Masyarakat adat Kimaima dan Maklew saat mendatangi kantor DPRD kabupaten Merauke, Papua Selatan. (Dok. YLBHI)
adv
loading...

MERAUKE, SUARAPAPUA.com — Hadirnya kegiatan Proyek Strategis Nasional (PSN) berupa Swasembada Gula dan Bioetanol dengan luasan jutaan hektare yang sedang dikerjakan oleh pemerintah Indonesia di provinsi Papua Selatan, khususnya di kabupaten Merauke, mendapat perlawanan dari sejumlah pihak, salah satunya masyarakat adat Maklew dan Kimaima.

Penolakan ini didasari oleh ketakutan masyarakat adat yang akan kehilangan hak atas kepemilikan tanah adat mereka. Ketakutan tersebut berdasarkan adanya aktivitas kapal dan helikopter yang beroperasi di atas wilayah adat mereka yang diduga kuat telah mengambil sampel-sampel tanah.

Dengan melihat situasi tersebut dan berdasarkan pemberitaan sejumlah media nasional dan lokal di Papua terkait PSN swasembada gula dan bioetanol, maka masyarakat adat berinisiatif mendatangi DPRD kabupaten Merauke, bupati Merauke dan Majelis Rakyat Papua Selatan (MRPS) untuk menyampaikan sikap penolakan mereka dan meminta adanya keterbukaan informasi.

Tanggal 13 Juni 2024, masyarakat adat Maklew dan Kimaima melakukan audiensi dengan DPRD Merauke untuk meminta kejelasan berkaitan dengan kehadiran kapal dan helikopter yang melakukan pemantauan di wilayah adat mereka yang diduga kuat bagian dari perusahan yang akan masuk di wilayah adat mereka.

Setelah audiensi, DPRD kemudian menyurati beberapa organisasi perangkat daerah (OPD) terkait seperti Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) kabupaten Merauke, Agraria dan Tata Ruang Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Merauke serta stakeholder terkait untuk menyampaikan langsung kepada masyarakat tentang kondisi yang ada.

ads

Dalam audiensi itu, masyarakat adat Maklew dan Kimaima menyampaikan aspirasi yang sama yaitu menolak semua jenis investasi berskala makro, menengah di atas tanah mereka serta mendesak transparansi informasi mengenai kehadiran kapal dan helikopter di wilayah adat mereka. Tetapi dalam pertemuan tersebut mereka tidak mendapatkan data yang valid, kemudian masyarakat adat meminta bertemu langsung dengan bupati kabupaten Merauke.

Masyarakat adat Kimaima dan Maklew saat audiensi dengan DPRD kabupaten Merauke. (Dok. YLBHI)

Tanggal 25 Juni 2024, masyarakat adat Kimaima dan Maklew melakukan pertemuan dengan bupati Merauke di aula kantor bupati.

Pernyataan bupati Romanus Mbaraka saat itu, ‘’Saya perlu tegaskan kembali bahwa sampai hari ini belum ada satupun surat dari pihak manapun termasuk investor kepada pemerintah kabupaten Merauke terkait investasi perkebunan tebu di wilayah Kimaam maupun Ilwayab. Dan, soal kapal yang sedang berlabuh di perairan Wanam, saya belum diberitahukan secara resmi sebagai kepala daerah.”

Baca Juga:  FPHPB-OAPP Menilai Pergantian Kadis PUPR PP Tidak Sesuai Prosedur

Namun setelah pernyataan tersebut dikeluarkan oleh bupati Merauke, masyarakat adat Maklew dan Kimaima tidak mendapatkan dokumen-dokumen resmi dari pemerintah terkait perizinan dan dokumen lainnya. Di sisi yang lain, masyarakat adat terus dihadapkan dengan situasi yang sama yaitu kapal dan helikopter yang terus beraktivitas di wilayah tersebut.

Berdasarkan fakta-fakta tersebut, masyarakat adat melanjutkan advokasi mereka ke MRP Papua Selatan pada tanggal 24 Juli 2024.

Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan masyarakat adat pulau Kimaam dan Maklew di hotel Sunny Day lnn Merauke, dengan tuntutan yang sama yaitu menolak segala bentuk investasi di wilayah adat mereka, yang kedua mendesak dihentikannya aktivitas kapal dan helikopter di atas tanah adat mereka, serta juga pemerintah harus membuka semua izin dan wilayah mana saja yang pemerintah sudah berikan izin.

Dalam RDP dengan MRP provinsi Papua Selatan, koordinator masyarakat adat Kimaima dan Maklew, Idelfonsius Chambu atau kerap disapa Idel menduga adanya sebuah skenario atau informasi yang sengaja ditutup-tutupi oleh pemerintah, sehingga tidak adanya transparasi kepada masyarakat adat pulau Kimaam dan Maklew yang mempunyai hak ulayat.

“Ada sebuah kapal yang masih berlabuh diantara wilayah adat Kimaima dan wilayah adat Maklew yang di atas kapal itu ada helikopter yang digunakan untuk mengambil sampel-sampel tanah dan hal ini tidak pernah dijelaskan kepada masyarakat, sehingga masyarakat menjadi gelisah dan bertanya-tanya ada apa dengan sebuah kapal ini? Maka lewat tiga kali RDP, dua kali RDP dengan DPRD Merauke dan satu kali RDP dengan bapak bupati Merauke, masyarakat belum mendapatkan kejelasan mengenai persoalan tersebut. Oleh sebab itu, hari ini yang keempat kali kami lakukan RDP dengan MRP Papua Selatan,” tuturnya.

Idel juga menegaskan, pihaknya mendesak bupati dan gubernur harus hadir dengan data-data yang akurat untuk menjelaskan secara baik supaya masyarakat tidak menduga-duga tentang program strategis nasional ini.

Majelis Rakyat Papua (MRP) provinsi Papua Selatan setelah rapat dengan pendapat (RDP) dengan masyarakat adat Kimaima dan Maklew. (Dok. YLBHI)

Salah satu tokoh masyarakat yang juga imam asli Papua dari pulau Kimaam, Pastor Pius Cornelis Manu mengatakan, masyarakat adat datang dengan satu komitmen, satu kesepakatan, satu suara bulat bahwa mereka menolak perusahaan yang mau masuk di tanah adat mereka atau di sisa tanah di Papua Selatan.

Baca Juga:  Sorong Banjir Lagi, Warga: Calon Kepala Daerah Jangan Hanya Obral Janji

Pastor menegaskan, masyarakat menolak investasi atau perusahaan bukan berarti menolak atau anti pembangunan, tetapi hari ini yang dibutuhkan masyarakat adalah pemberdayaan ekonomi masyarakat oleh OPD terkait yang berwenang yaitu negara, bukan perusahaan.

Ada beberapa alasan menurut Pastor Manu mengapa masyarakat tidak suka atau menolak. Pertama, wilayah Maklew, Kimaima sampai Okaba itu pernah ada perusahaan ikan di sana dan perusahaan itu membawa dan meninggalkan trauma yang sangat besar bagi masyarakat. Kehadiran perusahaan membawa banyak konflik sosial, pemerintahan di kampung-kampung tidak jalan, pendidikan (sekolah) juga terbengkalai. Masyarakat lebih banyak ada di sekitar perusaahan sebagai pemulung dan semakin tak terkontrol. Pelanggaran HAM terjadi gara-gara perusahaan melewati dan memasuki daerah nelayan tradisonal.

Alasan kedua, adanya pengalaman antara sesama Malind, dimana orang Buti, orang Kuper sudah menyerahkan tanah mereka untuk pembangunan kota Merauke, pembangunan wilayah transmigrasi, tetapi mereka sampai hari ini miskin, tidak ada perubahan hidup apapun, pertumbuhan penduduknya amat tersendat-sendat. Ada efek psikologis juga di sana, bahkan mereka sudah kehilangan tempat dasar berpijak.

