JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Dianggap bertentangan dengan ajarannya, Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) menyatakan menolak privilese atau hak istimewa sosial untuk mengelola tambang yang diberikan presiden Joko Widodo kepada organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan di tanah air.
Pastor Marten Jenarut, Pr, sekretaris Komisi Keadilan dan Perdamaian, Migran, dan Perantau serta Keutuhan Ciptaan (KKPMPKC) KWI, mengatakan, Gereja Katolik selalu mendorong tata kelola pembangunan sesuai prinsip berkelanjutan.
“Pertumbuhan ekonomi tidak boleh mengorbankan hidup masyarakat dan kelestarian lingkungan hidup. Oleh karena itu, KWI sepertinya tidak berminat untuk mengambil tawaran tersebut,” kata Marten melalui keterangan tertulisnya ke suarapapua.com, Rabu (5/6/2024).
Dijelaskan, sejak KWI dibentuk pada 1927 sebagai lembaga keagamaan, perannya hanya berkaitan dengan tugas-tugas kerasulan diakonia (pelayanan), kerygma (pewartaan), liturgi (ibadat), dan martyria (kenabian).
Karena itu, kata Marten, KWI akan tetap konsisten sebagai lembaga keagamaan yang melakukan pewartaan dan pelayanan demi mewujudkan tata kehidupan bersama yang bermartabat.
“KWI selalu memegang prinsip kehati-hatian agar segala tindakan dan keputusan yang diambil tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip pelayanan Gereja Katolik yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, keadilan solidaritas, subsidiaritas, kesejahteraan umum, kebaikan bersama, serta menjaga keutuhan ciptaan alam semesta,” ujarnya.
Lanjut Marten, Gereja Katolik tak mengenal ormas-ormas keagamaan. KWI pun tak membawahi ormas keagamaan Katolik mana pun. Meski memang ada ormas keagamaan yang dibentuk masyarakat atas nama Katolik. Tetapi menurutnya, ormas itu juga tetap menjalankan ajaran Katolik.
“Gereja Katolik sangat mengharapkan supaya ormas-ormas dengan nama Katolik untuk taat terhadap prinsip spiritualitas dan ajaran sosial Gereja Katolik dalam setiap tindakannya,” ujar Marten.
Di kesempatan lain, Uskup Agung Jakarta, Mgr. Ignatius Suharyo Hardjoatmodjo, menyatakan, KWI tak akan mengajukan izin untuk usaha tambang seiring dengan disahkannya PP nomor 25 tahun 2024.
“Saya tidak tahu kalau ormas-ormas yang lain ya, tetapi di KWI tidak akan menggunakan kesempatan itu karena bukan wilayah kami untuk mencari tambang dan lainnya. Tugas dan pelayanan KWI kan jelas ya, tidak masuk ke sana [mengurus usaha tambang],” kata Kardinal Suharyo saat berkunjung ke Kanwil Kemenag DKI Jakarta, Rabu (5/6/2024).
Sebelumnya, presiden Jokowi memperbolehkan ormas keagamaan mengelola tambang. Hal itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomor 25 tahun 2024 tentang perubahan atas PP nomor 96 tahun 2021 tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batu bara (Minerba).
Peraturan yang diteken dan disahkan pada Kamis (30/5/2024) itu memberi prioritas kepada ormas keagamaan untuk memiliki wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK), sebagaimana diatur dalam Pasal 83A yang berbunyi, “Dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat, WIUPK dapat dilakukan penawaran secara prioritas kepada Badan Usaha yang dimiliki oleh organisasi kemasyarakatan keagamaan.”
PMKRI Juga Tolak
Sikap sama datang dari Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI).
Meski masuk dalam daftar salah satu ormas keagamaan yang mendapat jatah izin usaha pertambangan, PMKRI tegas menolak hal itu.
“Tidak ada pembicaraan soal penawaran pemerintah dalam pengelolaan tambang dengan PMKRI selama ini. Kalau pun ada penawaran, PMKRI pasti menolak,” kata Tri Natalia Urada, ketua presidium pengurus pusat PMKRI, dalam keterangan tertulisnya, Rabu (5/6/2024).
Pertimbangan paling mendasar, terang Natalia, karena PMKRI tak ingin mencederai independensi sebagai organisasi kemahasiswaan.
“Kami tidak mau independensi PMKRI sebagai organisasi kemahasiswaan, pembinaan, dan perjuangan terkooptasi dengan kepentingan-kepentingan usaha tambang. Berbagai persoalan yang diakibatkan oleh operasi industri pertambangan akan terus kami kritisi,” ujarnya.
Bagi PMKRI, pemberian izin tambang buat ormas keagamaan itu juga akan beresiko menimbulkan konflik agraria baru dengan masyarakat dan mempertajam ketimpangan sosial.
“PMKRI tidak memiliki kapasitas SDM dan teknologi yang mumpuni untuk mengurus tambang. Tetapi sebagai elemen masyarakat sipil, kami memiliki komitmen dan sikap yang konsisten untuk melakukan checks and balance atas berbagai kebijakan yang anomali dan ketimpangan lainnya yang dapat merugikan masyarakat, terutama terhadap industri-industri ekstraktif seperti tambang,” tuturnya.
Data dari Komite Pembaruan Agraria (KPA), sepanjang 2023 telah terjadi 32 letusan konflik agraria terkait tambang di 127.525 hektare lahan dengan 48.622 keluarga dari 57 desa terdampak tambang.
“Kami berharap pemerintah menghentikan rencana ini dengan segera merevisi PP nomor 25 tahun 2024,” ujar Natalia.
Selain KWI dan PMKRI, dari agama Katolik, sebagaimana ramai diberitakan, masuk daftar ormas keagamaan yang mendapatkan jatah WIUPK dari pemerintah adalah Wanita Katolik Republik Indonesia (WKRI), dan Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA).
Begitu pula dengan sejumlah ormas keagamaan dari Islam, Hindu, Buddha, Kristen Protestan, dan Khonghucu. []