SORONG, SUARAPAPUA.com — Masyarakat adat Moi sub suku Moi Maya di kampung Wailen, distrik Salawati Tengah, kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya, menolak dua perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan kelapa dalam dan perdagangan karbon.
Marga Moifilit dan Kalapain di kepulauan Salawati menolak PT Pesona Karya Alam (PKA) yang bergerak dalam penanaman komoditi perkebunan kelapa dalam, dan PT Perkasa Bumi Hijau (PBH) Unit I yang akan membuka lahan usaha perdagangan karbon berupa jasa lingkungan.
Penolakan masuknya dua perusahaan itu disampaikan secara langsung pada 8 Juli 2024 saat tatap muka bersama perwakilan PT PKA di balai kampung Wailen, distrik Salawati Tengah.
Asna Moifilit, perwakilan perempuan marga Moifilit, mengatakan, sesuai hasil keputusan dalam musyawarah adat marga Moifilit dan Kalapain, para orang tua telah berkomitmen untuk menjaga, melindungi dan mewariskan tanah adat kepada generasi penerus marga Moifilit dan Kalapain.
“Ini hasil kesepakatan dari kita punya orang tua. Hutan dan tanah ini harus dijaga dan lindungi dengan baik agar kami generasi tidak kehilangan tanah di kemudian hari,” ujar Asna kepada suarapapua.com di kampung Wailen usai pertemuan.
Hutan sebagai sumber kehidupan bagi marga Moifilit dan Kalapain, lanjut Asna, para orang tua dari kedua marga berpesan agar generasi yang tidak berafiliasi dengan pihak perusahaan manapun.
“Orang tua kami dari kedua marga berpesan agar kami melindungi wilayah adat kami dari ancaman perusahaan serta menjaga hutan dan tanah warisan nenek moyang kami,” tegasnya.
Upaya penolakan digencarkan pemilik hak ulayat, tetapi pihak perusahaan terus menerus juga berusaha agar mendapatkan izin dari pemilik ulayat. Kata Asna, sudah ada beberapa perusahaan yang membujuk dan merayu marga Moifilit dan Kalapain agar melepaskan tanah adat mereka.
“Sebelum PT Pesona Karya Alam ada PT Perkasa Bumi Hijau Unit I yang akan melakukan proyek perdagangan karbon di wilayah adat kami,” bebernya.
Dengan melihat dinamika yang terjadi, Asna meminta lembaga adat Moi, Majelis Rakyat Papua (MRP) provinsi Papua Barat Daya, pemerintah kabupaten Sorong dan Raja Ampat untuk tidak memberikan ruang bagi perusahaan beroperasi di wilayah adat mereka.
“Kami sub suku Moi Maya bagian dari suku Moi yang memiliki peraturan daerah (perda) masyarakat hukum adat. MRP, lembaga adat Moi dan pemerintah harus menjaga dan melindungi tanah adat kami sesuai aturan hukum yang telah dibuat,” ujar Asna.
Sementara itu, Ria Kalapain, perwakilan marga Kalapain, mengatakan, perempuan tak bisa dipisahkan dengan hutan.
“Dari nenek moyang hingga kami saat ini, hutan ini tempat kami cari makan, Di sini adat dusun sagu, tempat orang tua kami berkebun dan berburu dan tempat mendapatkan obat-obatan secara gratis,” tuturnya.
Ria menyatakan, sebagai perempuan yang kehidupannya tak dapat dipisahkan dari hutan menolak segala bentuk perusahaan yang hendak masuk di wilayah adat mereka.
“Kami tetap menolak perusahaan yang masuk di tanah adat kami,” tegas Ria.
Sebagai informasi, PT PKA telah sosialisasikan rencana membuka hutan sekitar 4.000 hektare. Sedangkan PT PBH unit I berencana menggarap hutan seluas 69.768 hektare. Sosialisasi dua perusahaan itu berlangsung sejak 2023. Saat sosialisasi, masyarakat adat setempat telah menyatakan menolak perusahaan beroperasi. []