Enam ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) se-Tanah Papua berpose bersama presiden Joko Widodo (Jokowi) usai pertemuan di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (12/6/2024). (Ist)
adv
loading...

Oleh: Titus Pekei, SH, M.Si

)* Peneliti, Akademisi, yang juga Penggagas Noken Papua di UNESCO

Anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) sejatinya telah memahami keberadaan MRP untuk apa? Atas nama lembaga kultural Papua oleh oknum anggota MRP, harus bergerak demi siapa?.

Perlu didahulukan pertanyaan ini menyikapi pergerakan MRP terutama setelah diterima presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan, Jakarta, dua hari lalu, yang kemudian berkepanjangan diskusi di jagat maya setelah media beritakan poin-poin yang disampaikan dalam pertemuan terhormat itu.

Perjuangan MRP selama beberapa waktu terakhir sudah jelas, minta pemerintah pusat tetapkan aturan mengenai calon kandidat di provinsi, kabupaten dan kota hanya orang asli Papua (OAP). Banyak yang mendukung hal ini, hanya beberapa saja yang keberatan dengan dalil hak setiap warga negara, sekalipun Undang-undang Otsus Papua sudah berlaku sejak tahun 2001.

ads

Keberadaan MRP dengan pergerakannya menjadi perdebatan panjang dua hari terakhir setelah satu dua poin dititipkan dalam pertemuan dengan presiden Jokowi.

Menyampaikan aspirasi pemekaran daerah otonom baru (DOB) baik kabupaten, kotamadya bahkan provinsi, mengundang perdebatan khalayak. Publik menilai ini tindakan buta, menyimpan dari substansi lembaga kultural MRP di Tanah Papua.

Media mengabarkan bahwa ketua Asosiasi Majelis Rakyat Papua se-Tanah Papua, Agustinus Anggaibak, hadir di Istana Kepresidenan Republik Indonesia, bersama lima ketua MRP lainnya, mengaku bahwa soal pemekaran juga telah disampaikan kepada presiden Jokowi dalam pertemuan itu.

Baca Juga:  Mempersoalkan Transmigrasi di Tanah Papua

Kepada wartawan dalam sesi konferensi pers usai pertemuan, dia bicara hal itu dengan mengklaim adakah aspirasi rakyat. Lalu, rakyat Mimika mana yang minta mekarkan tiga DOB?

Pernyataan seorang publik figur yang juga ketua MRP Papua Tengah mengundang debat luar biasa. Secara umum dianggap telah salah melangkah karena bukan tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) dari lembaga kultural. Selain jual wibawa diri dan lembaga, juga dicap telah menelanjangi Tanah Papua. Siapa beri kuasa bicara pemekaran? Mengapa tidak pertegas saja hak-hak masyarakat adat perlu diakui negara? MRP oleh karenanya bahkan dituding kehilangan “gigi” oleh karena kepentingan pribadi dan kelompok berkepentingan.

Wajar bila kemudian banyak kalangan sedang perguncingkan “poin titipan” dalam pertemuan dengan presiden Jokowi. Ini makin kerdilkan kewenangan MRP, meski juga minta kewenangan awasi implementasi UU Otsus Papua. Makin melumpuhkan, bukannya mau melindungi eksistensi masyarakat adat sebagai roh dari pembentukan MRP.

Oleh karena dampaknya buruk di kemudian hari, sebaiknya segera ditarik kembali poin pemekaran DOB yang dititipkan dalam perjuangan lebih layak yakni meminta perubahan regulasi tentang persyaratan calon kandidat dalam Pilkada serentak tahun 2024.

Baca Juga:  Perjuangan Papua Untuk Membela Diri

Asosiasi MRP se-Tanah Papua membawa aspirasi pemekaran atau penambahan DOB itu tindakan bodoh, tindakan sepihak tanpa aspirasi rakyat, lagi pula bukan ranahnya.

Fakta hari ini masyarakat memikirkan upaya membangun ke arah yang lebih baik setelah dua tahun dimekarkan, justru ada oknum lain minta pemekaran lagi. Aneh, bukan?

Ditambah lagi ketika ramai diwartakan media massa, muncul pandangan berbeda bahwa ini kemungkinan ada tujuan terselubung. Tidak lain, target final melumpuhkan ekosistem ekologi Papua. Maka, MRP terus didorong kian lumpuh dalam pemajuan daerah apalagi di DOB berusia dua tahun ini.

Keberadaannya dibuat seperti botol pecah melalui agennya yang dipersiapkan, dengan harapan untuk mencapai target pihak tertentu yang berambisi fatal: pemusnahan ekosistem hutan dan manusia.

Menuju rancangan busuk itu, Jakarta memilih orang-orang khusus, kalau tidak mau disebut sebagai orang buta paham lolos sebagai anggota MRP. Pahamlah dari sisi ini, lagi pula untuk menyukseskan rencana targetnya: jangka pendek, jangka menengah, hingga jangka panjang.

Pertemuan tersebut apalagi dengan poin titipan tidak dapat dibenarkan terjadi. Rakyat tidak pernah memberikan aspirasi kepada oknum anggota MRP terkait pemekaran DOB.

Baca Juga:  Adili Masalah Yang Tak Bisa Dibuktikan Hukùm Positif Dengan Peradilan Adat di Papua

Sebaiknya ditarik saja agar tidak bikin gaduh situasi di tengah kehidupan masyarakat Papua. Presiden Jokowi pun tidak serta merta menerimanya, apalagi mau sahkan. Tidak mungkin. Sebab dibatasi waktu kepemimpinannya, tentu pula menyesuaikan kondisi menyeluruh.

Sekali lagi, Agustinus Anggaibak selaku ketua MRP Papua Tengah hadir di sana bukan untuk minta pemekaran DOB, tetapi semua kalangan sudah tahu bahwa Asosiasi MRP se-Tanah Papua sedang berjuang agar pemerintah Indonesia mengakomodir hak politik jabatan gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, wakil walikota adalah putra-putri asli Papua atau OAP. Hal inilah yang aspirasi murni. Namun adanya poin lain itu aspirasi pribadi yang boleh dikatakan titipan perusak Tanah Papua.

Ketimbang mengemis pemekaran DOB, semestinya MRP se-Tanah Papua di hadapan kepala negara bicara tentang pengungsian warga masyarakat adat Papua. Di pengungsian nasib anak-anak dan perempuan sumber Noken Papua sedang merana, kehilangan hak hidup, kehilangan segalanya. Ini akibat Tanah Papua menjadi daerah konflik antara TNI Polri versus TPNPB OPM yang belum usai dan masih terus terjadi di Tanah Papua. (*)

Artikel sebelumnyaMasyarakat Nduga Tertekan Konflik Berkepanjangan, Begini Saran Anggota DPRP
Artikel berikutnyaKPU se-Papua Ditantang Gelar Debat Publik Pilkada 2024