JAYAPURA,SUARAPAPUA.com— Kunjungan Presiden Indonesia Joko Widodo pada 23 Juli 2024 di Jayapura, West Papua dalam rangka memperingati Hari Anak Nasional Indonesia di Istora Papua Bangkit sebagai bentuk pelecehan dan penghinaan ditengah sebanyak 62.000 orang Papua masih sedang mengungsi.
Sebagian besarnya adalah ibu-ibu dan anak-anak di delapan wilayah konflik, Kabupaten Intan Jaya, Maybrat, Pegunungan Bintang, Nduga, Puncak Papua, Yahukimo, Puncak Papua serta Paniai di tanah Papua.
Pernyataan itu disampaikan Presiden Eksekutif United Liberation Movement for WestPapua (ULMWP) Menase Tabuni belum lama ini.
Tabuni menegaskan, “Selama 10 tahun Presiden Jokowi berkuasa, lebih dari 15 kali melakukan kunjungan safari wisata pembangunan di tanah Papua. Kunjungan itu dilakukan Jokowi di atas puing-puing darah, tulang belulang dan penderitaan rakyat bangsa Papua.”
“Selama ini berkali-kali mengunjungi West Papua, tetapi tidak perna ada dampak dan manfaatnya untuk orang asli Papua. Ia tidak mempunyai peta jalan untuk selesaikan apa yang menjadi akar masalah konflik Politik dan HAM di West Papua, sementara pada saat yang sama Pemerintah Indonesia sibuk urus masalah konflik di negara lain, seperti Palestina, Myanmar dan lainnya,” tukas Tabuni.
Ia mengatakan, pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan yang dibangun Presiden Indonesia merupakan upaya mempercepat migrasi pendudukan Indonesia masuk di tanah Papua.
Jalan dan jembatan ini juga sebagai siasat untuk mempelancar proses pembangunan infrastruktur sipil dan secara khusus untuk memperlancar akses kepada pihak aparat TNI dan Polri melakukan operasi di wilayah-wilayah konflik di West Papua.
Kata Tabuni, Presiden Jokowi perlu ketahui bahwa sejak dirinya berkuasa, tanah Papua sebagai hutan tropis terbesar ketiga di dunia, setelah hutan Amazon di Brazil dan Cekungan di Kongo Afrika Tengah, yang mana kini tanah Papua terancam ekosida.
“Dari 34 juta hektar hutan di West Papua, 13 juta hektar telah di kuasai oleh para investor demi kepentingan oligarki melalui segelintir elit politik Indonesia di Jakarta,” ujarnya.
Serupa disampaikan Wakil Presiden Eksekutif ULMWP, Octovianus Mote yang mana sejak Presiden Jokowi menjabat selama 10 tahun, telah terjadi pembungkaman ruang berekspresi.
“Dalam kepemimpinan Presiden Jokowi, juga telah terjadi pembungkaman ruang kebebasan di Tanah Papua. Sekitar 7.000 orang Papua di tangkap dan diperjarahkan pada saat melakukan aksi mendukung keanggotaan ULMWP, terutama di periode 2015-2018, serta melakukan aksi perlawanan ujaran rasisme pada 2019 dan berbagai aksi susulan lainnya.”
“Banyak warga sipil umumnya usia produktif disiksa dan ditembak mati pasukan TNI dan Polri di tanah Papua. Janji Presiden Jokowi untuk membuka akses jurnalis ke tanah Papua pada 2015 di Jayapura dan janji kunjungan Dewan HAM PBB ke tanah Papua pada Februari 2018 di Jakarta juga tidak perna direalisasikan,” ujar Mote.
Oleh sebab itu ULMWP menegaskan bahwa, masa depan bangsa Papua selama 61 pendudukan Indonesia di tanah Papua berada pada ancaman pemusnahan genosida, etnosida dan ekosida.
“Karena itu kami menyerukan rakyat Papua dan elit politik Papua yang bekerja di sistem Kolonial Indonesia untuk tidak menjual harga diri dan hak kesulungan bangsa Papua kepada bangsa asing. Kami mengajak rakyat Papua untuk tidak menjual tanah, hutan dan hak kesulungan Bangsa Papua kepada siapapun,” tukasnya.