UU Otsus Kembali Digugat, Apakah MK Memihak Pada OAP?

0
798
Tim Advokasi Konstitusi dan Demokrasi saat mengajukan gugatan UU Otsus Papua ke Mahkamah Konstitusi. (Ist)
adv
loading...

SORONG, SUARAPAPUA.com– Undang-undang Otonomi Khusus (Otsus) Papua resmi kembali digugat melalui mekanisme Yudisial Review di Mahkamah Konstitusi (MK).

Gugatan judisial review UU Otsus Papua didaftarkan ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada, Senin (15/7/2024) oleh Koordinator Tim Advokasi Konstitusi dan Demokrasi setelah mendapatkan mandat kuasa dari Bastian Buce Ijie dan Zakarias Jitmau.

Pasal yang digugat yakni Undang-Undang Nomor 21 tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua dan UU Nomor 2 tahun 2021 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 21 tahun 2001 dan Pasal 13 UU Nomor 21 tahun 2001.

Serta pada UU Nomor 2 tahun 2021 Pasal 1 ayat 22, Pasal 6A, Pasal 20 ayat 1, Pasal 20 ayat 1 huruf a, Pasal 28 ayat 3 dan ayat 4.

Koordinator Tim Advokasi Konstitusi dan Demokrasi, Amus Yanto Ijie menilai beberapa pasal pada UU 2/2021 telah menghilangkan hak konstitusional Orang Asli Papua (OAP).

ads
Baca Juga:  Mahasiswa Papua di Sulawesi Utara Tolak Transmigrasi

“Pasal-pasal ini berpotensi menghilangkan hak konstitusional Orang Asli Papua untuk dapat mengisi jabatan eksekutif dan legislatif di tanah Papua dan menjalankan pemerintahannya sendiri,” tegas Yanto dalam pernyataannya yang terima suarapapua.com (16/7/2024).

Dia mengatakan, dalam aturan saat ini tidak dijelaskan secara rinci mengenai tafsir terkait anggota partai politik dan orang yang berhak mencalonkan sebagai bupati, gubernur, wakil gubernur, anggota DPRD merupakan masyarakat asli Papua.

Yanto menyebutkan bahwa pasal 1 ayat (22) UU 2/2021 terdapat frasa yang bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum, yakni frasa orang asli Papua adalah mereka yang berasal dari rumpun Melanesia, yang terdiri dari suku-suku asli di Provinsi Papua dan atau orang yang diterima dan diakui sebagai orang asli Papua oleh masyarakat adat Papua.

Yanto mempermasalahkan pada poin orang yang diterima dan diakui sebagai orang Papua asli. Dia menggugat poin itu dihilangkan karena dianggap multitafsir dan berpotensi dipakai oleh orang luar Papua yang mencari jabatan.

Baca Juga:  Tragedi Berdarah di Dekai: “Saya Tidak Terima Adik Tobias Silak Ditembak Mati”

“Otsus ini sasarannya kepada orang asli Papua,” tuturnya.

Gugatan MRP Papua Pernah Ditolak MK
Gugatan terhadap Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus) Papua bukan yang baru pertama kali dilakukan. Gugatan yang sama juga pernah diajukan oleh Majelis Rakyat Papua pada tahun 2021 silam.

Namun, sayangnya sidang yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman menolak perkara nomor 47/PUU/XIX/2021 yang diajukan Majelis Rakyat Papua (MRP). Pasalnya MK menilai permohon tidak memiliki legal standing untuk mengajukan judicial review.

MK saat itu berpendapat bahwa pemohon MRP tidak dapat menjelaskan anggapan kerugian hak konstitusionalnya seperti isi gugatan baik yang bersifat faktual, spesifik, atau paling tidak ada hubungan sebab akibat.

“Menolak permohonan pemohon selain dan selebihnya,” ucap Ketua MK Anwar Usman dalam sidang pengucapan putusan di Gedung MK.

Baca Juga:  Pilot Philips Mark Mehrtens Dibebaskan, Menlu Selandia Baru: Kami Senang dan Lega

Timotius Murib, Ketua Majelis Rakyat Papua menjelaskan hasil putusan menolak permohonan pemohon di MK, meski demikian MRP masih melihat UU Otsus berpeluang merugikan rakyat Papua.

“MRP menguji 8 pasal diantaranya pasal 6 ayat 2, Pasal 6A, Pasal 28, Pasal 38, Pasal 59 ayat 3, Pasal 68A, Pasal 76 dan Pasal 77 UU Otsus Papua, dimana pasal-pasal ini berpotensi merugikan orang asli Papua,” kata Murib.

MRP melihat keputusan MK hari ini tidak terlalu memihak ke orang asli Papua. Murib menjelaskan dengan pembacaan putusan MK terkait judicial review, ada tiga keputusan diantaranya pertama semua pasal tidak dibacakan keputusan yang berpihak kepada versi MK maupun versi MRP.

“Kedua, menurut ketua MK bahwa di internal 9 hakim MK ada pro dan kontra dengan hasil putusan judicial review dan ketiga UU nomor 2 tahun 2021 sudah sah untuk daerah khusus seperti di Papua,” ujar Murib.

Artikel sebelumnyaWajib Jaga Hutan Sumber Kehidupan Marga Moifilit dan Kalapain
Artikel berikutnyaPengacara Kanak Ingatkan Bahwa ‘Ideologi Separatis’ Akan Berlanjut Menciptakan Ketidaksetaraan di Kaledonia Baru