yayasan Pusaka Bentala Rakyat melaunching buku laporan advokasi Gelek Malak Kalawilis Pasa, Jumat (17/5/2024) di hotel City View, kota Sorong, Papua Barat Daya.

Franky Samperante, direktur Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, saat membuka pengantar diskusi, menjelaskan, laporan buku advokasi komunitas Gelek Malak Kalawilis Pasa merupakan kerja pendokumentasian yang telah dilakukan pihak Pusaka sejak tahun 2022 lalu.

Buku setebal 103 halaman terdiri dari bagian pertama tentang pendahuluan, bagian kedua mengulas tentang Gelek Kalawilis Pasa dalam cengkeraman bisnis, ketiga menceritakan bagaimana Nekawilis mengamankan hutan adatnya, keempat tentang kontribusi Gelek Malak Kalawilis Pasa terhadap perlindungan keanekaragaman hayati, keharmonisan dan keberlanjutan hidup manusia, dan bagian terakhir tentang hutan Kalawilis Pasa dan manfaatnya dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam buku tersebut ditulis, Kalawilis Pasa merupakan nama hutan adat milik sub suku Moi Kelim, Gelek Malak Kalawilis Pasa secara administrasi pemerintahan terletak di distrik Sayosa, kabupaten Sorong, provinsi Papua Barat Daya.

Buku hasil laporan dokumentasi advokasi Yayasan Pusaka Bentala Rakyat. (Maria Baru – Suara Papua)

Hadir tiga penanggap dalam diskusi tersebut. Diantaranya ibu Lelian Komaling dari Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (BPSKL Maluku-Papua), Denis Aru (Bagian Hukum Setda kabupaten Sorong), dan Feky Wilson Mobalen, ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sorong Raya.

ads

Lelian Komaling menyampaikan, pada Juli 2024 mendatang akan dilakukan penetapan SK kawasan hutan adat Gelek Malak Kalawilis Pasa. Katanya, melepaskan hutan negara menjadi hutan adat butuh proses yang panjang yaitu verifikasi dan validasi subjek dan objek.

Baca Juga:  Festival Hutan Papua Upaya Melindungi Hutan Adat di Tanah Papua

“Bulan Juli penetapan SK kawasan hutan adat Gelek Malak Kalawilis Pasa. Hal ini tidak mudah, karena butuh proses yang panjang. Kami harus melakukan verifikasi dan validasi subjek dan objek, sehingga sudah ditetapkan dan tidak lagi ada konflik,“ jelasnya saat menanggapi buku laporan tersebut.

Lelian berpesan kepada pemerintah, masyarakat, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) jika status hutan negara milik Gelek Malak Kalawilis Pasa berubah menjadi hutan adat, maka hutan adat tersebut mesti dimanfaatkan dan diberdayakan untuk kesejahteraan masyarakat adat setempat.

“Jika nanti status hutan negara dirubah menjadi hutan adat Gelek Malak Kalawilis Pasa, maka hutan tersebut tidak hanya dilindungi, tetapi dimanfaatkan dan diberdayakan. Siapapun dari komunitas adat tidak jual tanah ataupun hutannya,” pesan Lelian.

Perlu diketahui bahwa di tahun 2021, Jhony Kamuru, bupati kabupaten Sorong, menerbitkan Surat Keputusan (SK) nomor 593.2/KEP.345/1X/Tahun 2021 tanggal 21 September 2021 tentang Pengakuan Hak Gelek Malak Kalawilis Pasa atas wilayah adat seluas 3.247 hektar. Penetapan keberadaan dan pengakuan hak masyarakat adat merupakan bagian dari kewajiban negara dan pelaksanaan Peraturan Daerah (Perda) kabupaten Sorong nomor 10 tahun 2017 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Moi di kabupaten Sorong, sebagaimana tertuang dalam Pasal 5, dengan tujuan untuk menyediakan dasar hukum dan menjamin terlaksananya penghormatan dan perlindungan oleh negara dan semua pihak terhadap keberadaan dan hak masyarakat adat Moi.

Meski statusnya sudah diakui, demikian ditulis di halaman 5, sejauh ini masih ditemukan adanya pemberian izin. Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) yang diterbitkan pemerintah ke perusahaan kayu, PT Hijau Papua Barat di kawasan hutan adat Kalawilis Pasa pada tahun 2023.