Pastor Pius mengungkapkan, perusahaan-perusahaan lain yang sementara ada beroperasi di wilayah Digul yang tidak terlalu jauh dari wilayah Kimaima dan Maklew, seperti Asiki, Maam, bahkan sampai yang sangat dekat yaitu Muting yang semuanya adalah kelapa sawit, tetapi apakah dengan kehadiran perusahaan-perusahaan itu masyarakat adat setempat mereka hidup sejahtera? Apakah mereka menjadi kaya? Tidak ada sama sekali bahkan mereka hidup dalam penderitaan.

“Kalau kita lihat peta agropolitan atau MIFFE (Merauke Integrated Food and Energy Estate) dan peta yang sudah diperbarui sekarang ini bahwa tanah sudah dibagi-bagi dan masyarakat adat sudah tidak punya apa-apa lagi, jadi sebelum masuk di wilayah kami lebih baik kami nyatakan tidak. Kami tidak mau menerima dan mengakui perusahaan apapun yang masuk di wilayah kami,” tegasnya.

Baca Juga:  HRM Melaporkan, Sebanyak 79.867 Warga Sipil Papua Masih Menjadi Pengungsi Internal

Pastor juga menyinggung beberapa kali Menteri Investasi datang ke Merauke. Tak mungkin datang hanya jalan-jalan saja, pasti ada tujuan tertentu bersamaan dengan kedatangannya. Ada kapal dan helikopter terus beroperasi mengambil sampel-sampel tanah dimana-mana.

“Menurut infomasi dari masyarakat setempat, bupati dan gubernur juga ke sana berarti ada alasan tertentu mereka bisa nginap di kapal, sehingga wajar apabila masyarakat adat itu cemas kalau ada orang dari pemerintah atau pejabat tinggi daerah ada di situ, sehingga timbul ketakutan dari masyarakat bahwa ada yang mau ambil kami punya tanah-tanah adat” tutur Pastor Pius.

Aksi damai masyarakat adat Kimaima dan Maklew di Merauke, kabupaten Merauke, Papua Selatan. (Dok. YLBHI)

Sementara itu, Johnny Teddy Wakum, ketua YLBHI LBH Papua Pos Merauke yang turut mendampingi masyarakat adat Maklew dan Kimaima menyatakan, “Hak atas informasi itu merupakan hak masyarakat dan atas dasar informasi, maka masyarakat dapat menentukan secara bebas atas proyek yang akan berlangsung di wilayah adatnya sebagaimana diatur dalam Pasal 28f UUD 1945 junto Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.”

Menurut Wakum, dalam konteks Otonomi Khusus, setiap penyediaan tanah ulayat dan tanah perorangan warga masyarakat hukum adat untuk keperluan apapun harus melibatkan masyarakat adat pemilik hak ulayat sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang nomor 2 tahun 2021 tentang perubahan kedua atas Undang-undang nomor 21 tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi provinsi Papua Pasal 43 ayat 4.

Teddy menyatakan, pentingnya keterbukaan informasi yang harus didukung dengan data-data resmi dari Dinas ATR/BPN, DPMPTSP, dan Dinas Lingkungan Hidup serta Kementerian yang berkaitan dengan proyek-proyek PSN.

“Dokumen yang harus dibuka dan terbuka untuk masyarakat adat adalah semua surat rekomendasi yang diberikan oleh DPMPTSP baik kabupaten Merauke maupun provinsi Papua Selatan untuk izin baru di wilayah Merauke yang dilengkapi dengan peta wilayah masyarakat adat yang disasar, selanjutnya data kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang dan kelayakan lingkungan hidup. Selanjutnya yang harus dibuka oleh kementerian terkait adalah kajian lingkungan hidup strategis nasional perkebunan dan bioetanol serta kajian lingkungan hidup Food Estate,” bebernya. []

Artikel sebelumnyaAgar Kantor OPD Tetap Bersih, DLH Siapkan 17 Kotak Sampah
Artikel berikutnyaAliansi Muda Animha Deklarasi Pilih Pemimpin Pro Lingkungan