Baca Juga:  Kantor Distrik Waigeo Utara Terbakar, Diduga Buntut Dari Pergantian Kadistrik

Oleh sebab itu, Korneles Malak, perwakilan dari Gelek Malak, melalui forum diskusi, meminta dukungan pemerintah dan LSM untuk terus bersama-sama berjuang menolak masuknya perusahaan kayu tersebut.

“Kami tetap menolak perusahaan kayu atau sawit yang masuk. Kami mau jaga hutan tersisa ini untuk anak cucu. Kami tolak bentuk apapun. Kami mohon dukungan bapak ibu yang duduk di depan ini,” pintanya.

Menurut Max Binur, direktur Belantara Papua, laporan dokumentasi Hutan Adat Gelek Malak Kalawilis Pasa merupakan buku simponi harmoni yang bertutur tentang harmonisasi manusia Papua dan hutan Papua, dimana setiap tumbuhan, pohon, air, daun, hewan dan lainnya mempunyai nilai-nilai kehidupan yang sangat erat dengan manusia Papua.

“Buku yang sangat menarik karena dilaporkan secara detail relasi manusia dengan alam. Dalam laporan ini dituturkan dengan indah, sehingga kami yang mendengar pun menikmati ceritanya. Itu salah satu cara yang bisa dipakai untuk mengadvokasi masalah di Papua, jadi tidak hanya demo saja. Buku ini seperti tidak membahas masalah, tetapi menyampaikan harapan, menceritakan nilai-nilai lokal yang hidup di hutan Gelek Malak Kalawilis Pasa, mempunyai makna dan simbol dalam kehidupan sehari-hari kita sebagai orang Papua,” bebernya.

Binur berharap, negara melalui pemerintah daerah tidak hanya mengeluarkan SK tanpa kontrol, monitoring dan menyediakan ruang komunikasi interaktif pemerintah daerah dan masyarakat.

Baca Juga:  Deklarasi Tanah Injil, Perempuan Kebar: Gereja Harus Lawan Investasi!

“Kita terjebak SK. Ini dilematis. Banyak SK yang dikeluarkan, tetapi pemerintah kurang kontrol, monitoring, dan menyiapkan ruang interaktif diantara masyarakat dan pemerintah,” kata Max.

Pendapat berbeda dikemukakan Veky Wilson Mobalen, ketua AMAN Sorong Raya. Ia menilai negara melalui pemerintah daerah tidak serius melindungi masyarakat adat.

Kata Mobalen, di tangan kiri memberikan regulasi perlindungan, tetapi di tangan kanan menerima investasi yang merusak lingkungan dan tatanan sosial masyarakat adat. Oleh karenanya, masyarakat sendirilah ujung tombak dalam mengatasi semua kejahatan yang terjadi.

“Masyarakat adat Papua adalah subjek yang rentan dengan berbagai masalah. Mereka dikorbankan karena pemerintah muka dua. Satu memberikan perlindungan, tetapi muka satu lagi penjahat. Masyarakat adat sendiri yang menyelesaikan masalah sendiri. Tahu kapan lawan, lindungi dan menolak ajakan yang merusak lingkungan dan merugikan masyarakat adat,” tandasnya.

Sementara itu, Denis Aru, dari bagian Hukum Setda kabupaten Sorong, menambahkan, hal mendasar yang sebenarnya masyarakat Papua minta adalah perlindungan hutan dan tanahnya karena itu adalah lambang identitas rakyat Papua, bukan sekedar minta jabatan politik ataupun lainnya.

“Pemda tidak bisa sendiri. Kerja-kerja seperti ini membantu pemerintah. Perlindungan sesungguhnya yang diminta rakyat Papua adalah tentang hutan dan tanah. Itu adalah hak wilayah kita, kultur kita, dan identitas kita. Tidak punya tanah ataupun hutan, maka tidak punya identitas sebagai orang asli Papua,” ujar Denis. []

Artikel sebelumnyaLiga 3 Nasional: 16 Tim Lolos, Termasuk Dua Wakil Papua
Artikel berikutnya22 Mei 2024 Akan Dirayakan 130 Tahun Misi Katolik di Tanah Papua